Senin, 19 Maret 2018

Soliditas TNI, Polri, dan BIN

Soliditas TNI, Polri, dan BIN
Sabartain Simatupang  ;   Akademisi Universitas Pertahanan Indonesia;  
Alumnus Magister Manajemen Pertahanan KSKN UI
                                                  KORAN SINDO, 14 Maret 2018



                                                           
POLEMIK yang memanas ter­kait isu pembelian sen­jata dan amunisi ilegal oleh institusi non-TNI yang di­sam­paikan secara tidak resmi oleh panglima TNI pada awal Ok­tober 2017 telah me­nim­bul­kan perdebatan tentang friksi hu­bungan kelembagaan di an­ta­ra TNI, Polri, dan Badan In­te­li­jen Negara (BIN). Akhirnya po­le­mik ini mendapat atensi yang se­rius dari Presiden Joko Wi­do­do (Jokowi) untuk kemudian me­merintahkan menk­o­pol­hu­kam untuk menyelesaikannya.

Pada pembukaan Rapat Pim­pinan TNI-Polri pada 23 Ja­nua­ri 2018, Presiden Jokowi kem­bali menekankan agar pi­m­pin­an TNI dan Polri sampai ke ting­kat bawah tetap kompak da­lam pelaksanaan tugasnya. Dua institusi perlu bersinergi un­­tuk mengamankan Pilkada Se­rentak 2018 dan Pemilihan Pre­siden 2019.

Momentum pergantian pang­­lima TNI tentu dapat juga di­­jadikan tantangan tersendiri ba­­gi pejabat baru Marsekal Ha­di Tjah­janto untuk me­lan­jut­kan so­liditas TNI-Polri. Ulas­an be­ri­kut mencoba meng­urai­kan se­ca­ra kritis kondisi per­k­em­bang­an keamanan nasional di m­a­sa ti­ga tahun pemerintahan Jo­k­o­wi-JK. Sejauh mana ke­bi­jak­an re­formasi sektor k­e­aman­an su­dah tercapai dan ba­gai­ma­na se­baik­nya hubungan TNI, Pol­ri, dan BIN dibenahi agar frik­­si ter­se­but tidak terulang kembali. 

Reformasi Sektor Keamanan

Reformasi Sektor Kea­man­an (Security Sector Reform) me­ru­pakan salah satu tuntutan yang mengemuka sejak masa awal reformasi pada 1998. Di­ha­dapkan dengan per­ke­m­bang­­an ancaman yang semakin kom­pleks dewasa ini, kehadiran ne­g­ara untuk menindaklanjuti pe­nataan sistem keamanan na­sio­nal semakin mendesak. Pe­nye­lenggaraan keamanan na­sio­nal yang komprehensif se­yo­gia­nya diatur melalui suatu sis­tem keamanan nasional.

Pelaksanaannya dimulai da­ri proses penetapan per­kiraan ­ben­tuk dan jenis ancaman ke­ama­nan yang akan dihadapi. Ba­rulah kemudian ditentukan unsur-unsur penyelenggara ke­aman­an nasional yang di­ke­rah­kan untuk menghadapi dan men­g­atasinya. Setelah itu di­la­ku­kan rencana aksi berupa langkah-langkah yang akan di­tem­puh pemerintah. Tindakan ini dilaksanakan secara terarah, ter­padu, dan bersinergi se­hing­ga jelas komando dan pe­ngen­da­liannya sesuai bentuk dan es­ka­lasi ancamannya.

Pada kenyataannya sampai saat ini pemerintah, parlemen, dan kelompok-kelompok ma­sya­ra­kat madani belum berhasil me­nyatukan persepsi dan ko­mit­mennya mewujudkan pe­na­ta­an sistem keamanan nasional ter­sebut. Padahal, di tengah per­kembangan ancaman yang se­makin intensif muncul dan po­l­anya semakin kompleks (asi­me­trik, proxy,  dan hybrid), pe­me­rintah diharapkan segera tang­gap dan tepat mengambil ti­n­dakan dalam mengatasinya.

B­e­lum tertangani ancaman yang satu, lalu muncul ancaman yang lain. Dalam hal ini pe­me­rin­tah di­khawatirkan akan ke­do­doran, lam­ban, dan tidak te­r­pa­du un­tuk segera mengambil tin­dakan yang diperlukan. Ke­nya­taan ini­lah yang tergambar pa­da masa pe­merintahan Jo­ko­wi-JK da­lam menangani setiap fe­n­o­me­na ancaman yang terjadi.

Ancaman dan Penanganannya

Beberapa bentuk an­cam­an yang menonjol se­lama tiga ta­hun lebih ma­sa pemerintahan Jo­ko­wi-JK dapat d­i­pe­ta­kan da­ri mulai skala ke­dae­­rahan sam­pai ting­kat na­sional, dan bah­kan in­­ter­nasional. Bisa di­se­but­­­kan antara lain kon­flik sosial (di be­­berapa dae­­rah dan di Ja­kar­ta), ke­­ba­karan hutan dan la­han di Pu­lau Sumatera dan K­­a­li­man­tan, dan aksi ke­lom­pok te­ror di se­jumlah daerah.

Di samping itu, muncul tin­dak kejahatan narkoba (napza) dan korupsi yang semakin in­ten­­sif melibatkan generasi mu­­da dan elite politik/pe­ja­bat, ill­e­gal logging, mining, dan  fi­shing, ka­sus kejahatan anak/ remaja yang semakin sa­dis, ter­jadinya in­siden pe­lang­gar­an batas ZEE In­donesia oleh kapal-kapal ne­la­yan asing (ter­u­ta­ma China), pe­langgaran wi­la­yah udara In­do­n­esia oleh pe­sa­wat asing, me­re­baknya ka­sus vak­sin dan obat pal­su yang me­re­s­ah­kan, dan ka­sus pen­cu­lik­an ser­ta pe­nya­n­de­ra­an ABK WNI oleh kelompok te­­ror Abu Sayyaf.

Ada berbagai kegiatan op­e­ra­si yang dilakukan pemerintah se­cara sektoral dan temporer un­tuk mengatasi semua an­cam­an yang terjadi tersebut. Pada ke­nyataannya setiap instansi dan kementerian terkait be­re­ak­si sesuai tupoksinya, tanpa ada ketegasan komando dan pe­ngendalian strategis (dari Pre­si­den).
 Dari pengalaman ini ter­li­hat jelas betapa pemerintah se­be­narnya memerlukan suatu le­gal standing, national institution, dan grand strategy bagi suatu sis­tem keamanan tingkat na­sio­­nal yang menjadi landasan ber­sikap dan bertindak.

Sebagai contoh dalam pe­na­ngan­an aksi terorisme, pe­li­bat­an TNI bersama Polri masih saja meng­undang kontroversi se­hing­ga pengaturan lebih lanjut ter­hadap dua aktor keamanan ini belum juga sinkron dalam pem­bahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme. De­ngan demikian, bisa dipahami bah­wa dalam bertindak pe­me­rin­tah belum optimal untuk me­ngerahkan semua potensi na­­sional secara bersinergi u­n­tuk mengatasi setiap ancaman yang muncul selama ini, ter­ma­suk dalam menghadapi an­cam­an terorisme.

Perlu Pembenahan

Melihat kenyataan ini, pe­me­­rintah dan parlemen sudah saat­­nya memiliki persepsi, aten­­si, dan komitmen yang sa­ma terhadap urgensi perlunya sua­­tu legal standing  bagi peng­atur­an sistem keamanan se­ca­ra na­sional berupa UU Ke­aman­an Na­sional.

Peraturan ini dapat di­po­si­si­kan  menjadi “induk atau pa­yung hukum” terhadap se­mua per­undang-undangan yang su­­dah mengatur beberapa ins­­t­i­tusi pemerintahan pusat dan dae­rah (terutama TNI dan Pol­ri) serta masyarakat da­lam meng­atasi semua ben­tuk an­cam­an nasional (M AS Hikam, 2016).

Dengan ada peraturan per­un­dangan ini, pemerintah pu­sat dan daerah serta kelompok ma­­syarakat dapat men­ja­lan­kan pe­rannya bersama-sama. De­­mi­kianlah halnya hu­bung­an ke­l­e­mbagaan di antara aktor-ak­tor pelaksana fungsi pe­­r­ta­han­an dan keamanan (kh­ususnya TNI, Polri, dan BIN) perlu di­be­nahi kembali.

Ironisnya, bagaimana peng­­­at­ur­an kerja samanya dan peng­­or­­ganisasian yang di­la­ku­kan agar sinkron, terintegrasi, dan op­timal ternyata sampai se­­ka­rang masih belum tuntas. M­­a­sih banyak celah-celah tum­­pang tindih atau kegiatan-ke­­giat­an yang tidak ter­koor­di­na­si se­lama ini terjadi di antara ti­ga lem­baga ini. Bila tidak di­sin­­kron­kan dengan baik, akan me­­nim­bulkan friksi-friksi hu­bung­­an yang tidak baik dan cen­de­rung ego sektoral.

Aspek pengawasan ter­ha­dap dua institusi Polri dan BIN ju­g­a sampai sekarang belum je­las, sinkron, dan  tuntas ba­gai­ma­na pengaturannya. Untuk memp­ertanggungjawabkan pe­laksanaan tugas keamanan masing-masing lembaga se­ca­ra in­ternal perlu dilakukan peng­­awas­an administrasi dan ke­­uang­an oleh suatu ke­men­te­ri­an atau lembaga indepen­den. TNI yang selama ini sudah je­las men­da­pat pengawasan ter­sebut dari Ke­menterian Per­tahanan, tapi ti­dak de­mi­kian halnya dengan Polri.

Karena itu, faktanya sam­­­pai saat ini ter­da­pat ke­­senjangan peng­awas­­­an karena Polri be­­lum men­­dapat peng­­awas­an yang op­ti­mal da­r­i suatu k­e­men­terian (ba­r­u be­ru­pa peng­­awas­an tem­po­­rer da­ri Kom­polnas). Se­­me­n­­ta­ra itu, BIN sec­a­ra ke­lem­­ba­ga­an lang­sung ber­tanggung ja­wab ke­­p­ada presiden tan­pa ada peng­awasan yang je­­las oleh ins­tan­si ter­­ten­­tu. Kondisi ini se­­ca­ra psi­­kologis me­me­­nga­ruhi hu­­bung­a­n koor­di­na­si, in­tegrasi, dan sin­kro­­ni­sa­si yang baik di an­ta­ra TNI, Polri, dan BIN.

Dengan demikian, se­sung­­guh­nya suatu UU Ke­aman­an Na­sional (Kamnas) su­dah sa­ngat urgen bagi ke­per­­luan me­na­ta hubungan ke­lem­bagaan di an­t­ara aktor-ak­tor pelaksana fung­si ke­aman­an dan per­ta­han­an ke depan. Na­n­ti per­ang­kat perundangan ini di­ha­rap­kan dapat me­nyi­ner­gikan se­mua peraturan yang sudah ada se­c­ara terpadu dan terarah. D­a­lam UU ter­se­but di­se­leng­ga­ra­kan sis­kam­nas sebagai suatu stra­tegi raya (grand strategy) di ting­kat na­sional.

Berdasarkan undang-undang inilah be­ri­kut­nya atur­an pelaksanaan kerja sa­ma termasuk dalam hal tek­nis me­nyangkut pengadaan sen­ja­ta api bagi tiga lembaga di atas dapat dibenahi secara sin­kron dan sinergis.

Sebagai panglima TNI yang ba­ru, Marsekal Hadi Tjahjanto men­dapatkan tantangan ter­sen­­diri ke depan untuk ber­sama-sama kepala Polri dan BIN dapat membenahi hu­bung­an kelembagaan ini. Semoga so­li­ditas TNI, Polri, dan BIN s­eb­a­gai­mana yang diharapkan benar-benar bisa terwujud se­ca­ra optimal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar