Siapa
yang Berhak Menyesatkan Suatu Agama?
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Maret 2018
PEMBENGKAKAN kualitas dan
kesadaran beragama yang tidak dibingkai dengan norma-norma kebersamaan
sebagai warga bangsa yang pluralistis berpotensi menimbulkan berbagai efek
yang merugikan. Dekade terakhir media-media sosial semakin bebas
mendeklarasikan sebuah aliran atau mazhab sebagai aliran sesat.
Siapa sesungguhnya yang berhak
menyesatkan agama, aliran, atau mazhab? Apakah negara atau pemerintah berhak
menilai dan menentukan sebuah agama atau aliran itu sesat? Apakah negara juga
punya kewenangan untuk melarang dan membubarkan sebuah agama atau aliran? Pertanyaan
ini sering mengusik ketenangan komunitas umat beragama. Terutama kelompok
agama atau aliran minoritas. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentu tidak
mudah dan tentu juga mempunyai efek hukum, terutama dalam hukum positif
negeri kita.
Dalam sistem hukum dan
perundang-undangan negeri kita, kebebasan umat beragama dijamin bagi setiap
warga negara. Bahkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ditegaskan (1) Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Pasal 28 E UUD 1945 lebih
diperinci lagi (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal-pasal tersebut di atas
menjadi sangat penting dan sangat fungsional. Kerukunan bagi bangsa Indonesia
bukan hanya keniscayaan, tetapi kemutlakan. Bangsa yang dipadati berbagai
agama, budaya, etnik, bahasa, dan wilayahnya dipisah-pisahkan laut, maka
tidak ada alasan apa pun untuk tidak mempriotaskan kerukunan kebangsaan.
Konsekuensi dalam UUD 1945 tidak
menetapkan salah satu agama sebagai agama negara, NKRI harus memberikan
pelayanan yang sama dan adil terhadap semua agama yang hidup di Indonesia.
Indonesia dikenal bukan sebagai negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Indonesia lebih dikenal negara
Pancasila di mana semua agama dan masing-masing pemeluknya diperlakukan sama
sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama eksklusif yang harus lebih
dominan di antara agama-agama lainnya, sekalipun di antaranya ada agama
mayoritas mutlak dianut warganya. Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) seperti ini sudah dianggap final, bukan hanya oleh pemerintah (umara),
melainkan juga oleh tokoh agama, ulama (ulama).
Undang-undang tidak mengatur
substansi internal ajaran setiap agama karena itu merupakan domain
majelis-majelis agama. Apakah agama atau aliran itu dinyatakan sesat atau tidak,
tergantung pimpinan majelis-majelis agama yang bersangkutan, tentunya melalui
mekanisme internal dari organisasi tersebut. Misalnya, sebuah aliran
menyimpang atau sesat dalam Islam ditentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Keterangan dan rekomendasi MUI
kemudian dijadikan rujukan oleh negara atau pemerintah kalau sebuah ajaran
atau aliran itu menyimpang atau sesat. Termasuk penentuan suatu produk halal
atau haram, juga menjadi domain MUI. Atas dasar fatwa MUI kemudian pemerintah
menindaklanjutinya secara hukum positif.
Urusan pembubaran, pembekuan, atau
pencabutan izin keormasan atau yayasan dan badan hukum yang bernaung di dalam
suatu agama, negara, dan atau pemerintah bisa melaksanakannya apabila sudah
sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi,
agama atau alirannya sendiri, pemerintah harus berhati-hati karena tidak
memilki kewenangan untuk menyesatkannya secara langsung, karena menjadi
domain pimpinan majelis agama yang bersangkutan.
Apabila seseorang memiliki
kapasitas ganda, misalnya di samping sebagai pejabat negara juga ia termasuk
anggota majelis sebuah agama, ia harus memilah-milah kapasitas dirinya.
Dirinya sebagai pejabat negara tidak boleh menyesatkan sebuah agama atau
aliran, tetapi jika ia tampil sebagai anggota atau pimpinan majelis agama,
maka ia berhak menyatakan penyesatan itu. Tentunya sekali lagi, jika prosudur
internal organisasinya membenarkannya.
Dualitas hukum seperti ini tidak
mesti harus dipertentangkan, karena lebih merupakan masalah administrasi dan
manajemen. Hal ini bukan hanya berlaku bagi komunitas Islam, tetapi juga
komunitas agama lain.
Hukum-hukum agama menjadi domain
pimpinan majelis agama (ulama) dan hukum-hukum positif menjadi domain
pemerintah (umara). Banyak produk perundang-undangan di Indonesia memberi
ruang formal terhadap majelis-majelis agama, seperti Undang-Undang Perbankan
Syariah, Undang-Undang Sukuk, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Wakaf, Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Haji, dan
lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar