Problem
Kecelakaan Tunggal dalam
Santunan
Laka Lantas
Ferdinandus S Nggao ; Peneliti Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis
Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Maret 2018
AKHIR Oktober tahun lalu,
seorang ahli waris korban kecelakaan lalu lintas (laka lantas), melalui kuasa
hukumnya, mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No 34 Tahun 1964
tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Uji materi dilakukan
terhadap Penjelasan Pasal 4 (1) yang dinilai bertentangan dengan Pasal 4 (1)
terkait dengan cakupan korban yang berhak menerima santunan kecelakaan.
Pasal 4 (1) UU No 34 Tahun
1964 menyatakan, yang mendapat santunan ialah setiap orang yang menjadi
korban mati atau cacat tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat
angkutan lalu lintas jalan. Santunan tersebut diberikan kepada korban atau
ahli warisnya. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 4 (1) dinyatakan bahwa
yang mendapatkan santunan ialah korban yang berada di jalan di luar alat
angkutan yang menyebabkan kecelakaan.
Perlu diketahui, Indonesia
memiliki dua UU yang mengatur penyelenggaraan iuran dan santunan bagi korban
kecelakaan lalu lintas. UU No 33/1964 terkait kecelakaan 'penumpang angkutan
umum' dan UU No 34/1964 terkait kecelakaan 'lalu lintas jalan'. Regulasi yang
digugat dalam hal ini ialah tentang santunan bagi korban kecelakaan, bukan
angkutan umum.
Dalam terminologi umum,
penjelasan Pasal 4 (1) menyatakan bahwa korban kecelakaan tunggal tidak
mendapat santunan. Kecelakaan tunggal merupakan kecelakaan yang tidak
berbenturan dengan kendaraan lain. Dalam kasus ini, suami ahli waris
merupakan korban kecelakaan tunggal, mengendarai sepeda motor dan terjatuh
(bukan karena tabrakan), lalu meninggal.
Mengacu pada Pasal 4 (1),
ahli waris merasa berhak mendapat santunan, apalagi setiap tahun korban
membayar SWDKLLJ (sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan) saat
membayar pajak STNK. Namun, mengacu pada penjelasan Pasal 4 (1), ahli waris
tidak berhak mendapat santunan karena kecelakaan tunggal. Selama ini acuan
yang digunakan dalam penyaluran santunan ialah penjelasan Pasal 4 (1). Karena
itu, ahli waris tadi mengajukan permohonan agar penyaluran santunan mengacu
pada Pasal 4 (1), bukan pada penjelasannya. Dengan demikian, korban
kecelakaan tunggal seharusnya mendapat santunan.
Perspektif
jaminan sosial
Penjelasan Pasal 4 (1)
menunjukkan ada pembatasan terhadap cakupan korban yang dilindungi.
Pertanyaannya, mengapa pembatasan cakupan korban muncul? Untuk menjawab
pertanyaan ini, perlu dilihat konteks lahirnya UU 34/1964. Tujuan pemerintah
membuat UU ini ialah dalam rangka menyelenggarakan jaminan sosial, terutama
bagi korban kecelakaan lalu lintas. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam
bagian pertimbangan dan dipertajam lagi dalam bagian penjelasannya. Karena
itu, lahirnya UU ini merupakan wujud kehadiran negara dalam memberikan
jaminan sosial bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan.
Dengan demikian, UU No
34/1964 ini harus dipahami dari perspektif jaminan sosial. Jaminan sosial
sendiri merupakan upaya negara memberi perlindungan dasar bagi masyarakat
agar memenuhi kehidupan yang layak sehingga santunan yang diberikan relatif
tidak begitu besar. Dari sisi pendanaan, jaminan sosial di dunia umumnya
diselenggarakan dalam dua mekanisme besar, yaitu social assistance (bantuan
sosial) dan social insurance (asuransi sosial). Pilihan model sangat
bergantung pada kemampuan keuangan negara.
Bantuan sosial
diselenggarakan dengan pembiayaan penuh dari pemerintah melalui APBN,
sementara sumber pembiayaan asuransi sosial berasal dari masyarakat melalui
iuran. Dalam kondisi tertentu, negara juga ikut berkontribusi dalam
pembayaran iuran. Seperti yang terjadi dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), pemerintah membantu membayar iuran bagi masyarakat miskin.
Penyelenggaraan jaminan sosial yang diatur dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menggunakan mekanisme asuransi. Dengan
demikian, asuransi sosial merupakan penyelenggaraan jaminan sosial yang
menggunakan mekanisme asuransi.
Dalam hal ini, UU 34/1964
harus dipahami sebagai regulasi penyelenggaraan jaminan sosial dengan
mekanisme asuransi atau disebut asuransi sosial. Pilihan mekanisme ini
dilakukan mengingat kemampuan keuangan pemerintah saat itu tidak memungkinkan
menggunakan mekanisme bantuan sosial. Karena itu, pemerintah mengumpulkan
dana dari masyarakat dalam bentuk SWDKLLJ yang dipungut dari pemilik
kendaraan bermotor.
Dalam asuransi sosial,
pemerintah menentukan besaran iuran dengan mengacu pada kemampuan masyarakat.
Pemerintah tentu tidak ingin memberikan beban yang berat kepada masyarakat
karena akan menimbulkan gejolak tersendiri. Karena itu, besaran pungutan
dalam SWDKLLJ relatif kecil, sesuai dengan kemampuan masyarakat. Bahkan,
sering kali pemilik kendaraan tidak menyadari bahwa saat perpanjangan STNK ia
dipungut iuran.
Supaya pungutannya tidak
begitu besar, maka cakupan korban yang dilindungi perlu dibatasi. Itulah
dasarnya mengapa dalam UU ini cakupan korbannya dibatasi. Pemerintah
menentukan korban mana yang menjadi prioritas, yaitu mereka yang berada di
luar kendaraan, karena mereka menjadi korban tapi tidak mendapatkan manfaat
dari alat transportasi yang bersangkutan. Mereka yang menjadi korban karena
kesalahan pengguna alat transportasi. Korban hanya menerima risiko dari alat
transportasi, tetapi tidak menerima manfaatnya. Mereka menjadi korban dan
menanggung risiko karena kesalahan pihak lain.
Dalam dunia asuransi
komersial, hal ini dikenal dengan third party liability, menjamin tanggung
jawab hukum terhadap kerugian yang dialami pihak ketiga. Mestinya, para
pengguna alat transportasilah yang harus bertanggung jawab atas risiko yang
diderita korban yang berada di luar alat transportasi yang digunakan. Namun,
tidak semua pengguna alat transportasi mampu menanggung risiko yang diderita
korbannya. Karena itu, negara hadir untuk memberikan kepastian perlindungan
kepada korban. Karena dalam konteks jaminan sosial, maka yang dilindungi ialah
korban manusia, bukan kerusakan kendaraan atau benda (property damage).
Batasan korban yang
dilindungi ini juga terlihat jelas dalam draf awal RUU yang diajukan
pemerintah. Draf RUU ini menggunakan terminologi 'asuransi wajib kendaraan
bermotor', khususnya untuk tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga. Namun,
karena tujuan utamanya dalam rangka penyelenggaraan jaminan sosial, maka kata
'asuransi' dihilangkan. Perubahan ini dilakukan untuk menghindari kerancuan
pemahaman UU ini sebagai regulasi asuransi. Artinya, sejak awal UU ini
dilahirkan untuk melindungi korban yang ada di luar alat transportasi.
Kendati beririsan dengan
asuransi, UU No 34/1964 sebetulnya bukan regulasi asuransi. Asuransi hanya
digunakan sebagai mekanisme pengumpulan dan pengelolaan dana. Dalam beberapa
aspek, asuransi sosial berbeda dengan asuransi komersial. Karena itulah
penyelenggaraan program jaminan sosial bidang kesehatan dan ketenagakerjaan
tidak diatur dalam UU asuransi, tetapi dalam UU SJSN.
Pertanyaan selanjutnya,
mungkinkah kecelakaan tunggal mendapat santunan? Sangat mungkin, tentu dengan
beberapa konsekuensi. Pertama, perlu ada penyesuaian besaran SWDKLLJ.
Perluasan cakupan korban penerima santunan sebaiknya diikuti peningkatan
iuran. Apalagi, pertengahan tahun lalu, pemerintah telah menaikkan nilai
santunan rata-rata 100%, tanpa kenaikan SWDKLLJ.
Kedua, bila tidak ada
kenaikan SWDKLLJ, pemerintah harus siap menanggung bila terjadi defisit
sebagai konsekuensi logis dari penyelenggaraan jaminan sosial. Melihat
kemampuan keuangan PT Jasa Raharja (persero) sebagai pengelola dana, dalam
jangka pendek defisit ini bisa saja belum terjadi. Akan tetapi, dalam jangka
panjang, bila tidak ada kenaikan SWDKLLJ, peluang terjadi defisit akan
terbuka. Ketiga, perubahan cakupan korban ini perlu diikuti perubahan
regulasi, mulai UU sampai pada produk regulasi turunannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar