Senin, 19 Maret 2018

Paralisis Politik Lokal

Paralisis Politik Lokal
Umbu TW Pariangu  ;   Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana
                                                  KORAN SINDO, 13 Maret 2018



                                                           
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut sejumlah calon kepala daerah yang berlaga di pilkada serentak 2018 terindikasi korupsi. Hal tersebut dikatakannya dalam acara Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK tentang Penanganan Korupsi dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara (6/3). Ditegaskannya, penyelidikan dugaan korupsi yang dilakukan sejumlah calon kepala daerah baik di Jawa maupun di luar Jawa telah dilakukan sejak lama dan tinggal menuntaskan proses administrasi sebelum mengumumkan mereka sebagai tersangka.

Informasi dari KPK tersebut menjadi kabar buruk bagi rakyat dan demokrasi pilkada setelah sebelumnya sejumlah operasi tangkap tangan beruntun oleh KPK dilakukan awal 2018 ini. KPK meringkus enam kepala daerah karena tuduhan korup. Para pemimpin daerah tersebut telah menyandera kecerdasan dan akal sehat politik publik lewat praktik banalitas korupsi. Mereka memotong saluran bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan. Alih-alih mengevakuasi rakyat dari keterbelakangan di segala dimensi ke ruang kesejahteraan, melalui proses pilkada yang penuh dengan fragmentasi, rakyat justru dievakuasi dalam ruang politik tribalistik yang gelap dan korup.

Situasi tersebut membuat politik lokal terancam mengidap paralisis. Paralisis adalah bahasa kedokteran yang mengindikasi hilangnya kemampuan tubuh untuk bergerak karena cedera atau penyakit pada bagian saraf, biasa juga disebut sebagai kelumpuhan. Kelumpuhan di sini dapat menyebabkan hilangnya mobilitas di wilayah yang terpengaruh. Istilah ini cocok dan kompatibel untuk menggambarkan tubuh demokrasi lokal kita saat ini.

Aforisme Politik

Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) menulis bahwa desentralisasi di Indonesia di satu sisi akan menciptakan pelebaran ruang partisipasi politik dan kristalisasi kedaulatan politik rakyat. Namun pada sisi lain, desentralisasi justru bisa menciptakan ruang oligarki baru yang diisi para kompetitor politik futuris-kapitalistis yang menggunakan kekuatan kontrol dan akses ekonominya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, bahkan dengan cara-cara yang manipulatif-koersif. Karena kita telanjur dibuai bulan madu reformasi yang ditandai kebebasan dalam bersuara, Henk saat itu dianggap terlalu skeptis.

Namun kini, skeptisisme itu perlahan-lahan menjadi aforisme politik. Pascabulan madu reformasi yang ditandai pilkada langsung dan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK), pilkada pun mulai diwarnai konflik sosial akibat putusan pilkada yang tak diterima, menguatnya politik dinasti, merebaknya politik uang, hingga korupsi.

Menurut Hollyson & Sundari dalam bukunya Pilkada Penuh Euforia Miskin Makna  (2015:98-103), pilkada langsung telah melahirkan beberapa implikasi: 1) biaya politik yang sangat besar, 2) rekrutmen kepala daerah tidak berbasis kompetensi, 3) terjadinya korupsi APBD, 4) pasangan kepala daerah dan wakil yang tidak sejalan dan 5) munculnya kepala daerah bayangan yang mengintervensi proses politik dan pembuatan kebijakan.

Implikasi politik pilkada tersebut turut dilestarikan oleh regulasi politik yang kompromistis terhadap deviasi kerja politik. Misalnya dalam UU Nomor 10/2016, kepala daerah tersangka korupsi tetap bisa mengikuti pilkada bahkan bisa dilantik jika menang. Regulasi tersebut lebih memperlihatkan keberpihakan legitimasi terhadap hak sekaligus syahwat politik politisi ketimbang nilai-nilai etis, empati, dan propublik. Akibatnya, kepala daerah korup memiliki ruang eskapisme dan kamuflase moral yang mendesakralisasi pilkada.

Kemarin muncul pula isi MoU yang ditandatangani Inspektur Jenderal Kemendagri Sri Wahyuningsih dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman bahwa uang korupsi yang dikembalikan pelaku bisa menghilangkan hukuman. Ironisnya, MoU yang potensial menimbulkan permisivitas korupsi tersebut berlangsung dalam suasana pilkada, sehingga muncul dugaan jangan sampai MoU tersebut merupakan produk dari lobi politik tingkat tinggi dari elite-elite yang kini sedang merebut kekuasaan di panggung pilkada. 

Apalagi menurut Robert Putnam, elite politik adalah individu yang memiliki banyak kekuasaan politik tidak saja untuk memengaruhi orang lain, namun juga untuk memengaruhi proses pembuatan keputusan kolektif termasuk memengaruhi alokasi nilai-nilai secara otoritatif (Soekanto, 1985). Bagaimanapun, bagi para elite korup, sistem politik predatorian dan koruptif perlu dirawat bahkan diinstitusionalisasi sehingga mata rantai kerja korupsi yang melibatkan elite politik, birokrasi, dan pelaku usaha tidak terganggu. Termasuk pembentukan ruang kekuasaan yang asimetris dengan kepentingan rakyat, sehingga wajah panggung politik pun berwajah ganda.

Di panggung depan, politik terbaca sebagai arena mengabdikan potensi kepemimpinan demi kemaslahatan rakyat melalui obral janji politik. Namun di panggung belakang, politik terendus sebagai cara meluapkan keserakahan dan reproduksi nalar ekonomik-tribalistik yang melanggar prinsip moral dan hukum.

Dalam konteks itulah, resultante  kontestasi politik dalam momen pilkada selalu akan memproduksi watak kekuasaan yang mengeksploitasi sumber daya (power over ), bukan sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat (power to ). Para kepala daerah berusaha mengapitalisasi perizinan proyek di pemerintah daerah, tender proyek termasuk pelbagai penyaluran kredit, sebagaimana disinyalir Wakil Ketua PPTAK Dian Ediana Rae (7/3/2018), yang digunakan untuk pendanaan politik khususnya oleh kepala daerah untuk dapat mencalonkan kembali sebagai petahana dalam pilkada.

Dinasti
Dalam modus yang lebih ekspansif, peluang politik pilkada yang lebih besar dengan mudah disimplifikasi lewat trik politik dinasti yang melegitimasi para kerabat masuk dalam pusaran perebutan kursi kepala daerah. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, sedikitnya ada 58 daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang terindikasi sebagai dinasti politik. Di Pilkada 2018 ini, menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), calon dari dinasti politik muncul di pemilihan gubernur Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat. 
Masalahnya, dinasti politik model kita lebih berkarakter by accident  ketimbang by design . Artinya politik dinasti ditempuh semata-mata karena tuntutan merebut kekuasaan menggantikan keluarga yang sudah lebih dahulu menjabat, tanpa diawali kaderisasi dan persiapan yang bermutu. Akibatnya politik model ini selalu berujung penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi seperti kasus Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, yang adalah ayah-anak, yang terjaring OTT KPK (28/2/2018). Beda halnya jika dinasti politik dijalankan by design  yang lebih berbasis kompetensi dan profesionalisme seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan India.

Kita berharap pilkada serentak 2018 menjadi arena penyucian kehendak politik calon kepala daerah. Langkah KPK yang akan mengumumkan kepala daerah tersangka sebelum pemungutan suara, sudah tepat. Pertama, supaya rakyat lebih dini mengetahui calon-calon pemimpinnya yang korup, untuk tidak dicoblos di bilik suara. Kedua, menjadi aktualisasi tekanan moral maupun psikis buat partai politik dan para calon kepala daerah termasuk petahana, bahwa seluruh gerak-gerik politik mereka di pilkada tengah menjadi episentrum pengawasan pihak berwajib.

Kerja serius dan sinergis KPK, PPTAK, Bawaslu, KPU dalam mengontrol mobilisasi ekonomi-politik para calon kepala daerah akan membantu proteksi tahapan sakral pilkada dari bayang hitam politik koruptif yang menggurita. Integritas pilkada dan kemenangan demokrasi akan sulit dicapai jika elemen-elemen tersebut justru menggadaikan otoritasnya hanya demi tawaran kenikmatan sesaat. Ini saatnya parpol dan penyelenggara pemilu melawan serangan paralisis dalam tubuh demokrasi lokal supaya rakyat tidak terus dicampakkan nasibnya di altar pilkada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar