Jumat, 23 Maret 2018

Model Kemitraan dan Kesejahteraan Petani

Model Kemitraan dan Kesejahteraan Petani
Bagong Suyanto  ;   Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga;
Mengajar Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial
                                                        KOMPAS, 20 Maret 2018



                                                           
Formula seperti apakah yang paling realistis dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani hingga kini masih terus dicari. Salah satu yang diyakini efektif adalah model kemitraan. Dalam acara Jakarta Food Security Summit 2018, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menawarkan model kemitraan sebagai solusi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan dan kemakmuran petani (Kompas, 10 Maret 2018).

Model kemitraan ini diyakini sebagai jalan keluar alternatif, sebab petani akan memperoleh kepastian penyerapan pasar dari industri mitra atas komoditas pertanian yang mereka hasilkan. Selain itu, melalui model kemitraan, petani akan memperoleh jaminan akses ke sumber-sumber permodalan berbunga murah serta pendampingan untuk penerapan sistem budidaya yang baik.

Sepanjang 2017, Kadin telah mengajak 60 perusahaan sebagai mitra 387.089 petani kecil dan 230.182 rumah tangga petani di luar program kemitraan dengan komoditas padi.

Dilema petani

Hingga kini berbagai upaya terus dikembangkan pemerintah ataupun swasta untuk mendorong peningkatan produksi dan kesejahteraan petani. Pengalaman selama ini telah banyak mengajarkan bahwa kenaikan produktivitas dan kenaikan harga komoditas pertanian di pasaran ternyata tidak otomatis menjamin peningkatan kesejahteraan petani sebagai produsen.

Dalam struktur mata rantai penjualan produk pertanian, petani justru acap kali menerima pembagian margin keuntungan yang paling tipis, dan nilai tukar (exchange value) produk mereka cenderung turun jika dibandingkan dengan produk kebutuhan hidup sehari-hari. Di sejumlah wilayah perdesaan, penghasilan petani kecil hanya berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta sekali panen, bahkan tak jarang lebih kecil dari itu. Petani yang masih berkutat dengan mekanisme produksi yang konvensional niscaya tidak akan memiliki banyak peluang untuk survive di tengah arus perkembangan produk pangan kemasan dan produk pertanian modern.

Di era post-industrial seperti sekarang, harga produk pertanian di pasar umumnya tidak ditentukan nilai guna dan nilai tukar serta nilai kerja yang terkandung dalam komoditas pertanian itu, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan pelaku ekonomi di sektor industri pertanian mengolah hasil-hasil pertanian dan memanipulasi imajinasi para konsumen.

Seorang petani yang menghasilkan produk-produk pertanian dalam setiap panennya niscaya akan memperoleh keuntungan paling kecil. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan masih harus diolah kembali untuk memperoleh nilai tukar yang maksimal.

Sementara itu, para pelaku industri pertanian yang mengolah hasil-hasil pertanian dari petani umumnya memperoleh margin keuntungan yang paling besar karena mampu memberi nilai tambah atas produk pertanian dari petani.

Beras, misalnya, dengan hanya melakukan selep dan membersihkan hingga berwarna putih-bersih, para pedagang perantara dan pengusaha beras umumnya dapat menjual hingga Rp 20.000 lebih per kilogram. Bandingkan dengan harga kulakan mereka dari petani yang kemungkinan hanya Rp 5.000-an per kilogram.

Selama ini, keluarga-keluarga petani kecil di perdesaan masih mampu bertahan hidup di tengah tekanan kebutuhan hidup yang terus naik, bukan karena kemampuan dan posisi bargaining mereka yang meningkat di hadapan tengkulak, pedagang perantara, atau pelaku di sektor industri pertanian. Sebagian besar petani mampu bertahan hidup karena mereka melakukan pengetatan ikat pinggang dan melakukan efisiensi dalam proses produksi, seperti tidak melibatkan tenaga kerja dari luar yang harus berbayar atau mengurangi biaya dalam satuan produksi.

Dalam aktivitas sehari-hari, petani umumnya akan berusaha semaksimal mungkin mengurangi pengeluaran agar penghasilan mereka bertambah. Cuma, yang menjadi masalah, ketika biaya pengeluaran diminimalkan, semisal biaya untuk pembelian pupuk dikurangi, sering implikasinya kualitas produk pertanian yang dihasilkan menurun, yang ujung-ujungnya juga berdampak pada penurunan harga jual produk mereka.

Dilematis

Pada titik ini, tidak sedikit petani yang kemudian menghadapi situasi dilematis: mempertahankan kualitas hasil panenan dengan konsekuensi biaya produksi naik, sementara itu jika mengurangi biaya pengeluaran, risikonya kualitas hasil panenan menurun yang menyebabkan harga jual pun ikut menurun.

Di atas kertas, melalui program kemitraan, memang akan memungkinkan petani mengefisienkan ongkos produksi, mengakses modal dengan bunga ringan, meningkatkan nilai tambah dan memiliki kepastian pasar.

Meski demikian, kalau belajar dari pengalaman program serupa sebelumnya, seperti program ”bapak angkat” dan program kemitraan lainnya, mencoba mengembangkan link antara petani dan pelaku industri bukan suatu hal yang mudah dilakukan.

Dengan program kemitraan, mungkin benar bahwa rantai distribusi akan terpotong sehingga petani akan mendapatkan harga tinggi, sedangkan para pengusaha juga akan mendapat kepastian pasokan bahan baku. Namun, implementasi program semacam ini di lapangan biasanya juga sarat masalah.

Bukan tidak mungkin dua kekuatan ekonomi yang berbeda pranata sosialnya ini dalam praktik akan menemui berbagai hambatan karena ketidakmampuan petani memenuhi standardisasi yang ditetapkan perusahaan. Selain itu, bukan tidak mungkin, kemitraan yang terjalin cepat atau lambat akan melahirkan ketergantungan karena sifat relasi yang tidak setara.

Seorang petani tembakau, misalnya, niscaya tidak akan dapat berbuat apa-apa ketika pihak pabrik rokok menetapkan harga beli yang rendah karena daun tembakau yang dihasilkan petani turun kualitasnya karena anomali cuaca.

Dalam kondisi yang tidak dapat diduga, dan ketika komoditas pertanian yang dihasilkan tidak memenuhi standar yang telah disepakati karena faktor-faktor di luar kemampuan petani, pertanyaannya kemudian, adilkah jika semua risiko lantas harus ditanggung petani sendiri?

Program kemitraan adalah program yang mungkin menjanjikan karena keseimbangan antara penawaran dan kebutuhan pasar menjadi lebih pasti penyalurannya. Namun, dalam banyak hal, petani lemah posisinya dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap mitra kerjanya, seberapa bisa dijamin mereka akan diperlakukan dengan adil?

Program kemitraan kemungkinan berpeluang berhasil jika di saat yang sama petani memiliki amunisi dan posisi bargaining yang lebih kuat, baik secara kelembagaan maupun kemampuan social-entrepreneurship untuk memberi nilai tambah pada produk yang mereka hasilkan.

Kesejahteraan petani, menurut saya, lebih mungkin diwujudkan jika petani berperan lebih besar dalam proses pengolahan dan pemberian nilai tambah produk pertanian—bukan sekadar pemasok bahan baku sektor industri pertanian.

Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar