Menuju
Pendidikan yang Memerdekakan
Abdul Rahim ; Mahasiswa Pascasarjana
Departemen Media & Cultural
Studies UGM
|
DETIKNEWS,
09 Maret
2018
"Bila
kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya lebih tinggi dan
pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya
memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan
sama sekali" - Tan Malaka.
Sekolah
adalah salah satu penyebab hierarki sosial yang terjadi di masyarakat.
Kira-kira begitulah ungkapan Bourdieu tentang perbedaan status sosial
masyarakat berkaitan dengan modal sosial dan simbolik yang terbentuk setelah
seseorang mengenyam pendidikan. Siapa sangka dengan pendidikan tersebut
justru menjadikan seseorang seolah merasa lebih perlu dihargai dari orang
lain dalam konteks bermasyarakat.
Tak
jarang terdapat hal sederhana yang terjadi di institusi pendidikan kita dan
bisa membuat gelak tawa jika mengingatnya. Suatu waktu salah seorang kawan
yang akan meminta tanda tangan dosen pengujinya tidak mau tanda tangan hanya
karena gelarnya lupa ditulis, atau salah seorang pengajar geram ketika
mengetahui tugas paper mahasiswanya satu pun tidak mengutip buku karangannya,
padahal sesuai dengan mata kuliah yang diampu. Dan, masih banyak sederet
kisah yang tidak substansial dengan konsepsi pendidikan yang memerdekakan.
Ini
artinya, ketika seseorang mendapat pendidikan lebih tinggi, secara tidak
langsung berharap kapital budaya dan kapital simbolik itu melekat pada mereka
yang secara serta merta menuntut masyarakat sekitar untuk mengamininya pula.
Karakter seperti ini cukup banyak bergentayangan di kalangan mahasiswa kita
dengan lingkup borjuisitas di kalangan mereka. Lalu karakter yang melekat itu
pun seakan menjadi kebiasaan yang terus direproduksi dan akhirnya mengakar
secara turun temurun.
Contoh
kecil yang terjadi ketika Indonesia saat ini diberitakan sedang krisis
petani, justru sarjana-sarjana pertanian kita malah sibuk dengan urusan
kantor, dengan menjaga diri untuk selalu tampil rapi dan tak tersentuh
kotoran sedikit pun. Pendidikan yang didapatkan sarjana pertanian kita bisa
dikatakan belum berbasis untuk pengembangan keilmuan yang bermanfaat untuk
masyarakat, namun masih sebatas ambang aman untuk mereka mendapatkan
pekerjaan --syukur-syukur jika sesuai dengan bidang keilmuan yang telah
mereka dapatkan.
Jika
menelusuri tentang kutipan di awal, apa yang diungkapkan Tan Malaka bukan
hanya terjadi dalam konteks ketika zamannya para kaum terdidik mencari aman
dengan diberikan posisi di pemerintahan kolonial, namun hal ini sering
terjadi juga dalam konteks kehidupan modern saat ini. Kaum terdidik lebih
banyak terpusat di satu titik dengan alibi ketidaktersediaan lapangan kerja
ketika kembali ke kampung halaman. Jadilah mereka menjadi tenaga yang
dieksploitasi meski dengan bekerja tidak sesuai dengan kompetensi yang pernah
digeluti.
Lalu
ketika berbicara tentang sederet problematika pendidikan kita saat ini, jika
para mahasiswa kita masih tertanam dalam pikiran mereka bahwa pendidikan yang
tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya, maka dikotomi
antara layak dan tidak layak tersebut perlu didefinisikan secara tuntas.
Misalnya, ketika seorang sarjana peternakan yang notabenenya akan bergelut
dengan ternak dan kandang, lebih memilih untuk sekedar sebagai tenaga
penyuluh yang hanya berkoar-koar tentang kesehatan ternak dan pakan yang baik
dari pada mempraktikkan langsung sebagai peternak. Dan itu menurut mereka hal
layak dengan status mereka yang lebih mengetahui tentang peternakan.
Sementara
masyarakat yang memang pekerjaan mereka sebagai peternak, mencari rumput,
atau memberi makan ternak dan membersihkan kandang, itu hal yang wajar mereka
lakukan, dengan alasan mereka yang terikat dan bertanggung jawab atas itu.
Seolah para sarjana terdidik tidak layak untuk melakukan apa yang dilakukan
masyarakat kita yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Layak dan tidak layak
menjadi hal yang tidak substansial jika merujuk pada kiprah yang bisa
dilakukan dalam konteks bermasyarakat. Tentu saja sebab masih adanya gengsi
yang menjadi barikade untuk seorang terdidik melakukan pekerjaan yang menurut
definisi relatif mereka antara layak dan tidak layak tersebut.
Jika
seseorang masih berpikir ketika mendapatkan pendidikan tinggi supaya
mendapatkan pekerjaan yang layak, maka pendidikan yang memerdekakan hanyalah
slogan mati yang belum dipahami secara filosofis. Mereka yang mendapatkan
pendidikan tinggi, lalu sekedar mencari aman dengan gelar dari pendidikan
yang telah mereka dapatkan (dalam hal pekerjaan) dan tidak berupaya untuk
memerdekakan masyarakat, inilah yang disebut dengan kaum lamisan.
Meminjam
ungkapan dari Haji Misbach, seorang muslim kiri revolusioner, kaum lamisan
tidak lebih hanyalah budak yang hanya berorientasi harta dan posisi aman
dalam kehidupan mereka. Mereka tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya juga
yang butuh untuk dimerdekakan, baik merdeka dalam hal pengetahuan, ekonomi,
lebih-lebih merdeka dalam kesetaraan status sosial dalam masyarakat.
Pendidikan
yang memerdekakan bukan pula sebatas membebaskan diri berpikir melewati
batas-batas yang distandarkan masyarakat secara umum. Namun juga memerdekakan
akal budi untuk berperilaku sosial positif yang persuasif dan emansipatoris
terhadap masyarakat sekitarnya. Misalnya, seorang terdidik harus berupaya
melawan batas-batas sistem yang selama ini menjadikan masyarakatnya
tertindas, dan menjadi pelopor untuk sebuah perubahan yang berorientasi pada pembebasan
masyarakat untuk tidak terus menerus terkungkung dalam pemikiran yang
terkotak-kotak dan cari aman sendiri. Akan tetapi mendobrak kesadaran mereka
untuk berpikir bagaimana sebuah tatanan sosial yang setara untuk
kesejahteraan bersama menjadi hal penting untuk diwujudkan.
Lalu
terkait dengan upaya memerdekakan masyarakat dalam hal intelektualitas,
banyak hal yang bisa dilakukan para kaum terdidik kita untuk sekitar mereka
dengan kompetensi keilmuan yang telah mereka dapatkan. Salah satunya menjadi pegiat
pendidikan untuk generasi bangsa di sekitar mereka, tidak mesti bergelut
dalam situasi formal, pendidikan secara non formal pun merupakan hal yang
cukup luar biasa untuk mereka mau meluangkan waktu membagikan ilmu kepada
orang lain. Bahkan di beberapa daerah, pegiat pendidikan atau pegiat literasi
bukan dari orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, akan tetapi mereka
yang mempunyai kepedulian tinggi untuk memerdekakan generasi bangsa agar
berwawasan luas.
Contohnya,
Bemo Pustaka; seorang supir bemo paruh baya yang sore harinya menjadikan bemo
miliknya diisi buku-buku bacaan lalu berkeliling kampungnya untuk menjajakan
buku tersebut agar dibaca orang lain, dengan sasaran utamanya anak-anak yang
berkumpul di suatu tempat yang telah disepakati. Ada pula Jamu Pustaka;
seorang pedagang jamu yang nyambi membawa buku bacaan bagi pembeli jamunya.
Begitu juga dengan Lumbung Pustaka, yang digagas oleh seorang buruh bangunan
yang merasa prihatin dengan kondisi generasi bangsa yang perlu mendapatkan
perhatian dalam dunia literasi.
Hal
tersebut seharusnya menjadi lecutan bagi kaum terdidik yang notabenenya
menjadi agen untuk menjadikan orang lain terdidik juga, alih-alih sekedar
mencari aman dengan status ketinggian pendidikan yang telah mereka dapatkan.
Maka hal pokok yang mesti juga dibangun dalam pendidikan kita bukan hanya
soal kognisi dan kompetensi dalam bidang keilmuan yang mereka geluti,
melainkan kognisi sosial untuk sebuah kepedulian dengan mata dan hati terbuka
untuk sekitarnya sangat vital untuk ditanamkan sejak dini.
Begitu
pula dengan memerdekakan masyarakat secara ekonomi, banyak hal yang bisa
dilakukan kaum terdidik sebagai pelopor untuk kesejahteraan bersama, seperti
menggiatkan usaha-usaha kerakyatan dengan modal bersama, koperasi usaha, kelompok
tani, kelompok ternak, dan lainnya. Akan tetapi satu hal yang kembali mesti
diingat, memerdekakan masyarakat bukan hanya untuk mengejar status sosial
agar semakin dihormati dalam masyarakat, atau semata-mata mendapatkan
penghargaan, namun keikhlasan dan ketulusan untuk terwujudnya kehidupan
sosial itu lebih utama menjadi semangat untuk memulai hal tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar