Kompetensi
Kepribadian Guru
Mohammad Abduhzen ; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
19 Maret
2018
Proses pembelajaran yang
diselenggarakan oleh sebagian besar guru yang sekarang disebut profesional—
karena telah memiliki sertifikat pendidik dan memperoleh tunjangan
profesi—sesungguhnya tak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Para guru pada umumnya mengajar
secara konvensional dengan proses pembelajaran satu arah. Sedikit sekali
dijumpai guru yang mendorong murid untuk mengembangkan penalaran dan
fantasinya melalui kegiatan bertanya, berdialog, dan memecahkan berbagai
masalah. Jika dari model pembelajaran yang menjemukan dan tak imajinatif itu
kita mengharapkan sesuatu yang dapat mengembangkan sikap dan kecakapan abad
21 bagi negeri yang konon akan menghadapi era revolusi industri keempat
(Era 4.0) dan bonus demografi, maka gambaran ini tidaklah begitu
menggembirakan, meskipun dasar-dasar normatif untuk pembelajaran aktif dan
produktif telah lama ada dalam aturan pendidikan kita.
Guru sebagai pendidik yang
mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi diri seperti didefinisikan oleh UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) masih terabaikan. Demikian
pula teori pembelajaran dan pendekatan Kurikulum 2013 yang
mengharuskan para guru mengamati kebutuhan, kemampuan, bakat dan minat
para murid secara perorangan sehingga dapat dikembangkan beragam potensinya,
masih jauh panggang dari api.
Sekiranya para guru dipandang
gagal dalam melaksanakan reformasi pembelajaran dan dengan profesionalismenya
belum mampu memenuhi apa yang diperlukan masyarakat modern abad 21, tidaklah
berarti mereka sepenuhnya harus dipersalahkan. Para guru memang operator
terpenting dalam pembelajaran, tetapi dalam sistem birokrasi pendidikan
Indonesia yang panjang dan berbelit, mereka merupakan mata rantai paling
ujung yang harus menerima dan menjalankan begitu saja berbagai kebijakan di
atasnya.
Kebijakan profesionalisme, melalui
berbagai insentif di antaranya tunjangan profesi, telah membuat
kesejahteraan sebagian guru meningkat. Namun, dugaan bahwa jika kesejahteraan
membaik, maka kinerja guru akan meningkat pula, ternyata tidaklah berlaku.
Memberikan insentif, tanpa disertai pengelolaan motif dan kinerja bukan
saja tidak efektif, tetapi juga dapat menambah kesibukan yang melenakan
kewajiban serta merusak mentalitas para guru. Alhasil, para guru tak lebih
dari sekadar menjalankan kerja rutin dengan menganggap pendekatan dan
pembelajaran konvensional sebagai praktik pedagogi yang baik. Hanya itu yang
diketahui mereka sejak awal dan tak pernah mendapatkan pencerahan serta
pembaruan selama menjadi guru.
Pemerintah pusat dan daerah,
barangkali karena keterbatasan dana, keterbatasan pengetahuan atau karena
alasan politis, lebih suka membuat beragam kebijakan kasat mata dan
berjangka pendek seperti membangun gedung, peralatan, kurikulum, dan
administrasi daripada kebijakan substansial mengimplementasikan pembaruan
model pembelajaran.
Padahal inti dari proses
pendidikan dan hasil akhir dari seluruh rencana pendidikan letaknya sangat
tergantung pada pendekatan, metode, dan proses mengajar serta aktivitas
belajar yang mengikutinya. Biaya mahal untuk gedung dan lain-lainnya
sejatinya hanya dibenarkan sejauh menunjang proses utama tersebut dan
penambahan anggaran tanpa menghasilkan perbaikan proses pembelajaran hanya
berarti pemborosan.
Profesi
mengajar
Bagian tersulit dan berlarut-larut
dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran adalah mengubah
kebiasaan dan sikap suatu generasi guru yang telah lama terbentuk. Lima belas
tahun sudah, ide mengubah dan memperbaiki mutu pembelajaran dengan
meningkatkan performa dan kinerja guru dipatrikan dalam UU Sisdiknas.
Ide itu, kemudian dikemas dan dioperasionalisasikan dengan sebutan
“profesionalisme” dalam UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang di
dalamnya mutu guru diobyektivikasi melalui kualifikasi akademik, kompetensi,
dan sertifikasi guru. Namun bergeming.
Kebijakan profesionalisme guru
telah menghebohkan situasi pendidikan kita, seolah-olah suatu perubahan
penting telah terjadi dalam substansi profesi mengajar. Padahal kenyataannya
tidak. Bagaimana hendak berubah jika berbagai program yang dijalankan tak
menyentuh faktor-faktor esoteris kepribadian yang men-drive kinerja guru.
Kepribadian guru yang jadi salah satu kompetensi dari empat kompetensi yang
ditetapkan adalah sangat menentukan performa guru.
Bagaimanapun cakapnya kompetensi
pedagogis dan dalamnya kompetensi profesional guru, bila kepribadiannya buruk
seperti kurang bertanggung jawab, pemalas, jumud, tak berjiwa penolong,
materialistik, pemarah, egosentris, diskriminatif dan tak demokratis, membuat
pembelajaran/pendidikan tak akan efektif.
Sebaliknya, seorang guru yang roh
keguruannya “hidup” akan running sendiri melengkapi beragam
kekurangannya dalam kompetensi lainnya. Penyempurnaan diri berkelanjutan
(continues improvement) merupakan prinsip utama profesionalisme yang letaknya
di dalam pribadi seorang guru. Sayangnya kompetensi kepribadian yang
seyogianya sebagai basis pengembangan kinerja guru belum tersentuh dalam
gebyar profesionalisme selama ini. Suatu pertanyaan yang kiranya perlu
diperjelas untuk menangani kinerja guru, adalah mengapa para guru mengajar
dengan cara yang mereka lakukan itu?
Ini menyangkut latar belakang,
proses pembentukan, dan pengembangan kepribadian guru. Meskipun data
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tahun 2015 menunjukkan
perkembangan menggembirakan bahwa tiga dari 10 pelajar usia 15 tahun
Indonesia ingin menjadi guru, sesungguhnya, sejak dulu profesi mengajar
tidaklah dipandang bergengsi kecuali di masyarakat pedesaan. Ketika
Pemerintah Belanda pada pertengahan abad 19 mulai mendirikan sekolah kejuruan
(vakscholen), anak kalangan priayi dan orang kaya pribumi lebih tertarik
kepada “Sekolah Radja” (Hoofdenscholen/Sekolah Calon Pegawai Sipil Pribumi)
ketimbang masuk Sekolah Pelatihan Guru Pribumi (Kweekschool).
Kecenderungan itu tampaknya terus
berlanjut, Sekolah pendidikan guru (SGA, SPG) dan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK, dulu IKIP) dianggap berkedudukan lebih
rendah dibandingkan dengan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi non
keguruan. Kebanyakan siswa yang memiliki prestasi akademik terbaik tidak
tertarik masuk institut yang mencetak guru.
Data OECD di atas juga menyebutkan
bahwa para siswa yang berharap akan berkarier sebagai guru pada umumnya
memiliki nilai matematika dan kemampuan membaca (reading skills) lebih rendah
dibandingkan murid yang bercita-cita menjadi profesional selain guru.
Selain itu, menurut Profesor Beeby
(1987), sekitar 80 persen mereka yang masuk ke lembaga pendidikan guru di
Indonesia adalah para siswa/mahasiwa yang berlatar belakang ekonomi lemah.
Pada umumnya mereka tak berminat menjadi guru, tetapi karena
gagal masuk ke sekolah/perguruan tinggi yang lebih prestisius non keguruan
atau karena di institut keguruan biayanya lebih murah atau tersedia
beasiswa/ikatan dinas.
Belakangan, seperti tergambar dari
data OECD dan data Bank Dunia (2012), sejak penghasilan guru membaik (karena
adanya tunjangan profesi guru) minat anak muda menjadi guru meningkat,
sehingga kita menyaksikan 69,4 persen dari peserta SBMPTN dan 49,5 persen
peserta SNMPTN tahun 2013 menjatuhkan pilihan utamanya pada LPTK (Kompas
9/7/2013).
Dengan latar belakang sosial dan
intelektual yang sebenarnya kurang memadai, calon guru dipersiapkan dalam
sebuah proses pendidikan yang tak cukup demokratis/dialogis yang memungkinkan
tumbuhnya kebanggaan profesi, terbentuknya kepribadian kuat, dan terasahnya
kemampuan berpikir analitis/kritis.
Situasi pendidikan guru yang
tradisional itu terus berlangsung hingga dewasa ini meski di sana-sini
ditunjang oleh bermacam teknologi pembelajaran. Kemerosotan kualitas
pendidikan guru bahkan kini menuju titik ekstrem sehubungan dengan banyaknya
LPTK yang tidak berkualitas (Data Kemristekdikti: ada 422 LPTK, 41 Negeri/PTN
selebihnya LPTK Swasta. Yang PTN, program studi terakreditasi A hanya 7
persen, akreditasi B 35 persen, dan C 23 persen, dan 35 persen lagi
belum terakreditasi. Yang swasta tentu lebih parah).
Setelah puluhan tahun bertugas,
sebagian besar guru di seluruh tanah air tak mendapatkan pelatihan (inservice
training) sehingga mereka bertugas seperti menjalankan “ritual” kuno dengan
penampilan yang lesu dan buku-buku yang lusuh. Tahun 2006/2007 pemerintah
mulai menjalankan program sertifikasi portofolio sebagai satu bagian penting
dari “profesionalisme” yang kemudian diikuti serangkaian program yang
secara kualitatif kurang berdampak positif seperti Uji Kompetensi
Guru (UKG), program Guru Pembelajar (GP), dan Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB).
Untuk perbaikan mendasar dan luas,
redesain LPTK merupakan suatu keniscayaan. Sejak perubahan IKIP jadi
universitas tahun 1999, penataan LPTK sebenarnya telah dimulai. Sayangnya,
reformasi itu seperti tak terkonsepkan secara utuh dan berjalan
terpotong-potong. Berlanjut dengan UU Guru dan Dosen (GD) 2005 yang
seyogianya LPTK hanya menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan
tidak lagi menyelenggarakan pendidikan calon guru pada strata satu (S1), juga
tidak berjalan baik.
Pembenahan LPTK dengan Program
Pendidikan Profesi Guru (PPG)-nya harus diikuti oleh strategi pengembangan
kualitas yang utamanya melalui perbaikan sistem rekrutmen dan proses
pembelajaran calon guru. Meningkatnya minat anak muda untuk menjadi guru,
dapat dijadikan titik tolak (starting point) pembenahan dengan melakukan
penyeleksian yang lebih baik.
Tantangan di depan mata
Diperlukan komitmen para pihak
terkait, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah
daerah, untuk menjalankan program konkret yang tak biasa (unusual) dalam
penyiapan dan pengelolaan guru menghadapi dimensi tantangan yang juga tidak
biasa.
Tantangan pendidikan di depan mata
sekarang ini adalah rendahnya kemampuan murid-murid kita, khususnya dalam
“berpikir” (tingkat tinggi). Untuk mengatasi masalah ini hal utama dan
pertama bukanlah memberikan kemampuan guru menggunakan teknologi mutakhir
yang serba canggih, tetapi bagaimana kita mengubah pola pikir dan membuka
cakrawala sehingga terbentuk (calon) guru berkepribadian baru yang mampu
menyelenggarakan pembelajaran “dialogis.”
Maka proses pembelajaran termasuk
pemagangan semasa di LPTK dan PPG harus merupakan stadium pemerdekaan dan
penguatan kepribadian calon guru.
Sementara itu, untuk guru dalam
jabatan peran aktif pemerintah daerah sangat dinantikan. Program pelatihan
kompetensi guru, terutama kompetensi kepribadian yang diproyeksikan dengan
revitalisasi asosiasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
dan Kelompok Kerja Guru (KKG) serta asosiasi guru lainnya perlu
diprioritaskan dengan anggaran memadai. Stagnasi yang kita alami 15 tahun
belakangan ini di antaranya karena lemahnya komitmen pemda terhadap pemajuan
pendidikan.
Pendidikan merupakan urusan yang diotonomikan, namun
implementasinya di daerah selama ini, pendidikan lebih banyak
dimanipulasi dari sisi penganggarannya, dan dipolitisasi di saat pemenangan
pilkada saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar