Selasa, 20 Maret 2018

Hawking dan Asal Usul Alam Semesta

Hawking dan Asal Usul Alam Semesta
Freddy Permana Zen  ;   Guru Besar Fisika Teoretik Energi Tinggi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB)
                                                     REPUBLIKA, 19 Maret 2018



                                                           
Beberapa hari lalu, tepatnya Rabu 14 Maret, tepat saat A Einstein dilahirkan sekitar 139 tahun lalu, telah meninggal dunia salah seorang fisikawan besar abad ini, Prof SW Hawking. Hal ini merupakan kehilangan besar, tidak hanya bagi keluarga dan sahabatnya, tapi juga bagi dunia, khususnya bidang fisika.

Banyak karyanya yang menginspirasi kalangan saintis dalam pengembangan ilmu, terutama di bidang ruang-waktu selain juga pernyataan-pernyataannya yang sering kali kontroversial dan banyak menggelitik orang untuk berkomentar.

Bersama-sama Einstein, tak pelak Hawking masuk jajaran selebritas dunia yang komentarnya banyak dikutip media. Di samping itu, sebenarnya menarik untuk membahas teori-teori yang ia kemukakan pada saat hidupnya, sehingga dapat diambil beberapa pelajaran darinya bagi generasi muda dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (juga teknologi).

Singularitas di alam semesta

Awal kariernya dimulai ketika hendak menyelesaikan disertasi S-3 atau doktornya (PhD) di usia yang sangat muda, sekitar 23 tahun, di bawah bimbingan Prof D Sciama di Oxford University. Ia mengajukan proposal bahwa jika alam semesta seperti saat ini dan kita kembali ke masa lalu (dalam waktu sejauh-jauhnya) maka akan bertemu dengan suatu titik awal alam semesta.

Masalahnya adalah bagaimana cara menandai titik awal tersebut dan lintasan mana yang diambil untuk kembali ke masa lalu dan kecepatan berapa? Apakah semua kecepatan atau lintasan sebarang dapat dipakai untuk ke masa lalu?

Untuk keperluan ini, ia harus mengambil teori Einstein sebagai landasan serta matematika bidang topologi dan geometri diferensial sebagai alat analisisnya. Untuk keperluan itu, ia mendekati Prof R Penrose, matematikawan di Oxford yang mendalami bidang geometri.

Teori Newton tidak dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika alam semesta. Teori ini menghendaki semua titik di jagat raya bersifat datar, jika bertemu dengan benda mempunyai massa besar (masif) misalnya galaksi, dinamikanya datar dan tivial.

Tentu hal ini tidaklah betul jika digunakan untuk menggambarkan struktur global jagat raya. Jika ada benda masif maka ruang-waktu yang ada di sekitarnya melengkung (tidak datar), jadi struktur kausal (sebab-akibat) tidak sesederhana konsep Newton.

Ada wilayah benda masif yang bergerak (disebut wilayah timelike), cahaya yang bergerak dengan kecepatan yang paling besar di jagat raya (wilayah null), dan wilayah spacelike yang kecepatan gerak lebih besar dari cahaya.

Tentunya trajektori atau lintasan yang diambil, sesuai dengan lintasan kausal adalah timelike dan null, yaitu benda masif dan cahaya. Untuk bagian spacelike kita abaikan karena tidak kausal, sebab dan akibat dapat bertukar.

Di samping itu, lintasan tempuh yang diambil haruslah yang paling singkat atau ekstrem yang disebut geodesic maka dipilihlah lintasan kausal (timelike dan null) yang bersifat geodesic. Kemudian Hawking (dibantu Penrose), merumuskan dinamika lintasan tadi kembali ke masa lalu, mereka menemukan suatu titik yang mengakhiri sifat kausal dan geodesic dari lintasan, sehingga titik tersebut disebut titik singular atau awal mula jagat raya yang kita tempati ini. Hasil riset tersebut mereka publikasikan di beberapa jurnal dan buku.

Yang menarik adalah kesimpulan dari teorema singulitas di atas menghendaki adanya awal alam semesta, walaupun hanya mengambil efek klasik. Era sebelumnya, berdasarkan teori Newton, keadaan ini tidak dapat dijelaskan, sehingga awal dan penciptaan alam semesta bersifat spekulatif. Sehingga, ada yang berpendapat bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya, tidak ada peranan Tuhan.

Namun, dengan teorema Hawking dan Penrose jelas menunjukkan ada awal dan sebelum awal tidak diketahui fisinya, sehingga dapat disimpulkan tentu ada yang menciptakannya, yaitu Allah SWT.

Namun, kontroversi ini rupanya masih dilanjutkan oleh Hawking. Penulis masih ingat waktu itu di Kyoto ketika mendengar ceramah Hawking tentang awal alam semesta, dia mengatakan bahwa efek kuantum (sehingga timbul fluktuasi kuantum) yang menyebabkan terjadinya ruang-waktu.

Kesimpulan ini menjadi kontroversial dan penulis sempat menanyakan bahwa boleh saja efek kuantum berlaku di situ, tetapi siapa yang menciptakan efek tersebut? Tidak mungkin hukum kuantum terjadi dengan sendirinya. Jadi, kesimpulan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya tak berdasar secara fisis.

Memang kesimpulan Hawking di atas tidaklah dijadikan pegangan oleh para saintis yang menggeluti bidang ini. Namun, pernyataan ini kemudian dikutip oleh media, sehingga menjadi besar dan Hawking pun menjadi selebritas.

Di samping itu, ada juga singularitas yang muncul akibat akhir masa hidup benda-benda masif. Misalnya melalui runtuhnya gravitasi atau bintang. Mereka pun telah menunjukkan gejala ini melalui kehadiran black hole.

Penampakan benda ini tidak bisa dilihat secara langsung karena ada batas pandang pada saat terbentuknya benda tersebut. Melalui deteksi tidak langsung, tapi dari dinamika benda yang ada di sekitar black hole, para ilmuwan dapat mengamati kehadirannya. Malahan dapat digunakan untuk mendeteksi kehadiran gelombang gravitasi, sehingga the Royal Swedish Academy of Sciences menganugerahkan hadiah Nobel bidang Fisika 2017 kepada tiga fisikawan masing-masing R Weiss, BC Barish, dan KS Thorne atas kontribusi mereka dalam penemuan gelombang gravitasi.

Ada beberapa lagi penemuan Hawking lainnya yang cukup signifikan. Misalnya, efek kuantum di sekitar event horizon black hole menyebabkan benda tersebut tidaklah hitam pekat, tetapi meradiasi energi yang disebut radiasi Hawking. Efek ini kemudian memberikan sifat termodinamika black hole.

Dari uraian singkat tersebut dapat kita simpulkan, walaupun banyak hal kontroversial dari Hawking, banyak sumbangan pemikiran yang ia berikan untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Bagi kita, apa pun pernyataan yang diberikan Hawking, kita tetap yakin bahwa alam semesta diciptakan Allah SWT. Penemuan-penemuan yang dilakukan manusia tiada lain adalah untuk menguatkan keyakinan tersebut. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

1 komentar: