Senin, 12 Maret 2018

Cantrang: di Antara Susi dan Jokowi

Cantrang: di Antara Susi dan Jokowi
Jannus TH Siahaan  ;   Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
                                                  KORAN SINDO, 07 Maret 2018



                                                           
BEBERAPA waktu lalu Alian­si Nelayan Indonesia meng­ungkapkan bahwa dam­pak pelarangan cantrang mem­buat 600 kapal cantrang atau 80% total kapal di wilayah Tegal, Jawa Tengah, kini tak ber­operasi. Ada 12.000 anak buah kapal (ABK) dan nelayan can­trang di wilayah tersebut ke­hi­langan pekerjaan dan ber­dam­pak pada 48.000 orang keluarga nelayan.

Selain berdampak pada ne­la­yan, kebijakan tersebut juga membuat 11 unit pengolahan ikan (UPI) dengan 550 pekerja ditutup. Kemudian, 12 unit cold storage dengan 180 pekerja juga di­­tutup. Lalu, 864 buruh dan pe­kerja pelabuhan perikanan menganggur. Sebanyak 101 pemilik kapal mengalami kredit macet. Utangnya mencapai 70 miliar rupiah.

Itu baru di wilayah Tegal. Dae­rah lain tentu juga me­ra­sa­kan dampaknya. Oleh karena itu, sejumlah perwakilan ne­la­yan dari pantai utara Jawa, di an­taranya Rembang, Kudus, dan Tegal, datang ke Jakarta untuk mendesak pemerintah mem­buka kebijakan pela­rang­an cantrang. Berlarut-larutnya masalah cantrang bisa jadi ka­rena koordinasi antar­ke­men­teri­an, antarkedinasan hingga instansi paling bawah tidak ber­jalan optimal.

Pelarangan cantrang meng­acu pada Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Per­ikan­an Nomor 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Pe­nangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl ) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Ada juga Permen Ke­laut­an dan Perikanan Nomor 71/ 2016 tentang Jalur Penang­kap­an Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan, Ini meng­atur larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah ling­kung­an, yaitu pukat hela, pukat tarik, termasuk cantrang. Peraturan ini berlaku sejak 1 Januari 2018.

Saat resmi diberlakukan, se­mua nelayan yang meng­gu­na­kan cantrang langsung me­nya­takan penolakan. Tidak hanya melalui aksi unjuk rasa, peno­lak­an nelayan dan pe­ngu­saha perikanan juga dilakukan de­ngan mendatangi Ombuds­man RI. Mereka mengeluhkan pe­la­rang­an tersebut.

Saat itu Ombudsman RI lang­sung merespons keluhan ter­sebut dengan mengeluarkan rekomendasi kepada Ke­men­terian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam rekomendasi ter­sebut, KKP diminta untuk me­laksanakan masa transisi per­alihan dari cantrang ke alat pe­nangkapan ikan yang baru yang memenuhi kriteria ramah ling­kungan seperti disyaratkan KKP.

Dengan kata lain, KKP ha­rus menerapkan masa tran­sisi, ka­rena pelarangan pukat hela dan cantrang tidak ter­da­pat dalam Undang-Undang No­mor 45 Tahun 2009 tentang Per­ikanan. Oleh karena itu di­bu­tuhkan masa transisi dalam pene­rap­an­nya. Setelah keluar reko­men­dasi dari Ombudsman RI, KKP langsung meres­pons­nya de­ngan menunda pela­ran­g­an can­trang dan memberikan wak­tu transisi peralihan terhi­tung sejak 2015 dan berakhir pada Desember 2016. Dengan demi­kian, selama masa transisi, can­trang tetap bisa digunakan se­ba­gai alat penangkapan ikan.

Namun, polemik kemudian muncul lagi saat KKP meng­akhiri masa transisi pada 31 De­sember 2016 dan mulai mem­ber­lakukan Permen No­mor 2/2015. Otomatis, para ne­la­yan dan pengusaha perikanan yang menggunakan cantrang harus segera meng­gan­tinya. Se­ba­gai­mana dinya­ta­kan KKP, pem­ber­la­kuan Permen me­mang tidak bisa dihindari lagi. Ken­dati demikian, pihaknya tetap memberi toleransi kepada para pengguna alat penang­kap­an ikan untuk segera meng­gan­ti­nya maksimal dalam waktu enam bulan atau berakhir pada Juni 2017.

Selama masa enam bulan ter­­sebut, KKP juga akan mela­ku­kan pendampingan secara intensif kepada para peng­guna alat tangkap yang di­larang un­tuk bisa me­la­kukan peng­gan­­tian. Ar­ti­nya, upa­ya peng­gan­ti­an akan didorong melalui pen­dam­pingan, dan tidak hanya dari pemberlakuan Permen. Se­lain itu, pada masa tersebut, KKP atau aparat lain di negeri ini tidak akan melakukan pe­nang­kap­an kepada nelayan ataupun kapal yang masih meng­gu­na­kan cantrang. Namun, agar para pengguna memahami, peme­rin­tah berjanji hanya akan mem­berikan teguran saja ke­pada para pengguna dan mem­be­rikan peringatan untuk se­ge­ra menggantinya.

Di Indonesia, cantrang ba­nyak digunakan di wilayah pan­tai utara Jawa dan sebagian ke­cil di sejumlah daerah lain di luar Pulau Jawa. Da­ri data yang di­ri­­lis KKP, pa­da 2015 ter­ca­tat ada 5.781 unit can­trang di se­luruh Indo­nesia. Dari jum­lah terse­but, 1.529 unit kemudian dila­ku­kan penggantian dengan alat pe­nangkapan ikan ramah ling­kungan. Namun, mes­ki proses peng­gan­tian masih terus ber­lang­sung hingga sekarang, di awal 2017 KKP mencatat ke­naik­an alat tangkap can­trang men­jadi 14.357 unit. Menjadi sa­ngat ironis, justru setelah dila­rang dan diberi masa teng­gang, jumlah can­trang justru semakin banyak.

Lantas, mengapa cantrang di­larang? Sesuai dengan Pera­tur­an Menteri Kelautan dan Per­ikanan Nomor 71/2016, la­rangan diberikan karena diang­gap bisa merusak lingkungan. Dalam aturan tersebut, ada tiga alat yang dilarang, yakni pukat hela, pukat tarik, dan pe­rang­kap.

Ketiga jenis alat tersebut dilarang karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh ka­rena itu, KKP merilis pela­rang­an tersebut dengan tujuan un­tuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang ber­tang­gung jawab, optimal, dan ber­ke­lanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik peman­faat­an sumber daya ikan berda­sar­kan prinsip penge­lo­laan sum­ber daya ikan.

Namun dari per­kem­bang­an yang ada, tampaknya me­mang tak mudah bagi Menteri Susi Pudjiastuti untuk memu­tus­kan. Di satu sisi ekosistem ke­lautan harus diselamatkan, tapi di sisi lain kebergan­tungan ba­nyak nelayan ke­pada can­trang justru makin bertambah seiring mening­katnya jumlah cantrang ter­hitung sejak atur­an pela­rangan dimulai.

Akibatnya, para nelayan mengeluhkan masalah ini ke Presiden Joko Widodo. Na­mun sayang, tampaknya RI 1 cukup bersimpati dengan para pe­milik cantrang sehingga beliau pun ber­janji untuk me­manggil Men­teri Susi sesegera mung­kin. Selain itu, juga berjanji akan mem­per­te­mukan para nelayan can­trang dengan men­teri wani­ta nan unik tersebut.

Bagai­ma­na­pun, sebagai pre­siden, Joko­wi memang harus berada di an­tara kepentingan untuk me­nye­lamatkan eko­sistem dan me­no­leransi ke­ber­gantungan ne­la­yan kepada cantrang agar ada agar win-win solution. Apalagi tenggang waktu menuju Pe­mi­lihan Presiden 2019 makin dekat. Ya kan Pak De?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar