Cantrang:
di Antara Susi dan Jokowi
Jannus TH Siahaan ; Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 07 Maret 2018
BEBERAPA
waktu lalu Aliansi Nelayan Indonesia mengungkapkan bahwa dampak pelarangan
cantrang membuat 600 kapal cantrang atau 80% total kapal di wilayah Tegal,
Jawa Tengah, kini tak beroperasi. Ada 12.000 anak buah kapal (ABK) dan
nelayan cantrang di wilayah tersebut kehilangan pekerjaan dan berdampak
pada 48.000 orang keluarga nelayan.
Selain berdampak pada nelayan, kebijakan tersebut juga membuat 11 unit pengolahan ikan (UPI) dengan 550 pekerja ditutup. Kemudian, 12 unit cold storage dengan 180 pekerja juga ditutup. Lalu, 864 buruh dan pekerja pelabuhan perikanan menganggur. Sebanyak 101 pemilik kapal mengalami kredit macet. Utangnya mencapai 70 miliar rupiah. Itu baru di wilayah Tegal. Daerah lain tentu juga merasakan dampaknya. Oleh karena itu, sejumlah perwakilan nelayan dari pantai utara Jawa, di antaranya Rembang, Kudus, dan Tegal, datang ke Jakarta untuk mendesak pemerintah membuka kebijakan pelarangan cantrang. Berlarut-larutnya masalah cantrang bisa jadi karena koordinasi antarkementerian, antarkedinasan hingga instansi paling bawah tidak berjalan optimal. Pelarangan cantrang mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl ) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Ada juga Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 71/ 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan, Ini mengatur larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, yaitu pukat hela, pukat tarik, termasuk cantrang. Peraturan ini berlaku sejak 1 Januari 2018. Saat resmi diberlakukan, semua nelayan yang menggunakan cantrang langsung menyatakan penolakan. Tidak hanya melalui aksi unjuk rasa, penolakan nelayan dan pengusaha perikanan juga dilakukan dengan mendatangi Ombudsman RI. Mereka mengeluhkan pelarangan tersebut. Saat itu Ombudsman RI langsung merespons keluhan tersebut dengan mengeluarkan rekomendasi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam rekomendasi tersebut, KKP diminta untuk melaksanakan masa transisi peralihan dari cantrang ke alat penangkapan ikan yang baru yang memenuhi kriteria ramah lingkungan seperti disyaratkan KKP. Dengan kata lain, KKP harus menerapkan masa transisi, karena pelarangan pukat hela dan cantrang tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Oleh karena itu dibutuhkan masa transisi dalam penerapannya. Setelah keluar rekomendasi dari Ombudsman RI, KKP langsung meresponsnya dengan menunda pelarangan cantrang dan memberikan waktu transisi peralihan terhitung sejak 2015 dan berakhir pada Desember 2016. Dengan demikian, selama masa transisi, cantrang tetap bisa digunakan sebagai alat penangkapan ikan. Namun, polemik kemudian muncul lagi saat KKP mengakhiri masa transisi pada 31 Desember 2016 dan mulai memberlakukan Permen Nomor 2/2015. Otomatis, para nelayan dan pengusaha perikanan yang menggunakan cantrang harus segera menggantinya. Sebagaimana dinyatakan KKP, pemberlakuan Permen memang tidak bisa dihindari lagi. Kendati demikian, pihaknya tetap memberi toleransi kepada para pengguna alat penangkapan ikan untuk segera menggantinya maksimal dalam waktu enam bulan atau berakhir pada Juni 2017. Selama masa enam bulan tersebut, KKP juga akan melakukan pendampingan secara intensif kepada para pengguna alat tangkap yang dilarang untuk bisa melakukan penggantian. Artinya, upaya penggantian akan didorong melalui pendampingan, dan tidak hanya dari pemberlakuan Permen. Selain itu, pada masa tersebut, KKP atau aparat lain di negeri ini tidak akan melakukan penangkapan kepada nelayan ataupun kapal yang masih menggunakan cantrang. Namun, agar para pengguna memahami, pemerintah berjanji hanya akan memberikan teguran saja kepada para pengguna dan memberikan peringatan untuk segera menggantinya. Di Indonesia, cantrang banyak digunakan di wilayah pantai utara Jawa dan sebagian kecil di sejumlah daerah lain di luar Pulau Jawa. Dari data yang dirilis KKP, pada 2015 tercatat ada 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 1.529 unit kemudian dilakukan penggantian dengan alat penangkapan ikan ramah lingkungan. Namun, meski proses penggantian masih terus berlangsung hingga sekarang, di awal 2017 KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.357 unit. Menjadi sangat ironis, justru setelah dilarang dan diberi masa tenggang, jumlah cantrang justru semakin banyak. Lantas, mengapa cantrang dilarang? Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/2016, larangan diberikan karena dianggap bisa merusak lingkungan. Dalam aturan tersebut, ada tiga alat yang dilarang, yakni pukat hela, pukat tarik, dan perangkap. Ketiga jenis alat tersebut dilarang karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh karena itu, KKP merilis pelarangan tersebut dengan tujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan. Namun dari perkembangan yang ada, tampaknya memang tak mudah bagi Menteri Susi Pudjiastuti untuk memutuskan. Di satu sisi ekosistem kelautan harus diselamatkan, tapi di sisi lain kebergantungan banyak nelayan kepada cantrang justru makin bertambah seiring meningkatnya jumlah cantrang terhitung sejak aturan pelarangan dimulai. Akibatnya, para nelayan mengeluhkan masalah ini ke Presiden Joko Widodo. Namun sayang, tampaknya RI 1 cukup bersimpati dengan para pemilik cantrang sehingga beliau pun berjanji untuk memanggil Menteri Susi sesegera mungkin. Selain itu, juga berjanji akan mempertemukan para nelayan cantrang dengan menteri wanita nan unik tersebut. Bagaimanapun, sebagai presiden, Jokowi memang harus berada di antara kepentingan untuk menyelamatkan ekosistem dan menoleransi kebergantungan nelayan kepada cantrang agar ada agar win-win solution. Apalagi tenggang waktu menuju Pemilihan Presiden 2019 makin dekat. Ya kan Pak De? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar