Parlemen
dan Perang Melawan Korupsi
Poltak Partogi Nainggolan ; Doktor Ilmu Politik
dari Albert-Ludwigs-Universitaet
Freiburg, Jerman
|
KORAN
SINDO, 07 Maret 2018
SEPERTI
di negara demokrasi baru lainnya, tidak dapat dimungkiri DPR menghadapi
berbagai masalah terkait korupsi. Belum baiknya pelaksanaan good governance
di pemerintahan berimplikasi juga pada parlemen dan sistem pendukungnya.
Tidak heran, banyak anggota parlemen, baik di tingkat daerah maupun nasional,
terjerat kasus-kasus korupsi, secara pribadi maupun berkelompok. Itulah
sebabnya, di luar tekanan yang datang, DPR harus berbenah memperbaiki diri.
Walaupun kasus-kasus korupsi baru ditemukan di parlemen, bukan berarti pemberantasan
korupsi kehilangan semangatnya.
Realitas yang buruk itu seharusnya dapat menimbulkan kesadaran baru bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan lebih tegas lagi. DPR sendiri telah menyusun kembali dan memperbaiki Kode Etik anggota parlemen dan bahkan staf pendukungnya. Upaya ini tidak bisa dipisahkan dari perbaikan Tata-Tertib dan aturan penyediaan fasilitas dukungan yang seharusnya berdampak pada perilaku para anggota parlemen dan staf. Ia harus ditindaklanjuti dengan pembuatan Tata Beracara Badan Kehormatan (BK) sehingga penegakan etika dapat dilakukan. Etika dan Integritas Etika dan integritas terkait erat. Etika yang mengikuti peraturan akan menghasilkan integritas anggota parlemen. Sebaliknya, tanpa etika yang konstruktif, aktivitas anggota parlemen rawan dari berbagai praktik pelanggaran hukum, termasuk korupsi, sehingga integritas tidak akan muncul dalam aktivitas dan perilaku para politisi di parlemen. Buruknya etika dan integritas individual anggota parlemen akan menghasilkan legislatif yang buruk, menyumbang pada terciptanya demokrasi yang rapuh, sekadar prosedural, dan bermuara pada negara gagal. Sebagai bagian dari upaya serius ini, perbaikan prosedur persidangan dan pelayanan parlemen harus dibuat dalam UU MD3. Sedangkan dalam kode etiknya, hal-hal tampak sepele pun harus diatur, seperti keharusan berpenampilan bersahaja dan memberitahukan kehadiran dengan menggunakan alat presensi dan lain-lain. Di sana harus diatur bagaimana tata tertib dalam menyampaikan pendapat, menggunakan fasilitas, dan pegawai yang disediakan oleh sistem pendukung. Dari kasus-kasus yang terjadi, pelanggaran dilakukan anggota parlemen sering kali tidak berdiri sendiri karena melibatkan sistem pendukung. Dengan begitu, untuk pegawai dan staf parlemen dibuat pula kode etik yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kode etik parlemen. Sebab para staf bekerja secara permanen selama puluhan tahun, sementara para anggota DPR datang dan pergi setiap lima tahun sekali. Karena itu, para staf bisa menunjukkan praktik yang baik atau buruk di gedung parlemen. Langkah ini ditujukan bukan untuk mengekang dan mengatur anggota parlemen berperilaku seperti anak TK, melainkan melindungi integritas dan kewibawaan mereka. Dengan demikian, nanti lembaga parlemen dan kinerja para anggotanya akan dihargai rakyat. Termasuk di sini, penyusunan ketentuan yang mengharuskan anggota DPR menandatangani sendiri bukti perjalanan dan pengeluaran mereka serta bukan oleh para staf dan pejabat Sekretariat Jenderal DPR Tujuannya menghindari penyimpangan dan menunjukkan akuntabilitas anggota DPR sebagai politisi serta wakil rakyat. Badan Kehormatan Badan Kehormatan (BK) selaku penjaga dan pengawal integritas anggota DPR telah hadir sebagai kebutuhan baru sejak 2004. Alasan pembentukannya tidak atas desakan memerangi korupsi, sebab ketika itu korupsi belum banyak menjerat anggota DPR. Baru dalam periode pasca-pemilu 2009, saat kasus-kasus pelanggaran etika dan pidana bermunculan, terutama perilaku yang tidak sopan dalam bersidang dan terjadinya kasus-kasus korupsi, kebutuhan membuat Kode Etik dan memperbaiki Tata Tertib DPR yang dibuat dalam UU tidak terhindarkan. Kemudian muncul inisiatif menyusun ketentuan pertanggungjawaban keuangan, laporan kekayaan pada awal dan akhir masa jabatan, penerimaan hadiah, dan lainnya. Bahkan, pimpinan BK di bawah Siswono Yudohusodo sempat menggulirkan gagasan memberikan sanksi lebih berat bagi anggota DPR yang terbukti melakukan pelanggaran etika dan pidana, termasuk yang dianggap sepele, seperti sering mangkir dari persidangan. Peran BK semakin penting, bukan banyaknya temuan kasus baru, tetapi karena dukungan media massa dan masyarakat sipil untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang melibatkan DPR. Masyarakat menginginkan DPR menyelamatkan tujuan reformasi yang telah meminta banyak pengorbanan. Maka wajar, jika BK harus turun tangan mengusut laporan yang bersifat pribadi terkait adanya laporan dari kerabat anggota dan masyarakat sipil. Hal ini memperlihatkan kontrol masyarakat sipil berjalan efektif sebagai pelaksanaan demokrasi partisipatif yang akuntabel. Selain itu, juga diungkapkan perlunya ketentuan tentang pemberian fasilitas negara kepada anggota DPR yang harus diperbaiki demi merespons laporan kinerja anggota DPR yang dibuat teratur oleh masyarakat dalam era demokrasi partisipatif semakin bergairah di Indonesia. Sedangkan para anggota DPR harus bisa mencari jalan keluar agar mereka tidak mudah terjerat dalam kasus-kasus korupsi baru akibat mahalnya biaya pemilu. Anggota BK sempat mengemukakan gagasan diberikan dukungan fasilitasi keuangan, seperti pork barrel system di AS dan Filipina. Namun, mereka lupa bahwa di AS, pemberian dukungan fasilitasi keuangan semacam ini sudah kehilangan popularitasnya karena sangat berisiko menjerumuskan anggota DPR dalam praktik korupsi baru. Tidak Konsisten Dalam perjalanan BK terdapat perkembangan kontraproduktif akibat terjadinya konflik kepentingan dalam diri anggota parlemen. Mereka yang terjerat korupsi, baik sengaja ataupun tidak, menjadi risi dengan upaya pemberantasan korupsi serta peran lembaga antikorupsi (KPK) yang dilihat dari hari ke hari kian mengancam dan populer. Sementara anggota DPR merasa semakin dicela dan tersudut posisinya sehingga dalam amandemen UU MD3 telah dilakukan pula penghapusan terhadap ketentuan yang sudah baik. Padahal ketentuan itu efektif mencegah anggota DPR dari jeratan korupsi baru dan telah efektif memberantas korupsi lama. Hal ini merupakan kemunduran besar jika pelaporan atas anggota yang berperilaku buruk diberikan ancaman hukuman! Adanya ketentuan yang mengharuskan anggota DPR yang dilaporkan terlibat kasus korupsi harus memperoleh persetujuan BK sebelum diperiksa KPK, logis dinilai sebagai langkah menjegal pemberantasan korupsi. Sementara KPK melalui perannya sebagai lembaga pemberantasan korupsi alternatif selama ini telah menjadi model agen pemberantasan korupsi di negara demokrasi yang sedang berkembang. Sikap DPR yang tidak konsisten dalam mewujudkan good governance, pantas saja digugat kalangan masyarakat sipil. Pandangan sinis muncul, seakan-akan parlemen berada satu barisan bersama para pelanggar tindakan pidana korupsi. Pandangan ini harus dikoreksi, sebab jika tidak, citra parlemen di mata rakyat akan semakin sulit diperbaiki. Anggota DPR seharusnya menyadari bahwa pemberian hak imunitas dalam UU MD3 tidak boleh dipakai untuk memberikan justifikasi hukum kepada anggota DPR agar boleh terlibat dalam berbagai kegiatan mengarah pada perbuatan tindak pidana korupsi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar