Bantuan
Bersyarat Program Antikemiskinan
Razali Ritonga ; Kapusdiklat BPS RI; Alumnus Georgetown University, AS
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2018
KINERJA program
antikemiskinan di Tanah Air dalam lima tahun terakhir mengalami pelambatan
setelah lima tahun sebelumnya mengalami kemajuan cukup besar. Selama
2006-2011, angka kemiskinan turun rata-rata 1,06% per tahun, yakni dari 17,8%
pada 2006 menjadi 12,5% pada 2011. Namun, selama 2012-2017, angka kemiskinan
hanya turun rata-rata 0,28% per tahun, yaitu dari 12,0% pada 2012 menjadi
10,6% pada 2017.
Melambatnya penurunan
angka kemiskinan pada 2012-2017 itu tidak begitu mengejutkan mengingat
semakin kecil angka kemiskinan akan semakin sulit diturunkan, terutama akibat
derajat kemiskinannya kian parah. Umumnya, semakin kecil angka kemiskinan
akan bermuara pada kemiskinan kronis (chronic poverty) sehingga tidak cukup
mudah untuk diturunkan, apalagi dengan program biasa seperti bantuan langsung
tunai.
Berbeda dengan penurunan
kemiskinan sebelumnya (2006-2011) yang tergolong cepat karena umumnya
bersumber dari penduduk miskin sementara (transient poverty). Kemiskinan
sementara kerap terjadi akibat terhentinya sumber-sumber pendapatan, seperti
PHK akibat krisis ekonomi, bencana, dan meninggalnya pencari nafkah keluarga.
Mereka yang tergolong miskin sementara umumnya bisa pulih kembali jika
tersedia bantuan.
Adapun kemiskinan kronis
terjadi karena kurang memadainya sumber-sumber pendapatan untuk menopang
kehidupan. Bantuan yang diberikan bagi penduduk miskin kronis umumnya hanya
bersifat meringankan beban kehidupan, tapi tidak cukup untuk keluar dari
kemiskinan. Bahkan, meski diberikan kesempatan berusaha bagi mereka yang
tergolong miskin kronis, hal itu juga belum cukup membantu karena terkendala
minimnya kapabilitas akibat derajat pendidikan dan kesehatan rendah.
Mobilitas
status miskin
Pelambatan penurunan
kemiskinan juga ditengarai karena salah sasaran. Hal itu antara lain akibat
dua hal; pertama, penerima bantuan tidak termasuk target program, dan kedua,
semestinya termasuk target program tapi tidak menerima bantuan. Salah sasaran
(mistargeting) itu terjadi antara lain karena mobilitas status kemiskinan
yang terjadi selama periode saat data dikumpulkan dan data digunakan untuk
pelaksanaan program.
Boleh jadi ketika data
dikumpulkan seseorang tergolong miskin, tetapi ketika program dilaksanakan
mereka tidak lagi tergolong miskin. Sebaliknya, pada saat data dikumpulkan
seseorang tidak miskin, tapi ketika program diimplementasikan mereka
tergolong miskin. Semakin lama jarak waktu antara data dikumpulkan dan
diimplementasikan akan kian banyak penduduk yang mengalami perubahan status
kemiskinan, yaitu dari semula miskin menjadi tidak miskin, atau sebaliknya
dari semula tidak miskin menjadi miskin.
Umumnya, mobilitas status
kemiskinan banyak dialami penduduk miskin sementara, dan amat jarang terjadi
pada penduduk miskin kronis. Maka, jika data itu digunakan untuk implementasi
program, hampir dipastikan terjadi salah sasaran, yang cakupan salah
sasarannya kian besar jika jarak waktu antara pengumpulan data dan
implementasi program semakin lama.
Potret mobilitas status
kemiskinan penduduk, misalnya, dapat dicermati dari hasil Susenas Maret 2006
dan Maret 2007. Hasil pencermatan menunjukkan, sekitar 47,34% penduduk miskin
pada 2006 berstatus tetap miskin pada 2007, dan selebihnya berubah menjadi
hampir miskin dan tidak miskin pada 2007. Sebaliknya, dari 75,60% penduduk
tidak miskin pada 2006 tetap tidak miskin pada 2007, dan selebihnya berubah
menjadi hampir miskin dan miskin pada 2007 (BPS, Analisis dan Penghitungan
Tingkat Kemiskinan 2007).
Bantuan
bersyarat
Maka, untuk mempercepat
penurunan angka kemiskinan, data penerima bantuan program perlu diperbaiki
dengan menyertai sejumlah syarat. Dengan cara itu, bantuan program diharapkan
dapat diterima mereka yang benar-benar membutuhkan, khususnya mereka
tergolong miskin kronis, yang pada gilirannya diharapkan dapat memutus mata
rantai kemiskinan.
Sejumlah studi menunjukkan
bahwa penduduk miskin kronis cenderung mewarisi kemiskinannya ke generasi
berikutnya. Carmona (2009), misalnya, dalam studinya mengungkapkan ibu dan
anak yang memiliki derajat kesehatan, pendidikan, dan nutrisi rendah
cenderung melanggengkan kemiskinan ke generasi berikutnya.
Maka, dengan tambahan
syarat bagi penerima bantuan program, risiko salah sasaran bisa dihindari dan
harapan terputusnya rantai kemiskinan bisa terwujud. Salah satu negara yang
cukup berhasil memberlakukan bantuan tunai bersyarat ialah Brasil, yaitu
melalui program Bolsa Familia sejak 2003. Adapun syarat penerima bantuan
dalam Bolsa Familia itu ialah; ibu dan anaknya melakukan pemeriksaan
kesehatan, menerima vaksinasi, dan anak duduk di bangku sekolah (Barrientos, 2010).
Atas dasar itu, kiranya
tepat jika Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Gresik pada 8 Maret
2018 menyebutkan akan menaikkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), baik
dari sisi besaran bantuan maupun cakupan penerima manfaat bantuan. PKH memang
hampir sama dengan Bolsa Familia, yakni bantuan tunai bersyarat terhadap
keluarga, terutama ibu dan anak miskin dan rentan agar memperoleh kecukupan
layanan kesehatan bagi ibu dan anak dan pendidikan bagi anak.
Adapun besaran bantuan
rencananya dinaikkan dari saat ini sebesar Rp1,89 juta. Selain itu, cakupan
penerima bantuan juga akan diperbesar dari Rp6 juta keluarga pada tahun lalu
menjadi Rp10 juta keluarga tahun ini, dan Rp15 juta keluarga tahun depan.
Namun, rencana pemerintah
untuk meningkatkan PKH baik dari sisi besaran bantuan maupun cakupan penerima
manfaat itu belum mendapat persetujuan dari parlemen. Maka, dengan mencermati
melambatnya penurunan angka kemiskinan belakangan ini, sangat diharapkan
rencana itu menjadi perhatian serius di DPR untuk segera dilakukan
pembahasan, terutama tentang besaran kenaikan bantuan dan cakupan jumlah
penerima bantuan, yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus