Zaman
Baru
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 24 Juni 2017
Keputusan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud
(81), Rabu (21/6), mengangkat anak laki-lakinya, Mohammed bin Salman (31),
sebagai putra mahkota menjadi pertanda bagaimana Arab Saudi akan memasuki era
baru, zaman baru. Sebuah zaman yang membutuhkan tidak hanya partisipasi,
keterlibatan baik dalam pemikiran maupun dalam tindakan, tetapi juga ketegasan
dari generasi muda.
Ke depan-dilandasi berbagai pertimbangan, termasuk usaha
Arab Saudi untuk tidak bergantung pada minyak bumi, perkembangan zaman,
niatnya untuk tetap mempertahankan perannya sebagai aktor utama politik
regional, dan juga persaingannya dengan Iran, antara lain-Arab Saudi
membutuhkan seorang pemimpin muda yang memiliki visi jauh ke depan, memiliki
rasa nasionalisme tinggi dan kuat, serta jaringan internasional.
Mohammed bin Salman memenuhi tuntutan tersebut
dibandingkan dengan sepupunya, Mohammed bin Nayef (57), yang posisinya
sebagai putra mahkota tergusur. Mohammed bin Nayef adalah anak kakak Raja
Salman, Nayef bin Abdulaziz, yang meninggal pada tahun 2012 sebagai putra
mahkota. Dalam beberapa hal, Mohammed bin Salman memiliki pemikiran dan
tindakan yang lebih berani dibandingkan Mohammed bin Nayef. Misalnya, masalah
Qatar. Mohammed bin Salman-lah yang menjadi pendorong utama (untuk tidak
mengatakan sebagai arsitek) pemutusan hubungan diplomatik, sementara Mohammed
bin Nayef menyarankan penyelesaian masalah lewat jalan diplomatik,
perundingan.
Mohammed bin Salman adalah arsitek program ekonomi baru
Arab Saudi, yakni Visi 2030. Kebijakan ekonomi baru itu diambil sebagai
dampak dari merosotnya harga minyak. Akibat merosotnya harga minyak, Arab
Saudi terpaksa melakukan sejumlah langkah, termasuk pengetatan ikat pinggang,
pemotongan gaji pegawai negeri, serta pengurangan subsidi air dan energi.
Sementara itu, Visi 2030, menurut Direktur Gulf Research
Centre (di Riyadh) John Sfakianakis, adalah sebuah kebijakan ekonomi yang
tidak lagi menggantungkan sepenuhnya pada minyak bumi, termasuk swastanisasi
sebagian perusahaan minyak milik negara Aramco (Reuters, 21/6).
Dengan demikian, pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai
putra mahkota, menggusur Mohammed bin Nayef yang memiliki hubungan dekat
dengan Washington karena sikap tegasnya terhadap kelompok militan, akan
menjamin keberlangsungan program reformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan
oleh Arab Saudi untuk menghadapi masa depan. "Keuntungan memiliki
pemimpin muda adalah.... perencanaan tidak hanya untuk 10 tahun ke depan,
tetapi 40 tahun ke depan dan menjamin adanya kesinambungan
institusional," kata Mohammad al-Yahya dari Atlantic Council, sebuah
lembaga pemikir di Washington (The Wall
Street Journal, 22 Juni 2017).
Dalam konteks persaingan kekuatan kawasan, pengangkatan
Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota adalah sebagai usaha untuk
meningkatkan performance, mungkin lebih tepatmeningkatkan "sosok dan
penampilan" Arab Saudi yang ingin tetap menjadi negara penentu dinamika
politik di Timur Tengah. Sosok dan penampilan Arab Saudi perlu lebih tegas,
agresif, tidak ragu-ragu dalam konteks persaingan dengan Iran yang dianggap
sebagai pesaing utama sekaligus lawannya. Mohammed bin Salman disebut sebagai
arsitek perang di Yaman dan pendorong kebijakan agresif terhadap Iran
akhir-akhir ini.
Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka keputusan
pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota adalah sebuah pilihan
yang tidak bisa dihindarkan demi keberlangsungan Kerajaan Arab Saudi dan
kesiapan dalam menyongsong perubahan, tuntutan zaman, dan persaingan
regional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar