Qatar
Dikucilkan, Israel Bersorak, Palestina Merana
Ikhwanul Kiram Mashuri ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA, 19 Juni 2017
Genap dua pekan Qatar telah dikucilkan oleh tiga negara
tentangganya di Teluk — Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA). Ditambah lagi oleh Mesir, Yaman, Libia, dan
Maladewa. Hingga kini belum ada tanda-tanda kapan perseteruan ‘antarsaudara’
itu akan berakhir, meskipun beberapa pihak sudah menawarkan diri jadi
penengah.
Lalu siapa yang diuntungkan bila pengucilan negeri kecil
di semenanjung Teluk Persia itu terus berkepanjangan? Jawabannya jelas:
Zionis Israel!
Mereka akan bersorak gembira setiap terjadi konflik atau
perseteruan antarnegara Arab. Mereka, dari dulu hingga sekarang, menginginkan
dunia Arab tercerai-berai, terpecah-belah. Mereka menghendaki negara-negara
Arab lemah. Sebab bila mereka bersatu dan kuat, tentu tidak susah untuk mengganyang
Israel. Maka benarlah peribahasa ‘bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh’.
Coba simak data berikut. Negara-negara Arab berjumlah 22,
yang tergabung dalam Liga Arab. Dihuni oleh lebih dari 200 juta jiwa.
Sebagian sangat kaya. Terutama enam negara yang berserikat dalam Dewan
Kerjasama Teluk (Majlis at Ta’awun al Khaliji): Arab Saudi, Uni Emirat Arab
(UEA), Kuwait, Bahrain, Oman, dan Qatar.
Dengan fakta seperti itu rasanya tidak sulit untuk
‘menelan’ negara kecil Israel yang hanya berpenduduk sekitar 8 juta
jiwa. Apalagi negara-negara Arab
setiap tahun menggelontorkan jutaan dolar untuk membeli berbagai jenis
persenjataan canggih.
Sayangnya, kedigdayaan Arab itu menjadi sirna lantaran
mereka berantem sendiri. Berbagai persenjataan canggih bukan untuk menghadapi
Israel, tapi justru mempersenjatai diri untuk menghadapi ancaman
negara-negara tetangga. Kalau tidak sesama negara Arab, maka dengan negara
sesama anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), seperti Iran misalnya.
Memang, Israel didukung oleh negara super power Amerika
Serikat (AS) dan sejumlah negara Barat. Lengkap dengan segala konspirasinya.
Namun sayangnya, negara-negara Arab terpecah-belah dan tercerai-berai. Bahkan
mereka — entah sadar atau tidak sadar — mengikuti saja langgam dan permainan
konspirasi itu.
Dahulu, ketika Zionis Israel memproklamasikan
kemerdekaannya pada 1948, konflik di Timur Tengah disebut sebagai konflik
Israel dengan Arab. Namun, seiring perjalanan waktu konflik itu pun ditarik
dan dipersempit menjadi hanya antara Israel dan Palestina. Ada kekhawatiran
konflik ini pun akan diperkecil menjadi konflik antara Israel dan kelompok
Hamas yang kini berkuasa di Gaza.
Hamas sendiri adalah akronim dari Harakat al Muqawwamah al
Islamiyah. Ia merupakan kelompok perlawanan terhadap penjajah Israel.
Kelompok inilah yang telah beberapa kali melancarkan intifadah alias
perlawanan semesta rakyat yang membuat Zionis Israel kalang kabut. Kelompok
ini pula yang dengan gagah berani melawan pendudukan Israel ketika menyerang
Gaza.
Pada 2006, Hamas menjadi gerakan politik dan memenangkan
pemilu, mengalahkan faksi Fatah. Setahun kemudian mereka berkuasa atas
wilayah Gaza hingga sekarang. Pada perkembangannya kemudian, lantaran sering
merepotkan kolonial Israel, Hamas pun dicap oleh kaum Zionis itu sebagai
teroris. Klasifikasi Hamas sebagai kelompok teroris ini kemudian juga diikuti
oleh negara-negara yang selama ini mendukung Israel, seperti AS dan beberapa
negara Barat lainnya.
Yang menyedihkan, sejumlah negara Arab pun membebek
klasifikasi itu, bahwa Hamas adalah kelompok teroris. Hanya Qatar yang tetap
mendukung dan membantu Hamas. Bahkan mereka juga melindungi beberapa pimpinan
teras yang wanted bagi Zionis Israel dan konco-konconya, untuk tinggal di
Doha. Sikap Qatar terhadap Hamas inilah yang menjadi salah satu tuduhan bahwa
negara kaya ini mendukung kelompok teroris.
Itu sebabnya pengucilan terhadap Qatar disambut gegap
gempita oleh para pemimpin Zionis Israel. Kata Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu — ketika memperingati 50 tahun kemenangan Perang 1967
melawan negara-negara Arab —, telah terjadi perubahan penting bagaimana
negara-negara di kawasan (Timur Tengah) memperlakukan Israel. Negara-negara
ini, lanjutnya seperti dikutip media Aljazeera.net, bukan lagi menganggap
Israel sebagai musuh, tapi sebagai partner melawan para teroris, yang ia
sebut sebagai kelompok Islam radikal.
Bahkan dengan jumawanya Netanyahu juga menyatakan,
negara-negara ini (maksudnya mereka yang memutuskan hubungan dengan Qatar)
telah melihat kekuatan Israel, yang dibuktikan dengan kemenangan Perang Enam
Hari pada 1967. Negara-negara ini dan negara-negara lain di dunia, lanjut
Netanyahu, pun telah menghargai perjuangan dan sikap tegas Israel terhadap
apa yang ia sebut sebagai teroris dan kelompok agresor. Yang terakhir ini
tentu merujuk pada Hamas.
Pandangan yang sama juga disampaikan Menteri Luar Negeri
Israel Avigdor Lieberman. Menurutnya, apa yang terjadi — pengucilan Qatar —
merupakan bukti lain bahwa, ’’Bahkan negara-negara Arab pun memahami bahaya
sebenarnya di seluruh kawasan (Timur Tengah) adalah bukan Israel, bukan
Yahudi, dan bukan Zionis, tapi teroris Islam radikal.’’
Lieberman, seperti dikutip media Aljazeera.net (edisi 13
Juni 2017), pun menyerukan agar Israel segera menormalisasi hubungan dengan,
yang ia sebut, negara-negara Arab Suni moderat. Normalisasi ini, katanya,
tanpa harus menunggu penyelesaian masalah bangsa Palestina.
Menteri Israel ini mencontohkan, normalisasi hubungan
Israel dengan Mesir dan Yordania ternyata bisa terwujud tanpa perlu menunggu
penyelesaian masalah bangsa Palestina.
Karena itu, katanya, normalisasi hubungan dengan negara-negara Suni
moderat justeru akan mendorong percepatan penyelesaian bangsa Palestina baik
di Tepi Barat maupun di Gaza.
Bila kita mengikuti logika Lieberman — dan juga para
pemimpin Israel lainnya —, sudah semestinya penyelesaian bangsa Palestina
menemukan tanda-tanda kesepakatan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Normalisasi hubungan Israel dengan Mesir dan Yordania sudah berlangsung
sekian puluh tahun lalu, namun nasib dan kemerdekaan bangsa Palestina malah
semakin tidak jelas.
Persoalannya, Zionis Israel selalu menolak berbagai solusi
yang ditawarkan. Termasuk solusi yang paling moderat sekalipun. Di antaranya
solusi dua negara yang saling mengakui eksistensi masing-masing. Yaitu Israel
dan Palestina yang hidup berdampingan dengan wilayah Palestina sebelum Perang
1967, dengan ibukotanya Jerusalem Timur. Alih-alih mau berunding, Israel
justru menancapkan pendudukannya di wilayah Palestina dengan membangun ribuan
pemukiman Yahudi secara ilegal. Berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB pun
mereka anggap sepi.
Sayangnya, negara-negara Arab selalu mengikuti lagu dan
langgam yang dinyanyikan oleh Zionis Israel. Termasuk klasifikasi teroris.
Juga klasifikasi lawan dan kawan. Bahkan penggunaan istilah pun mengikuti apa
yang mereka diktekan. Dari konflik Israel-Arab, menjadi konflik dengan Palestina,
dan akhirnya bisa saja diperkecil hanya konflik Israel-Hamas. Dan, karena
Hamas sudah dicap teroris, maka Israel akan semakin bebas menduduki
wilayah-wilayah Palestina.
Kita belum tahu bagaimana akhir dari drama pengucilan
Qatar oleh saudara-saudaranya negara-negara Arab itu sendiri. Yang jelas,
semakin lama pengucilan Qatar akan semakin menguntungkan Zionis Israel.
Mereka akan bersorak gembira. Sebaliknya, nasib bangsa Palestina akan semakin
merana. Kemerdekaan bangsa Palestina akan semakin jauh, manakala bangsa Arab
tercerai-berai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar