Dunia
Digital vs Dunia Nyata
Rhenald Kasali ; Akademisi dan Praktisi Bisnis yang juga Guru
Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 19
Juni 2017
DALAM banyak kesempatan, saya mendengar kuatnya anggapan
bahwa dunia maya (digital) berbeda dengan dunia nyata. Dunia digital dianggap
sebagai ”alam halus”, yang belum (atau bahkan sulit) disentuh. Kalaupun
dipakai, hanya sebatas sebagai alat pendukung. Sedangkan dunia nyata adalah
dunia kita sehari-hari.
Bahkan, ada yang beranggapan bahwa itu adalah dunia para
milenial, anak-anak mereka. Juga tak dapat dihindari yang berpikir, bisnisnya
(core-nya) sama sekali tak perlu bersentuhan dengan dunia digital.
Misalnya saja, ada yang mengatakan, ”Kami ini bisnisnya
semen, bukan ritel.” Dan kalau diteruskan lagi ”kami”-nya bisa panjang: kami
jual mobil, bukan hiburan; kami pupuk, bukan hotel; kami tekstil, bukan
oleh-oleh; dan seterusnya. Seakan-akan dunia maya itu hanya berlaku bagi
ritel, hiburan, dan sejenisnya.
Mungkin anggapan semacam itu menguat lantaran sering
melihat anak-anak bermain game. Jadi, dunia digital hanya ada dalam game,
bukan kehidupan nyata.
Anggapan seperti itu, kalau dibiarkan, tentu bakal
menyesatkan dan menyulitkan banyak perusahaan yang sudah bagus. Itu akan
membuat kita ”gagal paham”. Ya, gagal memahami perubahan-perubahan besar yang
tengah bergulir di sekitar kita.
Kini, sejak manusia melewati tahapan connectivity melalui
internet, digital dan dunia nyata menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ini buktinya.
Masih ingat dengan seorang perwira TNI yang memecahkan
kaca bus di jalan tol Cikunir Mei 2017 lalu? Kasus yang ada di dunia nyata
itu mungkin tak akan terungkap kalau tidak ada sebuah akun Facebook yang
meng-upload kejadian tersebut.
Menurut akun itu, sang perwira tadi mengendarai mobil di
ruas jalan tol yang macet. Mungkin jengkel dengan kemacetan, juga merasa
jalannya terhalang bus, perwira tersebut dengan tongkatnya memukul pecah kaca
samping bus.
Semula perwira itu berdalih mobilnya diserempet bus.
Namun, tak ada bukti soal serempetan tersebut. Akun itu menulis, ”Ngaku
spionnya kesenggol sampai lecet, tetapi di rekaman tidak ada lecet sama sekali.
Diminta pertanggungjawaban malah kabur.” Unggahan tersebut kemudian ramai
dibicarakan netizen.
Puspen TNI merespons terlebih dahulu. Melalui akun
Instagram, Puspen TNI meminta maaf kepada PO bus tersebut. Lalu, menyusul
sang perwira juga mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dia siap
bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bus.
Itu bukti betapa dunia digital kita sudah menyatu dengan
dunia nyata.
Mau bukti lainnya?
Masih ingat kasus seorang pegawai perempuan yang bekerja
di Mahkamah Agung (MA) yang marah-marah dan mencakar Aiptu Sutisna saat
petugas kepolisian itu hendak menilangnya? Sutisna tidak melawan. Dia hanya
menghindar. Itu peristiwa yang terjadi di dunia nyata.
Adegan amukan pegawai MA tersebut kemudian muncul di dunia
maya. Seorang netizen merekamnya dan meng-upload videonya ke akun Facebook.
Kejadian itu pun menjadi viral.
Berkat sikapnya yang tidak melawan, Aiptu Sutisna
mendapatkan apresiasi. Bukan hanya dari masyarakat, tapi juga Kepolisian
Negara RI (Polri). Sebaliknya, si pegawai MA tadi dimutasi dari jabatannya di
eselon IV menjadi staf di PTUN Pekanbaru.
Pengalaman Sandvik
Saya tadi menyinggung soal betapa repotnya kalau gagal
paham menyatunya dunia maya dengan dunia nyata sampai berlarut-larut. Sebab,
di belahan dunia sana, masyarakatnya –terutama kalangan korporasi– sudah
menikmati hasil dari penyatuan dua dunia tersebut.
Salah satu contohnya Sandvik Coromant (SC), perusahaan
asal Swedia yang menjadi produsen utama cemented carbide dunia. Cemented
carbide adalah material yang biasa dipakai pada mesin pemotong material logam
nonbaja dan banyak dipakai industri manufaktur. Bisnis SC sempat terpuruk
lantaran hadirnya produk Tiongkok yang lebih murah.
Lalu, apa yang dilakukan SC?
SC lalu melengkapi mesin pemotongnya dengan sensor. Sensor
tersebut berfungsi memantau kinerja cemented carbide. Kapan alat itu terlalu
stres, sudah aus, dan tiba waktunya untuk diganti. Data dari sensor tersebut
kemudian dikirim ke server dan oleh server didistribusikan ke pihak-pihak
yang mesti tahu soal itu. Di antaranya general manager, manajer, atau
supervisor di pabrik.
Bagi banyak pabrik, informasi semacam itu sangat penting.
Jangan sampai pabrik berhenti beroperasi gara-gara mesin pemotong nonlogamnya
rusak. Biaya untuk shutdown dan menghidupkan kembali bisa sangat mahal.
Informasi semacam itulah yang kemudian menjadi nilai lebih
bagi SC ketimbang produk sejenis dari Tiongkok. Pelanggan pun beralih dari
produk buatan Tiongkok ke buatan SC.
Itu contoh kasus di dunia korporasi yang memakai teknologi
untuk menggabungkan dunia digital (informasi dari sensor) dengan dunia nyata
(pekerjaan di pabrik). Kasus lainnya masih banyak.
Misalnya, ada Rolls-Royce yang memasang sensor di mesin
pesawat terbang. Ketika pesawat masih berada di udara, kondisi mesin sudah
terpantau. Saat mendarat, kalau ada komponen mesin yang perlu diganti, itu
bisa langsung dilakukan tanpa pesawat perlu masuk hanggar. Jadi, pesawat bisa
langsung terbang lagi. Itu tentu meningkatkan kinerja operasional pesawat.
Dunia 4.0
Dalam lingkungan masyarakat, para petugas layanan publik
bisa memantau sejumlah kejadian dengan adanya CCTV. Ingat dengan pembalap
MotoGP Nicky Hayden yang meninggal dunia karena tertabrak mobil? Melalui
CCTV, pihak kepolisian mendapati bahwa Nicky Hayden lalai.
Hayden bersepeda sambil mendengarkan musik melalui iPod.
Akibatnya, dia tak mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya, termasuk
mobil-mobil yang lalu-lalang di perempatan jalan. Salah satu mobil itulah
yang kemudian menabrak Hayden.
Belajar dari kejadian tersebut, kita mungkin bisa
memprakarsai gerakan no gadget saat melakukan aktivitas di area-area publik.
Kini kita sudah memasuki dunia versi 4.0. Dunia maya atau digital dan dunia
nyata sudah menyatu. Namun, banyak musibah terjadi gara-gara masyarakat kita
masih merasa seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda.
Misalnya terus saja memakai smartphone saat menyetir mobil
atau mengendarai sepeda motor –sesuatu yang banyak kita jumpai di masyarakat
kita. Juga terus memakai smartphone saat tengah berjalan di trotoar atau area
publik lainnya. Itu fenomena yang ada di mana-mana. Mereka berjalan seenaknya
sambil matanya tak henti menatap layar smartphone dan tangannya terus
mengetik.
Padahal, sudah banyak video yang menayangkan orang-orang
yang tersandung atau terperosok lubang karena terlalu asyik dengan
smartphone-nya. Atau menabrak orang lain yang melintas di hadapannya;
menabrak tiang atau pintu; bahkan tertabrak sepeda, sepeda motor, hingga
mobil lantaran menyeberang jalan secara sembarangan.
Di Jerman, seorang petugas pengatur sinyal dituding
bertanggung jawab atas kecelakaan kereta yang mengakibatkan 150 orang
mengalami luka-luka dan 11 orang meninggal dunia. Menurut jaksa, sesaat
sebelum kecelakaan terjadi, petugas itu asyik bermain game online via
ponselnya. Akibatnya, dia menekan tombol yang salah. Informasi yang salah
itulah yang diterima dua masinis dari dua kereta berbeda. Dan kecelakaan pun
tak terelakkan.
Di dunia 4.0, era di mana semua serba terkoneksi, kita tak
mau ada masyarakat yang gagal paham bahwa dunia digital sudah menyatu dengan
dunia nyata. Sebab, risikonya bisa sangat fatal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar