Pancasila
Bukan Sekadar Simbol
Fadhly Azhar ; Kabid Keagamaan HMPI (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana
Indonesia) serta aktif dalam Jaringan Kedaulatan Rakyat Forum Sekolah Bersama
|
KOMPAS.COM, 14 Juni 2017
BEBERAPA hari setelah Joko Widodo melantik Ketua dan Dewan
Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (7/6/2017), saya
langsung tergugah untuk memikirkan bagaimana Pancasila dapat diterima oleh
seluruh aliansi kebangsaan.
Mungkin bagi kaum muda menengah lainnya, ini adalah
pekerjaan yang sia-sia mengingat saya hanyalah staf analis kompetensi di
sebuah Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng.
Pikiran dan renungan mengenai Pancasila akhirnya dapat
terangkum dengan beberapa hal pendapat yang kurang lebih hanya menyentuh
epistemologi dan ontologi-nya saja.
Pancasila dalam pemaknaannya seharusnya naik ke-tingkat
berikutnya yang lebih tinggi, yaitu pemaknaan Pancasila dalam konteks
emansipatoris dan hegemonik.
Saya meyakini bahwa Pancasila lahir tidak hanya berasal
dari pemaknaan analisis literatur semata yang kemudian disematkan hanya untuk
menjadi simbol-simbol kewarganageraan saja.
Pancasila harus lebih dari itu. Pancasila harus meresap
masuk dalam sanubari seseorang dari tuntasnya epistemologis, ontologis,
hingga aksiologisnya.
Warga negara Indonesia sedang dihadapkan pada perdebatan
yang tidak substansial dari sebuah Pancasila itu sendiri. Perdebatan ini
diakibatkan oleh kebingungan-kebingungan yang absurd hingga menimbulkan
spekulasi-spekulasi non-intelektuil dari pemaknaan Pancasila.
Ini dibuktikan dengan perdebatan kontra-produktif mengenai
tanggal dan bulan yang di mana Pancasila dilihat hanya dari sisi kulit, tidak
pada isinya. Ini berarti bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia hanya melihat
Pancasila sebagai alat simbol negara semata, bukan sampai pada indoktrinasi
terhadap Pancasila itu sendiri .
Walaupun belum ada penelitian secara khusus tentang ini,
sangat terasa bahwa Pancasila hanya disandarkan output-nya pada
simbolis-dogmatik saja.
Ini sangat rentan, karena Pancasila bisa saja menjadi alat
kepentingan politik golongan tertentu seperti yang dilakukan di masa orde
baru, di mana Pancasila menjadi instrumen otoriter untuk memukul sendi-sendi
kehidupan berserikat dan berpendapat.
Hal yang lebih menakutkan lagi, Pancasila bisa saja
menjadi alat untuk memukul habis perkembangan pemikiran progresif warga
negaranya akibat ketidaktahuan sejarah dan filosofisnya.
Ketuhanan dan nurani kemanusiaan
Nilai emansipatorik sangat erat kaitannya dengan tujuan
pembebasan dari segala bentuk despotisme. Pancasila bukanlah hanya merupakan
sakralisasi teks, di mana persoalan ke-ilahian dalam segi wahyu dan
kemanusiaan dalam Pancasila menjadi terpisah.
Dinamika wahyu ke-ilahian dan kemanusiaan dalam Pancasila
sejatinya harus bergeser menjadi sakralisasi substantif di mana kepercayaan
serta keimanan yang berbeda-beda mampu menjadi semangat ke-ilahian yang
membebaskan.
Ini menjelaskan bahwa despotisme tidak seharusnya mendapat
tempat dalam pergaulan berbangsa dan bernegara walau berbeda keimanan.
George Meredith mengatakan bahwa dalam tragedi kehidupan
manusia, tidak dibutuhkan seorang penjahat, tetapi hawa nafsu manusia sendiri
sudah menjadi jebakan baginya, dan manusia dikhianati oleh apa yang palsu di
dalam dirinya.
Hal ini tampaknya terartikulasikan dalam krisis yang
tengah melanda dunia, termasuk bangsa Indonesia. Dan krisis itu adalah krisis
yang sangat fundamental yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan
berbahaya (Kartohadiprodjo, 2010, hal. 30).
Apa yang dikatakan oleh George Meredith dalam Kartohidaprojo
sejatinya merupakan akibat dari marginalisasi nilai-nilai keilahian dari
persoalan pembelaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Ketika manusia sibuk dengan unsur jasadiyahnya
mempertentangkan perbedaan dogmatik-ritual, maka saat yang bersamaan pula
manusia tanpa sengaja memisahkan dinamika keilahian dalam persoalan-persoalan
pencemaran lingkungan, persekusi terhadap sesama warga negara, dan
eksploitasi dalam industrialisasi itu sendiri.
Inilah mengapa saya sangat meyakini bahwa dalam Pancasila
sesungguhnya “Ketuhanan yang Maha Esa” punya kaitan yang sangat linier dengan
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Inilah juga mengapa saya meyakini bahwa
Pancasila bukanlah dasar negara yang sekuleristik.
Karena menjauhkan persoalan kemanusiaan dalam unsur
keilahian juga merupakan sekulerisme dalam kehidupan beragama.
Persatuan nasional dan iman
solidaritas
Setelah menanamkan secara radikal indikator-indikator
keilahian terhadap dinamika kemanusiaaan, keadilan dan peradaban itu sendiri,
maka kita selanjutnya perlu melakukan linieritas keilahian dan kemanusian
dengan komitmen persatuan nasional.
Ernest Renan menginspirasikan Soekarno (1964) bahwa bangsa
adalah satu jiwa (“une nation est un ame”). Artinya, bangsa adalah jiwa. Satu
bangsa adalah satu jiwa.
Maksudnya, kata Soekarno, “satu bangsa adalah satu
solidaritas yang besar” (“une nation est un grand solidarite”).
Jadi, yang membuat bangsa itu bersatu (satu jiwa) menurut
Renan adalah solidaritas antarsesama anggotanya, yang juga kemudian oleh Ernest
Renan disebut “kehendak untuk hidup bersama”.
Apa yang dikatakan Soekarno mengenai Ernest Renan (1964)
tentang kebangsaan menunjukkan bahwa persatuan nasional menggambarkan
solidaritas spiritual dalam kemanusiaan itu sendiri.
Solidaritas spiritual dalam kemanusiaan tersebut
setidaknya menjadi komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menafikan solidaritas spiritual dalam satu jiwa
kemanusiaan dan kebangsaan akan menimbulkan conflict of interest, di mana
kepentingan sesaat manusia dari kekuasaan golongan-golongan akan berusaha
memecah-belah solidaritas bersama.
Persatuan nasional hanya bisa dicapai dengan solidaritas
sosial-spiritual yang perlu diintensifkan dan diaktualisasikan dalam
kenyataan hidup bersama melalui cinta, keterbukaan, penerimaan dan kepedulian
kepada sesama yang berbeda latar belakang kehidupan suku, agama, ras, dan
golongannya.
Aktualisasi persatuan nasional tersebut seharusnya menjadi
tolak ukur perjuangan bersama dalam kemanusiaan yang lebih hegemonik agar
tidak terjadi penindasan antar satu golongan dengan golongan lainnya.
Apa yang saya uraikan soal linieritas tersebut dapat
diungkapkan melalui satu kalimat: Satu ruh dan satu jiwa untuk kemanusiaan
akan mengantarkan ruh yang lahir dari cahaya ilahiah demi kepentingan bersama
dalam perdamaian hidup berbangsa.
Musyawarah dan keadilan sosial
Ketika manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
telah menuntaskan iman solidaritas spiritual yang emansipatorik tersebut,
maka keinginan untuk memajukan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh
hikmah-kebijaksanaan harus diaktualisasikan melalui musyawarah perwakilan.
Tulisan saya yang berjudul “Spirit Keagaman dan Iman
Kebangsaan” yang dimuat di Kompas.com tanggal 16 November 2016, mencantumkan
sedikit soal pentingnya kaum arif-intelektual dalam permusyarawatan
perwakilan.
Dalam tulisan tersebut saya menawarkan prasyarat untuk
menjadi kaum arif-intelektual setidaknya mendasarkan dirinya pada 5
kompetensi inti: berintegritas, responsif, amanah, progresif dan terukur.
Hikmah kebijaksanaan inilah yang akan menjadi ruh
permusyarawatan perwakilan yang disyaratkan. Dalam tulisan tersebut pula,
saya menawarkan perlunya standar kompetensi politik bagi yang ingin mencapai
permusyarawatan perwakilan, tentunya dengan indikator-indikator penting dalam
5 kompetensi inti yang telah saya sebutkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal inilah yang pernah dikatakan oleh Soekarno, “…kita
selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar
daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya”.
Menurut Ulpianus, pakar hukum Romawi kuno, adil atau
tidaknya perilaku seseorang terhadap sesamanya dalam komunitasnya ditentukan
oleh kemampuannya untuk menghargai hak-hak sesamanya. Istilah yang dia kemukakan untuk itu adalah
“tribuere jus suum cuique” (memberi masing-masing haknya) (K. Bertens, 2000).
Maka, keadilan sosial dalam indikator kesejahteraan sosial
dan gotong royong setidaknya bisa meminjam apa yang dikatakan oleh (alm)
Pramoedya Ananta Toer, dapat dicapai dengan keadilan semenjak dalam
pikirannya.
Spiritualisasi Pancasila dalam
perjuangan emansipatorik
Artikulasi nilai dasar spiritual Pancasila dalam
perjuangan pembebasan dari despotisme setidaknya patut dijiwai oleh
masing-masing warga negara. Kristalisasi nilai luhur yang ada dalam Pancasila
harus menjadi penggerak kemampuan, keinginan dan akal-budi kebangsaan bagi
masing-masing rakyat Indonesia.
Sejatinya, Pancasila ini bersifat immaterial. Dari yang
immaterial tersebut, maka Pancasila harus menjadi daya yang sejalan dengan
spiritual keilahian dalam membangkitkan potensi moralitas dan intelektualitas
secara sinergis dan berkesinambungan.
Lima mutiara dalam Pancasila setidaknya harus dikupas
habis mencapai inti kesadaran dan sikap dasar bangsa Indonesia agar tercapai
ketuhanan yang berkebudayaan, solidaritas kemanusiaan dan terwujudnya
keadilan yang terbebas dari unsur despotisme.
Bila, kupasan-kupasan tersebut menjadi nalar-indoktrinatif
hingga sampai tertanam dalam perilaku, maka secara aksiologi Pancasila telah
berhasil menjadi nafas kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahul-muwafiq. Billahi Ilaa Aqwami
thariiq. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar