Bung
Karno, Santri, dan Visi Kebangsaan
Abdullah Azwar Anas ; Bupati Banyuwangi
|
JAWA
POS, 23
Juni 2017
SALAH satu syarat bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah menyatunya elemen santri dengan elemen nasionalis.
Nasionalis dan santri, elemen kebangsaan dan religiusitas, ibarat dua sisi
dari satu keping mata uang dalam semesta Republik Indonesia. Kesemuanya
adalah archetype atau pola dasar dari bangunan solid bernama Republik
Indonesia.
Persatuan antara elemen santri dan nasionalis maupun
kebangsaan dan religiusitas bukanlah jargon-jargon politik tanpa makna. Dalam
perjalanan sejarah Indonesia, berkali-kali momen-momen krusial dan kritis
hanya bisa dilampaui dengan bersatu padunya komitmen dari entitas santri dan
nasionalis. Tanpa persatuan diantara keduanya, mungkin saat ini kita hanya
akan mengingat riwayat Indonesia sebagai bagian dari sejarah masa lalu.
Satu hal yang perlu direnungkan dibanyak negeri muslim, hubungan
dua entitas itu tidak selamanya mulus seperti di Indonesia. Kita bisa
menyaksikan di Turki, pertentangan nasionalis sekuler dan kelompok Islamis
dapat muncul sewaktu-waktu ibarat api dalam sekam. Di Aljazair, ketegangan
kubu sekuler yang diwakili FLN (Front de Liberation Nationale) dengan kaum
Islamis (FIS/Front Islamique du Salut) menghasilkan perang saudara di
pengujung 1990-an yang masih membekas hingga kini. Sementara di Mesir,
eksperimentasi demokrasi pasca-Arab Spring segera kandas akibat ketegangan
kaum nasionalis dan kaum Islamis.
Hubungan erat hanya bisa terjadi ketika pemimpin
nasionalis memiliki wawasan dan komitmen religius, sementara pemimpin Islam
memiliki komitmen kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, sejarah telah
menorehkan tinta emas mengenai hal ini. Presiden Sukarno, yang dikenal
sebagai pemimpin nasionalis, adalah presiden didunia yang kali pertama
menyitir ayat Alquran dalam Sidang Umum PBB 30 September 1960 dengan pidato
berjudul To Build the World a New: ’’Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku
telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan,
sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian
kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu
sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku (QS. Al-Hujurat: 13).’’
Sementara KH Hasyim Asy’ari adalah pemimpin Islam yang
mengajarkan pentingnya komitmen kebangsaan, bahkan ketika Indonesia masih
belum berdiri. Diawal berdirinya republik, kita tidak lupa bahwa Bung Karno
bertanya tentang hukum membela negara bagi umat Islam kepada Mbah Hasyim.
Pendiri NU itu dengan sepenuh hati berijtihad bahwa perjuangan membela tanah
air adalah bagian dari jihad fisabilillah. Ijtihad itu kemudian dalam sejarah
dikenal sebagai Resolusi Jihad,yang menunjukkan pembelaan kaum santri
terhadap Republik Indonesia sebagai manifestasi komitmen kebangsaan yang utuh
secara ideologis dan keimanan.
Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj dalam rangkaian Bulan
Bung Karno di Blitar awal Juni lalu menyebut, nasionalisme Bung Karno bukan
berangkat dari mimpi kebangsaan semata. Nasionalisme Bung Karno lahir dari
rahim keimanan. Itulah yang dalam bahasa Mbah Hasyim disebut sebagai hubbul
wathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman: agama dan nasionalisme
bukan dua kutub berseberangan, keduanya saling menguatkan.
Bukan hanya pada momen awal kemerdekaan kaum santri
memperlihatkan kesetiaannya kepada negeri. Ketika republik masih berusia muda
tengah diterpa pukulan dari dalam seperti pemberontakan DI/TII, kaum santri
seperti Nahdlatul Ulama menunjukkan komitmen nasionalisnya. Pembelaan NU atas
Pancasila, republik, dan kepemimpinan Sukarno ditunjukkan dengan penolakan
terlibat dalam DI/TII. Bahkan, NU memberi gelar kepada Bung Karno sebagai
waliyyul amri dharuri bi as-syaukah (kepala negara bidang kenegaraan dan
keagamaan).
Melalui pemikiran politik Bung Karno dan Mbah Hasyim,
ditunjukkan kepada seluruh rakyat bahwa tidak ada kemenduaan antara menjadi
muslim dan menjadi Indonesia, menjadi santri dan menjadi nasionalis, menjadi
religius dan berkomitmen pada kebangsaan. Karena tak ada kemenduaan, seorang
santri sebenarnya juga seorang nasionalis. Dan seorang nasionalis pada
dasarnya adalah santri (berbasis religiusitas sesuai keyakinan
masing-masing).
Reaktualisasi Santri-Nasionalis
Yang perlu direnungkan kemudian adalah apa yang dapat kita
pelajari dari kesatuan antara nasionalis dan santri dalam sejarah negeri
kita? Saat ini kita berhadapan dengan persoalan sosial yang kompleks dan
krusial. Persatuan antara kalangan santri dan nasionalis menjadi sebuah
kebutuhan mendesak, bahkan terasa lebih mendesak daripada saat awal republik
ini berdiri.
Indonesia tengah berhadapan dengan problem yang juga
menjadi perhatian warga dunia. Ditengah sejumlah problem sosial yang menjadi
pekerjaan rumah bersama seperti kesenjangan ekonomi, muncul sentimen
frustrasi sosial dan kemarahan yang dapat mudah terletup membelah negeri.
Problem-problem sosial-ekonomi bertemu dengan persoalan lain, yakni maraknya
intoleransi dan merebaknya ekspresi keberagamaan eksklusif. Manifestasi
sosial yang kemudian dikenal dengan radikalisme ini tentu bertolak belakang
dengan karakter tasamuh kaum santri.
Dalam konfigurasi politik terkini, berbagai persoalan
tersebut salah satunya meletup dengan pembelahan sosial seperti yang
berlangsung dalam pilkada Jakarta belum lama ini. Pembelahan yang berpotensi
mengoyak keindonesiaan kita.
Dalam krisis kebangsaan seperti ini, posisi Jatim sangat
menentukan. Seperti halnya ketika Bung Karno bertanya tentang hukum membela
republik dan dijawab Mbah Hasyim Asy’ari secara tegas sebagai jihad
fisabilillah;maka di Jatim-lah, momen Pilkada 2018seyogianya menjadi momen
kebangkitan bagi putra-putri santri-nasionalis untuk menyatukan kain
kebangsaan yang terancam terkoyak. Seperti dulu pernah dilakukan oleh Bung
Karno dan Mbah Hasyim Asy’ari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar