Jumat, 07 Juli 2017

Idul Fitri Jalan Pulang

Idul Fitri Jalan Pulang
Asep Salahudin  ;   Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
                                               MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2017



                                                           
TENTU saja manusia itu tidak selalu benar, juga tidak selamanya salah. Selalu berada dalam dua tarikan itu. Dalam istilah filsuf Sunda Haji Hassan Mustapa, manusia berdiri antara pendulum kemalaikatan dan godaan daya keiblisan. Tobat dan permaafan sesungguhnya ialah jalan keluar kembali menuju rute yang benar. Sebuah tekad untuk tidak akan pernah mengulangi kealpaan serupa walaupun praktiknya sering kali jatuh dalam lubang sama untuk kesekian kalinya. Kalau ada perumpamaan keledai yang melambangkan tentang kedunguan manusia karena ketidaksanggupan mengambil pelajaran dari hikayat masa lalunya, sebenarnya kedunguan manusia levelnya lebih dari itu. Berulang kali bahkan kesalahan itu diperbuat dan tragisnya lagi sering kali dilakukan secara kolektif dalam kondisi penuh kesadaran.

Kembali ke khitah

Idul Fitri yang melambangkan akhir dari prosesi puasa sebenarnya disambut penuh perayaan, maknanya sama sekali tidaklah berkaitan dengan hal yang bersifat material, tapi justru menjadi momentum tekad diri untuk tidak pernah lelah menyalakan pijar yang diamanatkan puasa pada 11 bulan berikutnya yang akan dialami. Pengalaman tentang 'lapar', terjaga di malam hari, sikap empatik. Bagaimana kemudian pengalaman puasa sebulan penuh itu ditransformasikan dalam sikap hidup asketik. Asketisme bukan saja pada level personal, melainkan juga sosial, politik, dan kebangsaan.

Selepas puasa, rasa keberagamaan kita lebih terbuka dan lapang. Politik dikelola dengan mendahulukan akal sehat demi tegaknya kebaikan bersama; dalam konteks sosial keragaman tidak lagi dijadikan sebagai ancaman tapi kesempatan-kesempatan ontologis untuk mematangkan kemansiaan setiap kita. Orientasi keberpihakan ekonomi semakin tegas dalam rangka penguatan sektor kerakyatan, sedangkan pendidikan bukan lagi sekadar transfer pengetahuan untuk mencerdaskan nalar melainkan satu ikhtiar kerja kebudayaan dalam mewujudkan menjadi manusia yang utuh. Id itu tentu saja dalam bahasa Arab artinya adalah kembali. Kembali ke khitah kemanusiaan kita.

Kembali ke akar dan 'kampung halaman'. Dalam diksi 'kembali' larut di dalamnya satu proses mental perubahan dari kepalsuan menuju kesejatian. Semacam ziarah menuju tanah kelahiran dan tanah yang dijanjikan Tuhan yang sesungguhnya ada dan melekat dalam palung kedalaman sukma kita masing-masing. Sukma yang tidak bisa dikelabui karena di jazirah ini yang berhadap-hadapan langsung ialah sang aku dan Tuhannya. Tidak ada pihak ketiga. Kata Nabi Muhammad SAW istafti qalbaka. Minta fatwalah kepada hatimu. Karena hati tidak mungkin berbohong dan mustahil bisa dikelabui.

Kembali sebagai sebuah gerak kebudayaan untuk mentautkan antara meminjam istilah filsuf Van Perseun yang teknik dan mistik. Yang teknik penting untuk memenuhi asupan tubuh dan yang mistik harus diperhitungkan juga untuk melayani hajat rohaniah. Teknik dan mistik ketika dikelola secara seimbang akan melahirkan sebuah peradaban utama, mewujudkan negara yang bisa melindungi segenap warganya dan mendatangkan keadilan bagi semua rakyatnya. Dalam konteks kebangsaan, paduan teknik dan mistik itu sesungguhnya tergambarkan dalam dasar negara Pancasila. Pancasila yang dibuka dengan kesadaran transendensi ketuhanan (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan dipungkas dengan keinafan humanisasi-kemanusiaan (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Ketuhanan tanpa keadilan hanya akan melahirkan ilusi 'negara agama' yang setiap hari sibuk dengan slogan dan mimpi kebahagiaan di alam eskatologis, sebagaimana keadilan tanpa ketuhanan hanya mencipatakan negara dengan penduduknya yang mengalami kehampaan spiritual di tengah keberlimpahan materi. Itulah makna dari ungkapan yang selalu disampaikan saat-saat Lebaran, minal aidin wal faizin. Aidin artinya kembali seperti itu dan faizin berarti kabahagiaan. Sebuah ungkapan yang tidak sekadar saling mendoakan, tapi juga penguatan tekad kembali ke jalan bernegara yang benar dan pribadi yang lurus untuk meningkatkan indeks kebahagiaan.

Proyek politik

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, merenungkan makna Idul Fitri seperti itu menjadi penting justru di tengah situasi masyarakat yang dalam lima tahun terakhir terutama setelah menjelang pilgub Jakarta masyarakat mengalami polarisasi tajam, sengketa yang seperti sulit didamaikan, dan sesekali berubah menjadi konflik horizontal mengkhawatirkan.

Suasana muram seperti itu, kalau mau jujur, sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan ajaran agama, tapi sepenuhnya urusan politik yang diacukan pada permainan politik identitas. Agama atau etnik hanyalah sebagai atas nama. Elite politik sangat paham bahwa masyarakat kita hanya bisa dimobilisasi lewat isu agama. Hanya agama yang dapat dijadikan amunisi efektif dan murah meriah mendiskreditkan lawan-lawan politiknya. Bahkan tidak sedikit kelas terpelajar yang ikut-ikutan ambil bagian dalam politik gelap, primitif, dan berbahaya seperti ini.

Di titik ini sesungguhnya sering terjadi perkawinan penuh risiko antara puritanisme agama dan pragmatisme politik. Yang satu punya massa dan toa, sedangkan lainnya punya dana. Massa dijual untuk ditukar dana dan dana digelontorkan demi memburu takhta politik yang diimpikan siang dan malam. Di titik pusaran inilah akan dengan mudah dilemparkan stigma kafir, munafik, dan sesat kepada mereka yang tak sehaluan pandangan agamanya atau lebih jujur lagi pandangan orientasi politiknya. Stigma itu kalau diperiksa lebih jernih tidak ada urusan dengan persoalan teologis, tapi semata urusan pragmatis. Setelah target politik tercapai, dengan sendirinya stigmatisasi itu berhenti sendiri dan atau dipermanenkan untuk proyek politik berikutnya. Tentang fatwa jenazah yang tidak boleh disalatkan pun tidak lagi dipercakapkan.

Melampaui politik

Idul fitri, inilah momentum yang paling tepat untuk menghentikan prapolitik (partisan, eksklusif, diskriminatif), kembali menuju politik (lapang, terbuka, demokratis, inklusif) yang sebenarnya. Sudah saatnya ritus kesucian itu tidak hanya berurusan secara personal, tapi efeknya dipancarkan bagi kehidupan sosial-kebangsaan. Mengapa salat id disunatkan diselenggarakan di lapangan? Pesannya yang paling terang tidak lain agar kita memiliki sikap lapang dan selalu siap menghadapi wajah-wajah lain yang berbeda dalam semangat kebersamaan. Bersalaman dalam pancaran wajah ramah yang jauh dari kepura-puraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar