Idul
Fitri Jalan Pulang
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU
Jawa Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Juni 2017
TENTU saja manusia itu tidak selalu benar, juga tidak
selamanya salah. Selalu berada dalam dua tarikan itu. Dalam istilah filsuf
Sunda Haji Hassan Mustapa, manusia berdiri antara pendulum kemalaikatan dan
godaan daya keiblisan. Tobat dan permaafan sesungguhnya ialah jalan keluar
kembali menuju rute yang benar. Sebuah tekad untuk tidak akan pernah
mengulangi kealpaan serupa walaupun praktiknya sering kali jatuh dalam lubang
sama untuk kesekian kalinya. Kalau ada perumpamaan keledai yang melambangkan
tentang kedunguan manusia karena ketidaksanggupan mengambil pelajaran dari
hikayat masa lalunya, sebenarnya kedunguan manusia levelnya lebih dari itu.
Berulang kali bahkan kesalahan itu diperbuat dan tragisnya lagi sering kali
dilakukan secara kolektif dalam kondisi penuh kesadaran.
Kembali ke khitah
Idul Fitri yang melambangkan akhir dari prosesi puasa
sebenarnya disambut penuh perayaan, maknanya sama sekali tidaklah berkaitan
dengan hal yang bersifat material, tapi justru menjadi momentum tekad diri
untuk tidak pernah lelah menyalakan pijar yang diamanatkan puasa pada 11
bulan berikutnya yang akan dialami. Pengalaman tentang 'lapar', terjaga di
malam hari, sikap empatik. Bagaimana kemudian pengalaman puasa sebulan penuh
itu ditransformasikan dalam sikap hidup asketik. Asketisme bukan saja pada
level personal, melainkan juga sosial, politik, dan kebangsaan.
Selepas puasa, rasa keberagamaan kita lebih terbuka dan
lapang. Politik dikelola dengan mendahulukan akal sehat demi tegaknya
kebaikan bersama; dalam konteks sosial keragaman tidak lagi dijadikan sebagai
ancaman tapi kesempatan-kesempatan ontologis untuk mematangkan kemansiaan
setiap kita. Orientasi keberpihakan ekonomi semakin tegas dalam rangka
penguatan sektor kerakyatan, sedangkan pendidikan bukan lagi sekadar transfer
pengetahuan untuk mencerdaskan nalar melainkan satu ikhtiar kerja kebudayaan
dalam mewujudkan menjadi manusia yang utuh. Id itu tentu saja dalam bahasa
Arab artinya adalah kembali. Kembali ke khitah kemanusiaan kita.
Kembali ke akar dan 'kampung halaman'. Dalam diksi
'kembali' larut di dalamnya satu proses mental perubahan dari kepalsuan
menuju kesejatian. Semacam ziarah menuju tanah kelahiran dan tanah yang
dijanjikan Tuhan yang sesungguhnya ada dan melekat dalam palung kedalaman
sukma kita masing-masing. Sukma yang tidak bisa dikelabui karena di jazirah
ini yang berhadap-hadapan langsung ialah sang aku dan Tuhannya. Tidak ada
pihak ketiga. Kata Nabi Muhammad SAW istafti qalbaka. Minta fatwalah kepada
hatimu. Karena hati tidak mungkin berbohong dan mustahil bisa dikelabui.
Kembali sebagai sebuah gerak kebudayaan untuk mentautkan
antara meminjam istilah filsuf Van Perseun yang teknik dan mistik. Yang
teknik penting untuk memenuhi asupan tubuh dan yang mistik harus
diperhitungkan juga untuk melayani hajat rohaniah. Teknik dan mistik ketika
dikelola secara seimbang akan melahirkan sebuah peradaban utama, mewujudkan
negara yang bisa melindungi segenap warganya dan mendatangkan keadilan bagi
semua rakyatnya. Dalam konteks kebangsaan, paduan teknik dan mistik itu sesungguhnya
tergambarkan dalam dasar negara Pancasila. Pancasila yang dibuka dengan
kesadaran transendensi ketuhanan (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan dipungkas
dengan keinafan humanisasi-kemanusiaan (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia).
Ketuhanan tanpa keadilan hanya akan melahirkan ilusi
'negara agama' yang setiap hari sibuk dengan slogan dan mimpi kebahagiaan di
alam eskatologis, sebagaimana keadilan tanpa ketuhanan hanya mencipatakan
negara dengan penduduknya yang mengalami kehampaan spiritual di tengah
keberlimpahan materi. Itulah makna dari ungkapan yang selalu disampaikan
saat-saat Lebaran, minal aidin wal faizin. Aidin artinya kembali seperti itu
dan faizin berarti kabahagiaan. Sebuah ungkapan yang tidak sekadar saling
mendoakan, tapi juga penguatan tekad kembali ke jalan bernegara yang benar
dan pribadi yang lurus untuk meningkatkan indeks kebahagiaan.
Proyek politik
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara,
merenungkan makna Idul Fitri seperti itu menjadi penting justru di tengah situasi
masyarakat yang dalam lima tahun terakhir terutama setelah menjelang pilgub
Jakarta masyarakat mengalami polarisasi tajam, sengketa yang seperti sulit
didamaikan, dan sesekali berubah menjadi konflik horizontal mengkhawatirkan.
Suasana muram seperti itu, kalau mau jujur, sesungguhnya
tidak ada hubungannya dengan ajaran agama, tapi sepenuhnya urusan politik
yang diacukan pada permainan politik identitas. Agama atau etnik hanyalah
sebagai atas nama. Elite politik sangat paham bahwa masyarakat kita hanya
bisa dimobilisasi lewat isu agama. Hanya agama yang dapat dijadikan amunisi
efektif dan murah meriah mendiskreditkan lawan-lawan politiknya. Bahkan tidak
sedikit kelas terpelajar yang ikut-ikutan ambil bagian dalam politik gelap,
primitif, dan berbahaya seperti ini.
Di titik ini sesungguhnya sering terjadi perkawinan penuh
risiko antara puritanisme agama dan pragmatisme politik. Yang satu punya
massa dan toa, sedangkan lainnya punya dana. Massa dijual untuk ditukar dana
dan dana digelontorkan demi memburu takhta politik yang diimpikan siang dan
malam. Di titik pusaran inilah akan dengan mudah dilemparkan stigma kafir,
munafik, dan sesat kepada mereka yang tak sehaluan pandangan agamanya atau
lebih jujur lagi pandangan orientasi politiknya. Stigma itu kalau diperiksa
lebih jernih tidak ada urusan dengan persoalan teologis, tapi semata urusan
pragmatis. Setelah target politik tercapai, dengan sendirinya stigmatisasi
itu berhenti sendiri dan atau dipermanenkan untuk proyek politik berikutnya.
Tentang fatwa jenazah yang tidak boleh disalatkan pun tidak lagi
dipercakapkan.
Melampaui politik
Idul fitri, inilah momentum yang paling tepat untuk
menghentikan prapolitik (partisan, eksklusif, diskriminatif), kembali menuju
politik (lapang, terbuka, demokratis, inklusif) yang sebenarnya. Sudah
saatnya ritus kesucian itu tidak hanya berurusan secara personal, tapi
efeknya dipancarkan bagi kehidupan sosial-kebangsaan. Mengapa salat id
disunatkan diselenggarakan di lapangan? Pesannya yang paling terang tidak
lain agar kita memiliki sikap lapang dan selalu siap menghadapi wajah-wajah
lain yang berbeda dalam semangat kebersamaan. Bersalaman dalam pancaran wajah
ramah yang jauh dari kepura-puraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar