Merebut
Kuasa dari Intoleransi
Rendy Pahrun Wadipalapa ; Pengajar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS, 21 Juni 2017
Siapa yang paling diuntungkan dengan logika intoleransi
agama yang menjalari tubuh politik kita hari ini?
Daya tahan isu intoleransi sekaligus sektarianisme agama
telah melampaui dugaan. Tiap pandangan yang mencoba meremehkannya akan
berbenturan dengan fakta hidup bahwa ide-ide anti-kebangsaan dan
anti-persatuan telah semakin mengakar.
Safari politik Presiden Joko Widodo yang sangat aktif
mendekati kelompok, komunitas, ataupun organisasi berbasis agama, serta
ceramah ataupun pidatonya yang menitikberatkan multikulturalisme, merupakan
tanda bahwa negara sedang berkonsentrasi meredam sektarianisme. Meski ide
sektarian sering diasosiasikan langsung pada bentuknya yang paling ekstrem
dalam rupa terorisme, pelekatan gagasan ini secara halus telah mengubah pula
mode dan struktur politik kita.
Politik secara naluriah akan menyesuaikan posisinya dalam
merespons "pasar". Tatkala gagasan intoleran berkembang subur dan
menemukan lokus pasarnya, maka kepentingan yang hendak mengakumulasi
kekuasaan dari sana akan segera muncul. Tanda-tanda itu tampak kian menguat
ketika bermunculan kelompok paramiliter yang atas nama agama mencoba
menaikkan daya tawar kekuasaannya.
Proses akumulatif ini dihargai sebagai bagian dari kapital
kekuasaan menggiurkan karena dapat menarik keluar banyak simpati dan
dukungan. Situasi ini terbukti jadi umpan yang mengenyangkan bagi elite
politik. Mereka mengatur ulang posisi agar mampu mendekat dan membangun ordo
politik sendiri berbasis kekuatan politik agama. Elite dapat menarik diri
dari posisi moderatnya dan membalik keberpihakan ke bandul lain. Meski bukan jadi
gerakan yang orisinal, perwujudan demonstratif dari massa yang demikian
banyak adalah alasan cukup agar kelompok semacam ini dibela demi kepentingan
akumulasi sponsor politik.
Potensi menggiurkan itu adalah salah satu sebab mengapa
gerakan ekstrem dan intoleran tak pernah dipandang serius untuk diselesaikan.
Elite dapat menempatkan kelompok ini secara elastis, mengikuti situasi dan
tujuan yang dikehendaki.
Strategi produktif
Salah satu variabel penting yang melemah di hadapan
keadaan intimidatif ini adalah kelompok kelas menengah. Bagian masyarakat
yang biasanya teramat kritis ini coba dibungkam dengan cara menghamburkan
pelabelan berdasar agama. Debat dan perbedaan pendapat akan mudah diakhiri
dengan tudingan justifikasi agama, seperti dalam kasus debat politik ihwal
pemimpin Muslim atau non-Muslim.
Beberapa langkah negara dalam memadamkan ekstremitas ini
patut dipuji, tetapi harus segera dipikirkan langkah apa yang dapat dilakukan
publik dalam menjaga diri dari kemelut itu. Menariknya, dalam polemik yang
menyita tenaga ini, publik kerap kali menelan wacana dan isu dari
antah-berantah, palsu, dan bermutu rendah. Mereka sengaja ditempatkan sebagai
kerumunan pasif yang menerima wacana. Daya kritis dilemahkan lewat diktum
agama, dan nalar terpaksa dinomorduakan karena eksploitasi sakralitas suci.
Secara psikis, selalu ada keragu-raguan dalam memasang
resistensi pada semua yang mengaku diri sebagai bagian dari sakralitas agama.
Situasi ini perlu didobrak karena dalam banyak sekali contoh kita melihat
secara telanjang bagaimana politisasi agama hanya menguntungkan elite politik
belaka.
Mode produktif harus diaktifkan agar publik secara kreatif
mampu menciptakan wacana tandingan terhadap politisasi agama. Negara dan
organisasi besar harus mampu mendidik dan mendorong keberanian masyarakat
mengaktualisasikan sikap moderatnya. Sebab, yang menjadi korban dan
berhadapan pada segala macam intoleransi itu adalah publik sendiri.
Mengharapkan negara sendirian dalam mengubur gerakan intoleran adalah sia-sia
belaka. Masyarakat yang selama ini kesulitan dan ketakutan dalam intimidasi
pendapat oleh kelompok intoleran harus diberi momentum dan didukung untuk
bersuara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar