Berpura-pura
Miskin
Widodo Surya Putra ; Penulis Buku; Editor, Penyuka basket;
Kini sedang menantikan
penerbitan buku ketiga
|
DETIKNEWS, 20 Juni 2017
Dalam sehari, saya agak terganggu mendengar dua cerita
terkait ulah tidak sportif—jika saya boleh menyebut demikian—terkait perilaku
"mendadak miskin" pada masa pendaftaran sekolah. Kedua cerita itu
mirip, yakni mengenai dua orangtua yang menganggap dirinya "miskin"
mendadak—lebih tepatnya pura-pura miskin, supaya mendapat keringanan biaya
pendidikan untuk anaknya.
Mungkin sebelumnya mereka telah memelajari mengenai kuota
untuk calon peserta didik (murid) yang datang dari keluarga kurang mampu
secara ekonomi—juga sering disebut keluarga miskin—sehingga mereka tergoda
untuk memanfaatkan kuota tersebut, supaya anaknya bisa bersekolah di tempat
yang diinginkan.
Saya pun jadi teringat dengan cerita yang terjadi di
Semarang beberapa tahun silam. Ceritanya, ada sebuah sekolah swasta yang
sejak awal dibuka memberi kuota khusus untuk orang-orang kurang mampu
(miskin). Anak-anak mereka akan dibebaskan sepenuhnya dari biaya pendidikan
alias gratis, supaya dapat mengenyam pendidikan sama seperti anak-anak dari
keluarga dengan perekonomian menengah ke atas.
Suatu ketika, ada seorang bapak yang sehari-hari mengamen,
membawa bungkusan berisi uang hasil mengamen yang dikumpulkannya selama
beberapa waktu lamanya, lalu menghadap ke kepala sekolah. Orang ini
mengetahui bahwa biaya pendidikan memang tidak murah, tapi ia tidak mau
anaknya bersekolah sepenuhnya gratis. Oleh karena itu, seberapa yang dapat ia
hasilkan dan kumpulkan, dengan penuh kerelaan ia serahkan kepada pihak
sekolah. Sungguh mulia sekali hati lelaki itu!
Sekolah yang sama juga pernah mendapat kunjungan
mengejutkan dari seorang wanita. Awalnya ia tak mengenali siapa wanita
tersebut, tapi ia segera ingat bahwa wanita itu pernah datang ke sekolah,
lalu meminta keringanan biaya pendidikan anaknya. Modusnya, ia mengaku miskin
dan secara sengaja datang dengan pakaian sederhana dan memakai sandal jepit.
Setelah misinya berhasil—sang kepala sekolah dapat diyakinkan sekaligus
ditipu—ia segera pulang ke rumah dengan mengendarai mobil bagus.
Repotnya, perilaku wanita itu segera mendapat balasan dari
Tuhan. Dalam waktu singkat, usaha suaminya mengalami goncangan hebat,
sehingga keluarganya benar-benar jatuh miskin. Ia pun teringat akan
perilakunya ketika datang ke sekolah dengan berpura-pura miskin, tanpa sama
sekali menyangka bahwa Tuhan "mengabulkan" keinginannya untuk
menjadi miskin—supaya orang kasihan kepadanya.
Akhirnya, setelah menyadari kekeliruannya, wanita itu
kembali datang ke sekolah, menemui kepala sekolah dan mengakui semuanya. Tak
lupa ia pun meminta maaf karena telah mengambil "jatah" yang
seharusnya menjadi milik orang yang lebih membutuhkan.
Menurut saya, dari antara dua orang yang terakhir saya
ceritakan, lelaki pengamen tersebut lebih tepat disebut sebagai "orang
kaya" dibandingkan wanita kaya yang memiliki mobil mewah tapi mengaku
miskin. Secara materi, orang yang pertama boleh tertinggal jauh dari orang
yang kedua, tapi mentalitas orang yang pertama jauh lebih kaya daripada orang
yang kedua!
Jika mau diakui, bukankah mentalitas orang kaya yang
berjiwa miskin ini cukup banyak terlihat di sekitar kita? Lokasinya pun bisa
beragam, mulai dari ruang pembayaran biaya pendidikan atau uang gedung
sekolah, swalayan terbesar di kota Anda, gedung pemerintahan, di rumah
ibadah, di warteg atau rumah makan, termasuk di kampung tempat Anda tinggal,
dengan pelaku tetangga sebelah yang rumahnya hanya terpisahkan dengan tembok
setebal 1-2 meter dari rumah kita!
Jika mau diakui, bukankah kondisi serupa juga terjadi di
sekitar kita? Ketika ada kampung yang terkena musibah gempa bumi, lalu
beberapa rumah yang roboh mendapat bantuan dana dari pemerintah, berapa
persen yang sampai ke pihak yang seharusnya menerima? Bahkan terkadang,
dengan alasan "pemerataan" atau "supaya tidak menimbulkan
permasalahan di masyarakat", lalu pemerintah desa setempat memutuskan
untuk menyunat uang bantuan yang masuk, lalu membagikan ke semua warga?
Di sekolah, ketika ada kebijakan subsidi silang supaya
biaya SPP murid dari golongan ekonomi menengah ke atas dapat menopang biaya
SPP murid dari keluarga yang kurang mampu, berapa banyak orang kaya yang
dengan antusias berkata, "Kami akan bayar lebih, supaya sisanya dapat
dipakai untuk membantu biaya SPP murid lain!"?
Dalam skala nasional, berapa banyak dana yang seharusnya
dipakai untuk mensubsidi biaya pendidikan atau kesehatan bagi rakyat yang
kurang mampu, tapi sebagian uangnya dikorupsi oleh mereka yang secara materi
jauh lebih baik daripada rakyat yang menjadi sasaran dari program yang dibuat
oleh pemerintah itu?
Melihat, mendengar, dan membaca kisah aneh tapi nyata
seperti di atas, saya hanya bisa mengelus dada, geleng-geleng kepala, atau
terkadang tak tahan untuk berkomentar negatif mengenai orang-orang yang saya
anggap tak tahu diri seperti itu. Namun, akhirnya saya menyadari bahwa
"mentalitas" adalah inti dari semua permasalahan tersebut.
Saya pun pernah mengembalikan pertanyaan kepada diri
sendiri, "Sudahkah saya memiliki mentalitas orang kaya, sekalipun secara
materi belum berkelimpahan?" Namun, semakin ke sini saya menyadari bahwa
semuanya dimulai dari mentalitas dalam diri, bukan dari banyak-sedikitnya
harta saya.
Saya memohon kepada Yang Mahakuasa agar mengubah dan
membentuk mentalitas makmur dan berkelimpahan dalam diri saya. Tak lupa saya
pun berdoa supaya menjadi pribadi yang tahu diri, sehingga saya tidak akan
mengambil jatah yang seharusnya menjadi hak untuk sesama yang lebih
membutuhkan.
Saya bertekad agar sampai kapan pun, saya tidak akan
berpura-pura miskin, supaya mendapat belas kasihan dari orang lain.
"Gawat kalau Tuhan marah dan membuat saya benar-benar menjadi miskin.
Emoh!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar