Saatnya
Pendidikan Kembali ke Fitrah
Ardhie Raditya ; Dosen Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya
di Departemen Sosiologi
Unesa
|
DETIKNEWS, 21 Juni 2017
Sejak dilontarkan ke muka publik, kebijakan Mendikbud
mengenai lima hari bersekolah menuai perseteruan banyak kalangan. Sudah bisa
diduga, sebagian besar kalangan Muhammadiyin cenderung mendukungnya.
Sebaliknya, kalangan Nahdiyin sebagian besar menolaknya. Kesannya, praktik
pendidikan hampir tak ada bedanya dengan pertarungan merebut kursi kekuasaan
di negeri kita.
Mungkin saja pandangan saya terkesan mengada-ngada. Namun,
Stuart Hall (1998) dalam The Work of
Representation mengatakan bahwa praktik berbahasa selalu menyimpan kepentingan
kelompok tertentu yang di baliknya terdapat kekuatan identitas kultural. Jika
kita tengok lebih dalam lagi, sebenarnya kedua kubu, baik pro dan kontra,
punya argumentasi wacana masing-masing.
Mereka yang menolak menganggap lima hari sekolah akan membunuh
perlahan madrasah diniyah (madin) yang sejak dahulu ada di Nusantara. Karena,
program itu menjadikan waktu sekolah semakin panjang dari biasanya (8 jam).
Sedangkan, madrasah biasanya dilakukan pada siang hari setelah jam pelajaran
sekolah usai.
Jauh sebelum adanya sistem persekolahan, pendidikan agama
telah ada sejak awal mulanya peradaban manusia. Karena kondisi sejarah itu
membuat Ki Hadjar Dewantara, mendikbud pertama R.I, mulai memasukkan
pendidikan agama ke sekolah umum di Indonesia. Hal itu diwujudkan dengan
terbitnya UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran.
Pendidikan agama menjadi pengajaran resmi di sekolah umum
sejak disahkannya UU No.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional.
Namun, perkembangannya pendidikan agama di sekolah umum kurang menggigit.
Karena, jam mata pelajaran agama sangat terbatas. Porsinya hampir tak jauh
beda dengan olah raga maupun pelajaran seni-budaya. Sementara itu, mata
pelajaran ilmu positivistik atau eksakta seperti kimia, fisika, biologi, dan
matematika diistimewakan dengan alokasi waktunya.
Sedangkan, dari kubu pendukung menganggap bahwa kebijakan
lima hari sekolah itu dapat memperkuat pendidikan karakter. Sebab, pendidikan
karakter sesuai dengan prinsip revolusi mental pemerintahan Jokowi-JK.
Terlebih lagi, di tengah padatnya waktu kerja manusia modern, tambahan waktu
belajar di sekolah akan membuat anak-anak aman dari rongrongan dunia
kejahatan sekaligus kenakalan remaja.
Sayangnya, situasi politik nasional berefek pada tumbuhnya
kesadaran masyarakat betapa ironinya pendidikan kita. Tak sedikit tokoh agama
yang terlibat politik praktis justru terjerembab ke dalam kenikmatan dunia.
Demi kepentingan politiknya, mereka begitu mudah menggunakan dalih agama.
Kebiasaannya kerap berburu citra mirip badut-badut politik.
Bagi elit agama, hal itu mungkin dianggap biasa saja.
Tapi, di antara akar rumput yang fanatik dan belum berpengetahuan luas,
politik praktis elit agama itu menjadi bom waktu yang bisa meledak
sewaktu-waktu. Sehingga, musuh bersama bukan lagi penjajah dari Barat dan
Eropa, melainkan sesama anak bangsanya. Sesama umat beragama dan seagama.
Bahkan, media massa terkadang turut memancing di air
keruh. Saat momentum muktamar kedua ormas agama terbesar di Nusantara, salah
satu media mainstream menurunkan judul berita yang tendensius: "muktamar
kelompok A gaduh, kelompok B teduh". Kondisi ini membuat KH. Mustofa
Bisri (Gus Mus) menangis tersedu-sedu.
"Kok bisa sesama Islamnya gegeran," tanya beliau
sambil mengusap air mata. Wacana ini lantas dibawanya di hampir setiap
mengisi pengajian dari kota ke kota sebagai penanda zaman akhir.
Melampaui Esensi
Mencermati secara seksama wacana yang beredar di media
massa, sepertinya pro-kontra kebijakan Mendikbud tentang lima hari bersekolah
telah melampui esensi dasarnya. Baik kelompok pro dan kontra saling
menjustifikasi kebenaran wacananya.
Pada konteks ini, persoalan baik/buruk pendidikan menjadi
terguncang. Karena, tidak adanya negosiasi dan juktaposisi dari kelompok yang
direpresentasikannya. Kondisi ini disebut Postman (1996) dalam The End of Education sebagai dekadensi
nilai-nilai pendidikan.
Sekolah lima hari dalam sepekan barangkali tergolong baru
di Indonesia. Tapi, di negara-negara maju, sekolah lima hari sudah sejak lama
diterapkan. Seperti di Singapura, Jerman, Amerika, Finlandia, dan lainnya.
Meskipun sekolah di sana berlangsung lima hari, kualitas pendidikannya tetap
terjaga.
Sekolah lima hari berefek bagi peningkatan intensitas
keintiman bersama keluarga. Karena, memperbesar waktu luang bagi para guru
dan siswa. Waktu luang ini bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup yang
baik. Kualitas hidup yang baik akan mendorong anak untuk semangat belajar
tanpa dihantui rasa bosan. Waktu luang itulah yang dapat dimanfaatkan untuk
tamasya pendidikan.
Generasi muda kita perlu dididik memahami kebesaran
sejarah dan budaya bangsanya. Ada banyak tempat wisata di Indonesia termasuk
dari tujuh keajaiban dunia. Seperti, Candi Borobudur, Pulau Komodo, padang
salju Papua, Bali, danau tiga warna (Kalimutu), dan lainnya.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa daya dobrak brand power
pariwisata Indonesia (5,2%) masih tertinggal dibandingkan Thailand (9,4%) dan
Singapura (8,6%). Inilah pentingnya waktu luang agar digunakan sebaik mungkin
jika kebijakan lima hari bersekolah benar-benar diterapkan.
Namun, menurut Marcuse (2002) di dalam masyarakat
kapitalisme lanjut tak ada namanya waktu luang. Waktu luang bagian dari
desublimasi represif. Karena, pada saat manusia modern sibuk bekerja, maka
aktivitas melepas penat hanyalah komodifikasi kebutuhan palsu. Waktu luang
(leisure time) menjadi pelumas mesin industri budaya dalam bentuk yang lain.
Itulah sebabnya kita perlu menyadari kembali makna
persekolahan dan pendidikan. Karena, tidak semua orang yang bersekolah
disebut berpendidikan. Tujuan pendidikan adalah membentuk paripurnanya
kehidupan alam semesta. Pendidikan erat kaitannya dengan amal kebaikan, cinta
kasih sesama, dan tentu saja tak menyembah apapun selain Tuhan yang maha esa.
Pendidikan semacam itulah yang harus dibumikan sebagai
penangkal serbuan tirani birokrasi dan spirit kapitalisme dalam pendidikan
kita. Sehingga, pendidikan kita terus-menerus menemukan fitrahnya. Kapan dan
di mana saja ia berada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar