Problematika
Sinergitas FDS-Madin
Mundzar Fahman ; Dosen Institut Agama Islam Sunan Giri
Bojonegoro
|
JAWA
POS, 21
Juni 2017
Jawa Pos edisi Jumat (16/6) menurunkan dua tulisan tentang
kebijakan Mendikbud mengenai perubahan hari masuk sekolah dan durasi jam
pelajaran mulai 2017–2018. Tulisan Akh. Muzakki, Sesat Pikir Lima Hari
Sekolah, tidak setuju terhadap kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendy.
Sementara itu, tulisan Biyanto, Kontroversi Full Day School (FDS), berusaha
menjelaskan substansi kebijakan Mendikbud. Intinya, dia mendukung kebijakan
sang menteri.
Kebijakan Mendikbud yang akan mengubah hari masuk sekolah
dari enam hari dalam seminggu menjadi lima hari itu memang menimbulkan
pro-kontra di masyarakat. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Termasuk
terhadap kebijakan Mendikbud tentang perubahan durasi jam pelajaran di
sekolah dari 5–6 jam menjadi 8 jam per hari.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung atau menolak
terhadap kebijakan Mendikbud tersebut. Juga, tidak dimaksudkan sebagai kritik
terhadap dua tulisan di atas. Lewat tulisan ini, saya hanya ingin
menyampaikan sejumlah problem yang akan dihadapi sekolah dan madin (madrasah
diniyah) manakala FDS tersebut jadi diterapkan.
Menurut penjelasan Kemendikbud, dengan durasi delapan jam
pelajaran di sekolah, tidak berarti guru dan siswa selama delapan jam selalu
berada di dalam kelas di sekolah. Menurut Biyanto, sebagian aktivitas peserta
didik bisa dilakukan di luar sekolah, misalnya di madin, pesantren, dan
lembaga lain yang dikelola masyarakat. Pembelajaran keagamaan di madin dan
pesantren tersebut sekaligus menjadi bagian kegiatan sekolah. Dengan begitu,
guru madin dan pesantren berhak memperoleh gaji dari alokasi anggaran
sekolah.
Menurut saya, jika penerapan pembelajaran keagamaan
dilakukan seperti itu, sangat mungkin akan memunculkan beberapa masalah. Baik
itu jika dilakukan di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Problemnya,
antara lain, jika dilakukan di sekolah, pihak sekolah perlu mendatangkan guru
madin ke sekolah. Sebab, sekolah tidak memiliki guru keagamaan yang cukup,
terutama dalam kuantitasnya. Dan, jika mendatangkan dari luar, tentu sekolah
membutuhkan anggaran ekstra untuk honor guru madin yang bertugas.
Di sisi lain, jika pembelajaran keagamaan dilakukan di
dalam sekolah, dampaknya adalah tutupnya madin di desa-desa atau di
masjid/musala yang selama ini sudah eksis. Sebab, selama ini, kegiatan
belajar mengajar di madin hampir semua dilaksanakan mulai sekitar pukul
15.00. Karena itu, jika kebijakan sekolah delapan jam sehari itu diterapkan,
para siswa baru bisa pulang pukul 15.00–16.00. Hal inilah yang menjadi alasan
bagi pihak-pihak yang selama ini menolak rencana kebijakan Mendikbud
tersebut.
Namun, harus diakui, jika pelaksanaan pembelajaran
keagamaan seperti itu, ada juga sisi positifnya. Yaitu, jika pembelajaran
keagamaan dilakukan di kelas dan pihak sekolah/guru terlibat secara langsung,
tentu semua siswa akan mengikuti pembelajaran itu. Ini menguntungkan. Sebab,
selama ini, tidak semua siswa mengikuti pembelajaran di madin setelah mereka
pulang dari sekolah.
Lalu, apa problemnya jika pembelajaran keagamaan dilakukan
di luar sekolah? Menurut saya, sedikitnya ada tiga problem. Pertama, lokasi
madin atau pesantren tidak selalu berdekatan dengan sekolah. Nah, jika
berjauhan, bagaimana pihak sekolah atau guru akan mengatur anak-anaknya?
Kedua, daya tampung madin sangat terbatas. Beda jauh
dengan daya tampung sebuah sekolah, apalagi sekolah negeri. Nah, jika sebuah
sekolah negeri memiliki sekian banyak siswa, mereka akan ditampung di berapa
madin dan di mana? Apalagi jika madin-madin penampung siswa tersebut
berjauhan, tentu pihak sekolah akan kesulitan mengawasinya.
Ketiga, jika pembelajaran keagamaan dilakukan di sejumlah
madin, sebagai konsekuensinya, pihak sekolah perlu menyediakan honor untuk
guru-guru di sejumlah madin tersebut. Ada pembengkakan anggaran. Siapa yang
akan menanggungnya? Pemerintah, ataukah siswa? Di sisi lain, selama ini belum
semua guru madin berkualifikasi terstandar dengan baik. Itu problem
sinergitas FDS-madin.
Namun, harus diakui ada juga sisi positifnya jika
pembelajaran keagamaan nanti dilakukan di sejumlah madin. Jumlah siswa/santri
madin akan meningkat. Sebab, siswa sekolah akan dipaksa gurunya mengikuti KBM
di madin untuk penguatan pendidikan karakter tersebut. Sisi positif yang
lain, guru-guru madin akan dapat tambahan rezeki dari pihak sekolah. Ini
wujud konkret nilai plus sinergitas FDS-madin.
Ada wacana, jika kebijakan durasi jam sekolah menjadi
delapan jam sehari jadi diterapkan, sebaiknya madin mengalah, menyesuaikan
jam KBM-nya. Misalnya, KBM pada malam hari setelah salat Magrib. Sebab, jika
KBM di madin tetap dilaksanakan mulai pukul 15.00 WIB, tentu siswa-siswa
belum pulang dari sekolah.
Namun, gagasan itu tampaknya juga susah dilaksanakan.
Sebab, jika KBM di madin pada malam hari, banyak orang tua dan siswa
keberatan. Mereka beralasan, waktu setelah magrib adalah waktu belajar untuk
keperluan sekolah, atau untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari gurunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar