Nasionalisme
Ekonomi dan Kemerdekaan Bangsa
Ahmad Syafii Maarif ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA, 20 Juni 2017
Jauh sebelum Indonesia merdeka hampir 72 tahun yang lalu,
para pendiri bangsa sudah berbicara tentang dua kekuatan nasional kembar yang
tidak bisa dipisahkan: nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi.
Nasionalisme politik bertujuan untuk mengubah status bangsa terjajah menjadi
bangsa merdeka, dan cita-cita mulia itu telah tercapai dengan Proklamasi
Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tonggak 17 Agustus adalah deklarasi
lahirnya sebuah negara baru di gugusan kepulauan Nusantara: negara Indonesia
merdeka yang berdaulat penuh.
Sekalipun harus bertempur selama empat tahun antara
1945-1949 dalam kancah revolusi nasional, karena penjajah Belanda masih tidak
mau hengkang dari negeri ini, akhirnya dengan korban yang tidak sedikit, kita
menang. Belanda baru pada Desember 1949 bersedia mengakui negara baru ini, karena
memang tidak punya pilihan lain lagi. Konstelasi politik global telah berubah
secara drastis, sistem penjajahan harus diakhiri. Atau dalam ungkapan
Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dengan kemerdekaan bangsa ini, nasionalisme politik tidak
berarti telah rampung dengan tugasnya. Sama sekali belum, karena untuk
mengisi kemerdekaan bangsa nasionalisme politik harus bergandengan tangan
dengan saudara kembarnya berupa nasionalisme ekonomi. Fasal 33 UUD 1945
(sebelum amendemen) dengan tepat memberi dasar konstitusional untuk
nasionalisme ekonomi ini. Di bawah Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial,
Pasal 33 itu memerintahkan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ironisnya, sila kelima Pancasila berupa: “Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” yang antara lain dijabarkan dengan rinci dalam
Pasal 33 itu tidak berjalan mulus setelah batang usia republik ini hampir
mendekati 72 tahun. Ini sebuah kelalaian konstitusional yang harus dikoreksi
secara berani dan tegas, jika kita memang ingin melihat bangsa ini
benar-benar merdeka 100%, sebuah ungkapan yang selalu diteriakkan Tan Malaka
di masa revolusi kemerdekaan. Nasionalisme ekonomi telah lama dibungkam oleh
perusahaan-perusahaan asing dengan modal hampir tanpa batas atas penguasaan
mereka di ranah perbankan, pertambangan, telekomunikasi, perkebunan, dan jangan
lupa di industri asuransi jiwa terutama.
Kita tengok selintas perusahaan asuransi. Tulisan Wan Ulfa
Nur Zuhra dalam medsos di bawah judul “Asing Mencengkram Industri Asuransi
Jiwa” (26 Juli 2016) membeberkan betapa dahsyatnya gurita asuransi asing itu
menguasai industri perasuransian Indonesia. Dikatakan bahwa dari total aset
asuransi jiwa senilai Rp. 368,5 triliun, sebesar 74,37% adalah milik asing,
seperti P.T. Prudential Life Assurance (barasal dari Inggris), P.T. AIA
Financial (Hong Kong), P.T. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Kanada), P.T.
Asuransi Allianz Life Indonesia (Jerman), dan berapa lagi milik bangsa-bangsa
Timur Jauh lainnya seperti P.T. Great Eastern Life Indonesia, P.T. Hanhwa
Life Insurance Indonesia, dan P.T. Tokio Marine Life Insurance.
Di sisi lain, ada dua perusahaan asuransi milik orang
Indonesia: P.T. Asuransi Jiwa Bumiasih dan P.T. Asuransi Jiwa Nusantara telah
dinyatakan pailit oleh pengadilan atas permintaan OJK (Otoritas Jasa
Keuangan). Akibatnya, yang menjadi korban adalah para pemegang polis yang
telah membayarkan premi sebelumnya menjadi hangus begitu saja. Kasus ini
telah semakin memperburuk citra perusahaan asuransi lokal, padahal asuransi
milik nasional itu masih ada yang bagus, seperti P.T. Asuransi Wahana Tata
dengan 70 kantor dan 1.200 karyawannya di seluruh Indonesia. Kemudian P.T.
Asuransi Bumi Putera 1912, industri asuransi tertua di Indonesia, nafasnya
sedang Senen-Kamis. Semoga pembenaan total yang sedang berjalan sekarang
terhadap asuransi ini akan bisa menyelamatkan perusahaan ini yang dulu adalah
ikon di dunia asuransi nasional.
Tidak berbeda dengan nasib asuransi nasional, dunia
perbankan, perkebunan, pertambangan, telekomunikasi, dan lain-lain juga telah
“tergadai” kepada pihak asing. Data dalam medsos dari tulisan Suardi dengan
judul “Aset Ekonomi Indonesia Dikuasai Asing” (15 Feb. 2016) memberikan
angka-angka di bawah ini sebagai bukti telanjang betapa imperialisme ekonomi
itu telah mencekik leher bangsa ini. Penguasaan asing atas industri perbankan
sudah berada pada angka 70%, pertambangan 85%, otomotif 99%, perkebunan 60%,
telekomunikasi 70%, jasa 70%, tanah 93% (konglomerat Indonesia plus asing),
minyak dan gas 88%.
Angka penguasaan tanah 93% itu adalah sebuah lampu merah
tanda bahaya serius, dibagi antara konglomerat Indonesia dan asing berbanding
menjadi 80%:13%. Lalu yang tersisa untuk rakyat Indonesia lain yang jumlahnya
lebih dari 250 juta hanya tinggal 7%. Saya tidak tahu persis apakah
angka-angka ini cukup valid, tetapi andaikan berbeda, selisihnya tidak akan
terlalu banyak.
Jika demikian realitas getirnya yang diawali sejak Orde
Baru (1966-1998) dan berlanjut sampai sekarang, maka pertanyaan panasnya
adalah: di mana Pancasila, di mana Fasal 33 UUD? Pertanyaan ini harus dijawab
segera oleh pemerintah JKW-JK dan elite Indonesia secara keseluruhan. Atau
kita harus siap-siap untuk menjadi bangsa kuli yang hina-dina di muka bumi,
tetapi sering dihibur dengan demo itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar