Gubernur
Jakarta '3 in 1'
Ardi Winangun ; Associate Researcher LP3ES
|
DETIKNEWS, 21 Juni 2017
Dilantiknya Plt Gubernur Jakarta, Djarot Saiful Hidayat
menjadi Gubernur Jakarta oleh Presiden Joko Widodo, 15 Juni 2017 membuat
daerah khusus ibu kota ini memiliki catatan sejarah baru dalam soal
kepemimpinan. Dalam periode 2012-2017, Jakarta memiliki tiga gubernur. Dalam
periode itu Jakarta pernah dipimpin oleh Joko Widodo, Basuki Tjahja Purnama
(Ahok), dan Djarot. Satu periode tiga gubernur menunjukan ada sesuatu yang
bisa kita pelajari dalam soal kepemimpinan.
Dalam Pilkada 2012, Joko Widodo mampu mengalahkan petahana
Fauzi Bowo. Sayang kemenangan yang mulus dan tak seheboh Pilkada selanjutnya,
2017 itu Joko Widodo mengundurkan diri karena ikut Pilpres 2014. Oleh karena
Joko Widodo menang dalam Pilpres maka dirinya digantikan oleh Wakil Gubernur
Ahok.
Dalam periode Ahok, pembangunan di Jakarta begitu dinamis
meski penuh dengan kegaduhan, seperti penggusuran dan ungkapan-ungkapan yang
menimbulkan polemik. Di tengah gencarnya pembangunan yang dilakukan dan
kontroversi sikapnya, Ahok tersandung masalah yang membuat dirinya dijatuhi
hukuman kurungan selama dua tahun. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
kembali peralihan kekuasaan dari gubernur ke wakil gubernur. Sebagai wakil
Ahok, maka Djarot-lah yang menggantikannya.
Sebagai daerah ibu kota, provinsi ini menjadi barometer
segala aktivitas di Indonesia. Ini bisa terjadi karena Jakarta juga menjadi
tempat segala aktivitas pemerintah pusat. Sepak terjang kepala daerah di
Jakarta akan disorot oleh media massa sama seperti media massa menyorot
presiden, menteri, wakil rakyat, dan ketua lembaga negara. Sorotan akan lebih
tajam bila aktivitas gubernur sangat dinamis.
Joko Widodo saat menjabat Gubernur Jakarta, sorotan media
massa begitu massif sebab dirinya gemar blusukan. Lain dengan Fauzi Bowo yang
gayanya biasa saja, maka sorotan dari media massa kurang. Ada sorotan hanya
bila terjadi kemacetan yang heboh, atau banjir yang datang melanda kawasan
Jakarta. Sorotan dari media massa inilah yang mampu menaikkan atau menurunkan
seseorang.
Apa yang dilakukan Joko Widodo, dengan blusukan, merupakan
hal yang positif dan baru sehingga mendongkrak popularitas dirinya.
Popularitas yang sudah ditabung sejak ia menjadi Walikota Solo itu semakin
bertambah ketika menjadi Gubernur Jakarta. Tabungannya itulah yang membuat
dirinya mampu mengalahkan Prabowo dalam Pilpres 2014 meski yang mendorong
dirinya menjadi gubernur adalah Prabowo.
Sebaliknya, sorotan dari media sosial kepada Ahok membuat
dirinya terpuruk. Meski di awal-awal disebut ia memiliki elektabilitas yang
tak tertandingi, namun karena penuh kontroversi dan selanjutnya disikapi oleh
masyarakat lewat media sosial, membuat dirinya terpuruk. Ia tidak hanya kalah
dalam Pilkada, namun juga dijatuhi hukuman penjara atas kasus yang
menimpanya.
Dalam masa sisa pemerintahan periode 2012-2017, di bawah
pimpinan Djarot, sepertinya akan selesai dengan selamat dan pada waktunya.
Ini bukan karena sisa waktunya tinggal 4 bulan, namun gaya kepemimpinan
Djarot yang lebih adem dibanding dengan Ahok. Sebagai orang yang pernah
menjadi Walikota Blitar selama dua periode, Djarot mampu menjadi kepala
daerah yang bisa berkomunikasi dengan warganya dengan baik. Selama di Blitar
tak ada kontroversi pada dirinya.
Dengan melihat paparan di atas, naik dan turunnya Gubernur
Jakarta bisa terjadi karena perilaku. Perilaku yang baik tidak hanya mampu
menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat, namun juga bisa mendongkrak
elektabilitas serta popularitas. Pun demikian sebaliknya, perilaku yang
negatif mampu menjatuhkan posisi pemimpin meski disebut sukses melakukan
pembangunan.
Dari sinilah gubernur dan wakil gubernur terpilih, Anis
Baswedan dan Sandiaga Uno, bisa belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.
Pasangan ini selain harus mampu membangun Jakarta sesuai harapan masyarakat
dan memenuhi banyak janjinya yang pernah dikumandangkan saat kampanye Pilkada
2017, juga harus mampu menjaga sikap, etika, dan perilaku keseharian.
Era keterbukaan dan kebablasannya dalam mengungkapkan
pendapat membuat orang yang melakukan kesalahan sekecil apapun akan bisa
menjadi masalah. Orang salah mengucapkan kalimat atau salah dalam tata cara
minum saja akan bisa membuat dirinya dicap sebagai orang yang tidak paham
atau tak tahu aturan.
Kesan yang buruk itu akan semakin menguat pada ingatan
masyarakat ketika berita, foto, video, dan meme yang ada diunggah di media
sosial dan diviralkan. Bila sudah menyebar di berbagai tempat, maka citra
yang baik akan runtuh. Kesuksean yang sudah dilakukan menjadi hambar.
Pemimpin Jakarta terpilih atau kepala daerah di mana pun
yang tidak belajar dari pengalaman '3 in 1' di DKI, bisa jatuh di tengah
jalan atau tidak terpilih kembali dalam pilkada selanjutnya bila melakukan
kesalahan akibat ulahnya sendiri. Untuk itu keseriusan dan ketegasan dalam
menjalankan roda pemerintahan harus diimbangi sikap, etika, dan tutur kata
yang pada tempatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar