Sekolah
untuk Siapa?
Muhammad Ruslan ; Penulis dan Pemerhati Pendidikan
|
DETIKNEWS, 20 Juni 2017
Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud No.23 Tahun
2017 di tengah pro-kontra yang tak usai. Peraturan itu dimaksudkan untuk
mengatur secara teknis pelaksanaan sekolah 8 jam sehari 5 hari seminggu, atau
lazim dikenal dengan istilah Full Day School (FDS). Namun, sebelum peraturan
itu dilaksanakan, penolakan terhadapnya terus menggelinding.
Penolakan datang tidak hanya dari kota-kota besar, tapi
juga dari masyarakat di banyak daerah. Hingga akhirnya, Presiden Jokowi
menyatakan akan mengkaji ulang rencana tersebut.
Kita tentu saja memang tidak ingin melihat praktik
anti-aspirasi ditunjukkan oleh Menteri Pendidikan kita. Mengingat (dalam
pengamatan saya), jumlah penolakan terhadap ide FDS tersebut jauh lebih
banyak ketimbang mereka yang bersepakat. Sebagai Menteri Pendidikan sungguh
tak elegan memperlihatkan sikap anti-demokrasi dengan mengabaikan suara
masyarakat.
Dialog
Hampir di setiap perkara kebijakan publik, para pemangku
kebijakan selalu mengulang kebiasaan buruk yang sama yang selalu menjadi sumber
persoalan nantinya. Yakni, dilahirkannya kebijakan publik tanpa melalui
dialog terlebih dahulu. Padahal esensi dari setiap kebijakan yang terpaut
dengan publik, semestinya melibatkan publik itu sendiri untuk ikut menentukan
apa yang baik dan apa yang perlu. Bukan mengandalkan imajinasi satu orang
yang dijadikan satu-satunya sumber keputusan.
Melihat rentang histori ide FDS, kita melihat hal itu.
Hanya menjelang beberapa hari setelah pelantikan menteri baru (hasil
resuffle), tanpa ada proses dialog terlebih dahulu, kita sudah disodori
dengan ide tersebut. Seolah-olah terkesan bahwa ide itu adalah produk instan
dari ketiadaan kesiapan yang memadai. Yang penting baru, dengan prinsip
"menteri baru kebijakan baru", agar terlihat berbeda; yang akhirnya,
mengabaikan hal-hal substansial.
Dibanding dengan FDS, saya rasa ada banyak persoalan lain
di bidang pendidikan saat ini yang menuntut reformasi kebijakan yang mestinya
diprioritaskan. Ketidakdalaman asumsi atau pemahaman terhadap apa yang mesti
diprioritaskan sebenarnya berpangkal pada keengganan pemangku kebijakan untuk
memulai proses perumusan kebijakan publik dengan dialog.
Kepada Paulo Freire kita boleh belajar. Dia seorang
aktivis pendidikan Brazil yang kemudian diangkat menjadi Sekretaris
Pendidikan Nasional di negeri itu pada 1986. Apa yang dilakukan pertama kali
oleh Freire ketika kekuasaan itu berada di tangannya? Dialog! Dialog sebagai
awal mula untuk merumuskan kebijakan publik.
Ia berkeliling, bukan sekadar datang secara seremoni untuk
menggunting pita-pita acara lalu pergi. Tidak pula ia datang sebagai
supervisi; datang untuk mencari kesalahan lalu menunjukkan ke hadapan publik
guna meraih popularitas. Tidak. Ia datang sebagai seorang peneliti untuk
berdialog, berdiskusi, serta ingin memahami sudut pandang masyarakat tentang
pendidikan, yang nantinya ia serap dalam bentuk kebijakan.
Menariknya, subjek yang diajak berdialog oleh Freire, di
tingkat internal bukan hanya pengawas sekolah, kepala sekolah, dan orangtua
murid. Melainkan, bahkan siswa hingga petugas-petugas kantin dan kebersihan
pun diajak berdialog.
Di tingkat eksternal pun demikian. Freire sangat
memprioritaskan berdialog dengan gerakan-gerakan akar rumput di setiap daerah
yang bergerak di bidang pendidikan untuk memahami ide-ide mereka tentang
persoalan pendidikan dan model-model pendidikan yang ideal dari sudut pandang
aktivis. Melibatkan publik dalam merumuskan gagasan adalah kuncinya.
Kalau saja sebelum ditelurkannya kebijakan "full day
school" dilakukan dialog, saya yakin kekisruhan tidak bakal terjadi.
Bahkan mungkin sebaliknya, pemangku kebijakan bisa menemukan prioritas
persoalan-persoalan fundamental yang mendesak yang mesti diselesaikan di
tingkat sekolahan.
Untuk Siapa?
Kita menyambut baik bahwa rencana kebijakan FDS akhirnya
dipertimbangkan ulang untuk diterapkan dengan memperhatikan secara cermat
aspirasi dan kritik-kritik yang lahir dari kalangan publik. Ada kesan yang
sangat kuat bahwa ide FDS sangat mengabaikan kepentingan siswa. Tampak bahwa
yang paling dirugikan dari kebijakan itu adalah siswa.
Sejak awal ide ini diperkenalkan, alasan yang dijadikan
back up argumen hanya berkutat pada alasan orangtua (pekerja kantoran) sedang
bekerja. Karena itu FDS praktis bisa menjadikan juga sekolah sebagai tempat
penitipan anak sementara hingga orangtua yang segmennya pekerja kantoran itu
pulang kerja.
Begitupun alasan lain, yang kemudian diutarakan menjelang
dikeluarkannya aturan tersebut, adalah dari sudut pandang keberadaan guru.
Sekolah 5 hari sebenarnya ingin menyasar guru-guru yang sudah bersertifikasi
atau yang mendapat tunjangan profesi, agar lebih lama melakukan pengajaran di
sekolah dengan menetapkan batas minimal mengajar dalam seminggu sebanyak 40
jam
Tentu saja alasan-alasan itu benar-benar menegaskan bahwa
kebijakan tersebut tidak digagas dari sudut pandang kepentingan siswa. Tapi,
hanya mentok pada kepentingan pemerintah yang di-framing dari sudut pandang
kepentingan guru dan orangtua. Di sinilah persoalan utamanya; pengabaian
kepentingan siswa dalam konteks ini adalah bentuk cacat pikir yang paling
dasar.
Praktis kita paham bahwa siswalah yang menjadi stakeholder
paling sentral dalam dunia persekolahan. Merekalah yang paling utama dan
pertama yang akan merasakan dampak dari kebijakan pendidikan.
Dengan kecakapan pedagogi guru kita yang masih rendah
hingga saat ini, ditambah jam sekolah yang terlalu lama, apa yang akan
dihasilkan? Alih-alih ingin menghasilkan lulusan yang penuh keajaiban, paling
dekat adalah depresi dan stres yang menghantui siswa.
Memang dikatakan bahwa waktu yang ada tidak mesti
dihabiskan dalam ruang kelas; bisa dalam bentuk ekstrakurikuler. Namun, tetap
saja bahwa ekstrakurikuler maupun intrakurikuler tidak bisa dipisahkan dari
kecakapan pedagogis itu sendiri. Pertanyaannya, sudahkah kita memiliki
kecakapan pedagogi yang membebaskan itu di kalangan guru?
Ada banyak hal yang dibentur dari kebijakan FDS, dari
meningkatnya beban kerja guru yang nantinya juga berpengaruh pada anak,
hingga direnggutnya waktu bermain anak dengan lingkungannya (khususnya untuk
anak bukan dari kalangan keluarga pekerja kantoran). Praktis bahwa ini hanya
akan berakhir pada anak yang akan menjadi korban kebijakan pendidikan yang
tak berpihak pada mereka. Lantas sekolah sebenarnya untuk siapa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar