Ngaca,
Dong!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 22 Juni 2017
KPK memang keren. Ancaman DPR tak membuat KPK gentar. KPK
justru membuktikan keseriusan mengemban amanat bangsa dan negara: memberantas
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebulan ini, KPK getol menggelar operasi
tangkap tangan. Pimpinan dan anggota pimpinan DPRD ditangkapi. OTT terbaru
adalah Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti; istrinya, Lily Martiani Maddari; dan
tiga orang lainnya.
Masih ragu dengan kinerja KPK? Jangan-jangan cuma DPR yang
tak suka dengan sepak terjang KPK. DPR cuek saja ketika suara-suara nyaring
menolak langkah DPR. Panitia Angket KPK pun disahkan terburu-buru. DPR jalan
sendiri. Inilah yang membuat DPR tidak sejalan dengan rakyat, pemilik
kedaulatan sesungguhnya. Masih pantaskah disebut wakil rakyat?
DPR memang lembaga politik. Namun, politisasi kasus hukum
yang ditangani KPK pun kelihatan sekali. Nyaris tiada yang percaya Panitia
Angket KPK akan memperkuat lembaga antirasuah itu. KPK pun menolak
menghadirkan Miryam S Haryani, politikus Partai Hanura yang ditahan KPK.
Polisi juga membaca siasat DPR yang dianggap langkah politik, bukan langkah
hukum. Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian pun enggan menuruti DPR untuk
menjemput paksa Miryam.
Anehnya, DPR tambah marah. Misbakhun, anggota DPR dari
Partai Golkar, malah mengancam membekukan anggaran Polri dan KPK. Kata orang
bijak, sih, jangan gunakan amarah untuk memutuskan perkara publik. Ini persoalan
bangsa, bukan soal kepentingan orang per orang! Apalagi, tanggung jawab Polri
banyak sekali untuk menjaga ketertiban dan keamanan negeri ini, termasuk
anggota DPR yang berjumlah 560 orang itu. Jika nanti mendapat reaksi keras
dari anggota Polri yang jumlahnya 430.000 personel, jangan cengeng, ya!
Kalau seperti ini, jadi percaya omongan George Carlin
(1937-2008), seorang aktor, komedian, penulis. "Lupakan para politikus.
Mereka memang membebaskan kita untuk punya pilihan. Tetapi, kita tak punya
pilihan.... Mereka punya segala- nya. Mereka menghabiskan uang untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Mereka menginginkan lebih banyak untuk diri
sendiri, tetapi sedikit saja untuk orang lain," kata Carlin.
Hampir dua dekade, demokrasi makin rapuh. Ancam-mengancam
memperkuat watak politikus, seperti dilukiskan Machiavelli (1531): singa dan
rubah. Sama-sama buas. Sama-sama hidup berkomplot. Jika ada anggota terancam,
kawan-kawannya langsung membela. Zaman sudah "reformasi", tetapi
watak tak berubah. "Kekuasaan di tangan para reformis tidak kalah
merusak dibandingkan di tangan penindas," kata Derrick Bell (1930-2011),
Guru Besar Hukum Harvard Law School.
Dan, Survei Global Corruption Barometer menempatkan DPR
sebagai lembaga paling korup di Indonesia pada 2016. Ngaca, dong! Dulu, ada
pedagang cermin di depan gedung parlemen di sisi Jalan Gatot Subroto, di
Senayan. Ah, di mana mereka sekarang, ya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar