Media
Berita dan Kontraterorisme
SH Sarundajang ; Anggota Dewan Pers
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2017
AKSI terorisme masih menjadi tantangan
besar bagi komunitas dunia hingga saat ini. Sejak awal Januari hingga awal
Juni 2017, setidaknya ada sembilan peristiwa serangan teroris mematikan yang
terjadi secara beruntun di negara-negara seperti Inggris, Turki, Rusia,
Swedia, Australia, Filipina, dan Indonesia. Serangan bom di Kampung Melayu,
Jakarta, beberapa waktu lalu, menunjukkan Indonesia masih menghadapi ancaman
serius terorisme didukung dengan fakta terdapatnya ‘sel-sel tidur’ IS,
seperti diungkapkan Panglima TNI. Selain itu pula, letak geografis beberapa
wilayah di Indonesia, misalnya Sulawesi Utara, sangat dekat dengan negara
Filipina sebagai negara dengan aktivitas ekstremis yang tinggi. Terutama di
wilayah Mindanao, Basilan, Jolo, dan pulau-pulau sekitarnya yang telah
diwaspadai TNI, Polri, Kemenko Polhukam, dan berbagai pihak terkait, terhadap
potensi penyusupan dan penyebaran kelompok Maute maupun kelompok teroris lain
yang mendukung IS setelah peristiwa di Marawi pada Mei 2017 lalu.
Pemerintah Filipina dipandang terlambat
dalam mengantisipasi serangan kelompok Maute, demikian juga membutuhkan waktu
yang cukup lama bagi pihak keamanan untuk mengendalikan situasi, bahkan
korban yang meninggal dunia kurang lebih 100 orang. Nyawa manusia seakan
tidak berharga lagi dan direnggut secara paksa oleh tindakan pengecut dan
tanpa ampun. Kita semua sepakat bahwa semua aksi terorisme dengan berbagai
alasan harus segera dihentikan. Karena itu, setiap negara di dunia harus
bekerja sama menghadapi musuh bersama ini. Demikian pula dengan media sangat
diharapkan untuk berperan aktif dalam perang terhadap terorisme karena
memiliki keterkaitan erat. Secara khusus media pemberitaan yang akan saya
paparkan pada kesempatan ini.
Terorisme dan perang melawan terorisme
adalah elemen utama dalam perpolitikan baik domestik maupun internasional,
yang secara nyata media berada di posisi garis depan. Setiap tindakan
terorisme baik berskala besar maupun kecil akan memberikan dampak pada
peliputan berita yang tak terelakkan oleh media massa. Media
kontemporer/modern sangat mendambakan bahan cerita yang ideal dan menarik
hati bagi manusia berupa drama, syok, tragedi, dan dukacita. Akibatnya,
teroris mendapatkan kebutuhan utamanya yaitu publisitas besar dan kesempatan
menunjukkan kemampuan mereka menyerang bahkan kepada negara atau bangsa
terkuat sekalipun.
Sementara itu, bahan cerita tersebut
memberikan energi kepada media untuk berkompetisi dalam meraih ukuran audiens
dan sirkulasi yang lebih besar karena berita itu. Dengan demikian, terorisme
dan media terjadi hubungan simbiosis dengan saling memberi 'makan' satu
dengan lainnya. Bahkan lebih daripada itu, mantan Perdana Menteri Inggris
Margaret Thatcher pernah mengatakan bahwa media adalah 'oksigen terorisme'.
Selanjutnya, tuduhan juga yang mengungkapkan bahwa media menjadi 'megafon' terorisme
untuk menarik perhatian khalayak menjadi bahan perdebatan karena pemberitaan
yang berlebihan.
Pada abad ke-19, para pelaku anarkistis
menjelaskan kekerasan mereka sebagai 'propaganda of the deeds', melakukan
pernyataan kepada publik dengan tindakan kekerasan pada masa jauh sebelum
Gutenberg menemukan mesin cetak. Di era itu, pelaku teror yakin bahwa dengan
menyerang tempat-tempat kerumunan akan ada banyak sekali saksi mata yang
menyebarkan berita kepada keluarga, teman, dan kenalan mereka.
Namun, seiring dengan perkembangan
teknologi sekarang ini, munculnya teknologi komunikasi terbaru juga akan
meningkatkan kemampuan para teroris mengeksploitasi perkembangan industri
pemberitaan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Para pelaku teror tidak
hanya bergantung pada 'penjaga gerbang' media tradisional (koran, majalah
berita, radio, dan televisi) saja, tetapi juga meningkatkan kemampuannya
dalam menggunakan instrumen-instrumen penting propaganda lainnya seperti
penggunaan mesin cetak dan fotokopi, radio komunikasi, telepon satelit, DVD,
video games, musik populer, novel, kanal televisi sendiri, hingga media
sosial dan internet.
Tujuan teroris pada akhirnya adalah politik
meskipun memberikan kesan tindakan mereka sebagai motivasi religius. Apa pun
tujuan akhir mereka, para teroris tahu bahwa publisitas dan propaganda
diperlukan untuk tujuan mereka yang lebih besar. Jadi, ketika teroris
menyerang atau mengancam melakukan kekerasan, mereka memiliki tujuan yang
bergantung pada media karena beberapa alasan berikut. Pertama, teroris
menginginkan kesadaran audiens yang berada di dalam maupun di luar masyarakat
yang menjadi sasaran tujuan mereka sehingga target intimidasi mereka akan
terpenuhi.
Kedua, teroris menginginkan apa yang mereka
lakukan diketahui masyarakat. Mereka ingin orang bertanya, mengapa membenci
kita? Mengapa mereka menyerang warga sipil yang tidak berdosa? Ketiga,
teroris menginginkan rasa hormat dan simpati dari orang-orang yang tertarik
dengan tindakan yang dilakukannya. Keempat, teroris menginginkan status
menguasai secara sah dan menerima perlakuan yang sama dari media atau serupa
dengan apa yang diterima aktor-aktor politik lainnya.
Dengan memperhatikan tujuan-tujuan
tersebut, muncul pertanyaan sejauh mana perluasan liputan berita dapat
menepis semua tujuan tersebut di atas? Bagi teroris, mendapat perhatian dari
media berita, publik, dan otoritas pemerintah tidaklah cukup. Mereka biasanya
berniat memublikasikan alasan politik mereka dan bergantung pada media massa
untuk menjelaskan dan mendiskusikan alasan mereka untuk beralih ke kekerasan.
Pelaku terorisme tidak perlu melakukan penjelasan sendiri, medialah yang akan
melakukannya untuk mereka.
Di negara-negara yang berdemokrasi liberal
dengan populasi masyarakatnya yang besar dan majemuk, kebanyakan perpolitikan
modernnya akan bergantung pada komunikasi yang termediasi secara massal
karena interaksi pribadi secara langsung antara warga masyarakat dan pejabat
pemerintah sudah terbuka dan tanpa batasan-batasan lagi. Dengan demikian, komunikasi
politik sebagian besar yang terjadi di dalamnya membentuk segitiga komunikasi
politik. Media massa, publik, dan pemerintah membentuk tiga sudut. Media
sebagai gatekeepers (penjaga gerbang) tidak hanya mengendalikan akses
terhadap berita, tapi juga akses informasi ke masyarakat umum dan kepada
pejabat pemerintah. Namun, ketika para ekstremis menggunakan kekerasan
politik--terorisme dengan kata lainnya--gerbang media terbuka untuk
propaganda of the deed dan menyebarkan pesan-pesan teror ke kedua sudut lainnya,
yaitu khalayak umum dan para pejabat pemerintahan.
Pemerintah juga memanfaatkan bentuk
komunikasi massal ini.
Memang, untuk masuk segitiga komunikasi
itu, teroris harus menggunakan kekerasan atau membuat ancaman nyata yang
dapat dipercaya media sebagai penjaga gerbang, sedangkan pemerintah tidak
harus melepaskan kekerasan untuk mendapatkan akses tersebut karena pemerintah
merupakan bagian dari satu sudut segitiga komunikasi tersebut. Karena kuatnya
sumber informasi dari pemerintah, terjadilah kecenderungan dalam mendominasi
pelaporan mengenai kebijakan keamanan baik dalam maupun luar negeri--terutama
bila ini melibatkan konflik militer atau kemungkinan penempatan militer di
suatu wilayah.
Di Amerika Serikat, misalnya, sumber berita
dominan ini biasanya berada di Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, dan
Pentagon. Masyarakat sebagai satu sudut lainnya dari segitiga politik tak
lepas dari peranan vitalnya. Masyarakat merupakan intelijen yang secara alami
dapat menyediakan sumber informasi penting terkait dengan potensi terorisme
di lingkungannya sehingga dapat berfungsi sebagai peringatan dini kepada
pemerintah.
Dalam melaksanakan peliputan terorisme,
sangatlah dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang kontraterorisme.
Sejumlah institusi, kementerian, layanan, dan unit terlibat dalam hal ini
dengan suatu misi yang dijalankan dan memperoleh hak istimewa dalam
pelaksanaannya. Kontraterorisme menyiratkan banyak spesialisasi dan teknik
surveilans serta intervensi yang canggih.
Hal ini juga melibatkan segenap kekuatan
baik eksekutif dan yudikatif, tapi juga legislatif, dengan pembentukan komite
intelijen dan keamanan dalam parlemen serta komisi penyelidikan khusus.
Upaya-upaya untuk membangun kerja sama kontraterorisme secara internasional
adalah sangat kompleks dengan keterlibatan badan dunia serta
institusi-institusi dunia lainnya yang sangat jarang dan lemah membahas
masalah tersebut.
Berpikir secara global sangat penting dalam
perang melawan terorisme. Ini bukan hanya masalah kemanusiaan dan efektifitas,
melainkan juga soal kualitas jurnalistik. Dilema dan tantangan sangatlah
jelas bahwa masyarakat berharap media memberikan informasi semaksimal mungkin
tanpa berlebihan atau mengarah pada sensasionalisme. Pihak berwenang menuntut
pengekangan dengan mengukur risiko cakupan yang berlebihan untuk integritas
operasi atau menjaga ketenteraman masyarakat.
Penting untuk diingat bahwa terorisme
bukanlah fenomena baru. Banyak negara telah menderita selama puluhan tahun
dari kelompok-kelompok tersebut, baik internal maupun eksternal. Termasuk
aktor negara dan nonnegara, yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil
sebagai strategi politik. Dalam banyak kasus, penduduk lokal menjadi lebih
kuat dan lebih tangguh, serta membuktikan bahwa kebrutalan tidak cocok dalam
jangka panjang untuk kemajuan persatuan dan nilai-nilai kebersamaan.
Dalam konteks ini, media sangat penting
dalam memberikan informasi yang dapat diverifikasi serta opini-opini
konstruktif selama menghadapi situasi krisis yang menegangkan. Sementara itu,
masyarakat dalam keadaan emosi yang menyala-nyala sehingga peranan media
menjadi semakin penting. Risiko sebenarnya dari terorisme ialah ketakutan dan
kecurigaan akan mendorong gelombang baru nasionalisme dan populisme, dan
bahwa kebebasan yang diperoleh dengan kerja keras pada akhirnya harus
dikorbankan. Ini bukanlah sebuah serangan terhadap satu bangsa, melainkan
menyerang kita semua sebagai warga global.
Di masa-masa sulit ini, dengan masyarakat
yang terfragmentasi dan banyak organisasi media menghadapi tantangan keuangan
yang parah, para jurnalis harus menahan keinginan untuk mengetahui hal-hal
yang menarik mata, telinga, maupun ‘panggilan’ ketukan keyboard. Para
jurnalis harus menjaga perspektif global dan menghindari spekulasi serta
memperhatikan kata-kata yang mereka gunakan, contoh yang mereka kutip, serta
gambar yang mereka tampilkan.
Dengan tidak mengesampingkan bahwa
permintaan akan informasi adalah penting bagi masyarakat, para jurnalis harus
mempertimbangkan dengan cermat fakta bahwa ada sesuatu yang melekat dalam
terorisme dengan tindakan kekerasan telah menimbulkan rasa takut berlebihan
pada banyak hal. Para pemilik serta pengelola organisasi atau bisnis media
hendaknya memastikan mereka tidak menempatkan diri beserta para staf
jurnalisnya dalam bahaya untuk mengejar bahan berita. Pada akhirnya yang
terutama dan paling penting, harus menghindari tersebarnya isu-isu kebencian
dan radikalisasi dalam masyarakat seperti yang menjadi tantangan di Indonesia
saat ini.
Satu dari empat pemikiran yang diungkapkan
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada acara Konferensi Tingkat Tinggi
Arab Islam-Amerika, di Riyadh, Arab Saudi, pada 21 Mei 2017, bahwa 'semua
pihak harus berani menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah
dalam upaya pemberantasan terorisme. Setiap dari kita harus dapat menjadi
bagian upaya penciptaan perdamaian dunia'.
Jadi pada akhirnya, faktor utama
tercapainya keberhasilan strategi pelaksanaan kontraterorisme ialah kerja
sama semua pihak baik masyarakat, pemerintah, maupun media. Dengan memahami
sentralitas media dan teknologi komunikasi yang merupakan aspek penting dalam
kontraterorisme, media berita sebagai gatekeepers memiliki tanggung jawab
khusus untuk menerapkan pengaruhnya secara hati-hati dengan dipandu standar
jurnalistik tertinggi.
Raja media yang terkenal Rupert Murdoch
pernah menyampaikan, "Great journalism will always attract readers. The
words, pictures and graphics that are the stuff of journalism have to be
brilliantly packaged; they must feed the mind and move the heart."
Artinya, jurnalisme yang hebat akan selalu menarik para pembacanya.
Perkataan, gambar, dan grafis adalah perangkat jurnalisme yang harus secara
cerdas dikemas; perangkat tersebut harus mengisi pikiran dan menggugah hati.
Meskipun terorisme dan kekerasan
ekstremisme adalah kemungkinan masalah yang masih akan menyertai kita untuk
beberapa masa ke depan, jika kita bisa bekerja sama untuk mengurangi retorika
eksplosif, liputan berlebih, dan stigmatisasi kelompok minoritas, mungkin
sebagian ‘insentif’ untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil akan
hilang bersamaan dengan hal-hal tersebut. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar