Psikologi
Idul Fitri
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah
dan UMJ
|
KORAN
SINDO, 23 Juni 2017
IDUL Fitri merupakan perayaan keagamaan yang sarat dengan
dimensi ketuhanan dan kemanusiaan bagi muslim yang sukses menyelesaikan
ibadah Ramadan. Secara psikologis, Idul Fitri bukan sekadar “wisuda
kelulusan” pendidikan Ramadan, tetapi merupakan manifestasi teologis atas
kesucian asal usul jati diri (fitrah) manusia yang bertauhid, mencintai
Tuhan, dan mencintai kemanusiaan. Karena itu, sebelum mengakhiri ibadah
Ramadan dan melaksanakan salat Idul Fitri, setiap muslim yang mampu harus
membayar zakat fitrah sebagai manifestasi dari kepedulian sosial dan spirit
berbagi kebahagiaan kepada fakir miskin.
Penunaian zakat fitrah dan zakat harta (zakat mal) bagi
yang berpuasa juga merupakan bentuk penyucian diri dari sifat kikir, bakhil,
dan asosial serta sterilisasi harta kekayaan dari yang bukan menjadi haknya.
Dalam Islam, harta kekayaan itu adalah titipan Tuhan (amanah) yang
sebagiannya merupakan hak bagi para penerima zakat (mustahik).
Perayaan Idul Fitri, secara psikologis, tentu sangat
dirindukan umat Islam di seluruh penjuru dunia karena momentum ini sarat
makna serta nuansa spiritual dan sosial. Setidaknya terdapat tiga dimensi
psikologi Idul Fitri, yaitu kemenangan, kebahagiaan, dan kerukunan, yang
sangat penting dimaknai dan disyukuri dalam rangka meraih derajat ketakwaan
dan merajut silaturahmi keumatan dan kebangsaan.
Psikologi Kemenangan
Idul Fitri sarat dengan spirit kemenangan dalam
mengendalikan hawa nafsu dan memerdekakan diri dari syahwat perut dan di
bawah perut, nafsu serakah, godaan setan, dan sebagainya. Menurut Imam
Al-Ghazali, pendidikan Ramadan menjadi proses transformasi muslim dari
manusia yang berwatak sebagai budak nafsu (abdulhawa) menjadi hamba Allah
(abdullah) yang bertakwa: beriman, berilmu, dan beramal saleh.
Kemenangan atas “penjajahan hawa nafsu” ini merupakan
modal utama menjadi manusia yang “berlebaran” dalam arti memperoleh ampunan
dari Allah atas segala kesalahan dan dosa-dosa masa lalu. “Lebaran”
kemenangan atas hawa nafsu dan godaan setan meneguhkan spirit “manusia baru”
yang berkomitmen untuk menjadi hamba Tuhan yang lebih bertakwa dan berakhlak
mulia. Psikologi Lebaran meniscayakan peleburan aneka karakter kebinatangan
untuk ditransformasi menjadi karakter dan nilai ketuhanan dengan meneladani
sifat-sifat Allah dalam asmaul husna-Nya.
Jika selama Ramadan hamba senantiasa meminta maaf kepada
Allah, di hari Idul Fitri dan seterusnya harus menjadi pemaaf. Jika selama
Ramadan senantiasa memohon rahmat atau kasih sayang Allah, di hari Idul
Fitri dan seterusnya harus berkomitmen menjadi penyayang, bersikap welas
asih, bermurah hati, dan sebagainya. Jadi Idul Fitri idealnya membentuk jiwa
pemenang, bukan pecundang, terutama terhadap perjuangan melawan hawa nafsu
dan godaan setan yang dihabituasi melalui puasa.
Psikologi Kebahagiaan
Psikologi Idul Fitri sarat dengan nuansa “pulang atau
mudik”. Semua siswa ketika mendekati jam pulang sekolah pada umumnya
bergembira. Suasana pulang kampung halaman adalah cerminan orang yang
merindukan “asal-usul” kelahiran, mendambakan bertemu, bersilaturahmi, dan
bercengkerama dengan keluarga. Psikologi Idul Fitri menjadi magnet sosial
untuk melepas rindu, mengenang asal-usul primordial, meneguhkan spirit
berbagi, dan saling mengohesifkan kebersamaan dan kekeluargaan sosial
meskipun harus dilalui dengan perjuangan melelahkan karena kemacetan lalu
lintas dan “ongkos finansial” yang tidak sedikit.
Selain itu psikologi Idul Fitri merupakan momentum
kesadaran mental kolektif umat Islam untuk “pulang kembali” menuju fitrahnya
yang mencintai Allah dan mencintai sesama manusia. Ketika Idul Fitri
dirayakan, takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil dikumandangkan sebagai tanda
syukur dan peneladanan sifat-sifat ketuhanan yang mencerminkan kekayaan jiwa
yang rendah hati, tidak sombong, empati, dan senantiasa mengingat Allah (QS
al-Baqarah [2]: 185).
Jadi Idul Fitri harus dimaknai sebagai jalan kemenangan
mental spiritual yang mengantarkan pada harmoni, kedamaian hati, dan
kebahagiaan sejati. Oleh sebab itu, mulai 1 Syawal (berarti: peningkatan)
lulusan sekolah Ramadan idealnya mampu menindaklanjuti kedekatan vertikal
(dengan Allah) dengan kedekatan horizontal (dengan sesama) dalam bentuk amal
saleh, akhlak terpuji, antinarkoba dan miras, antikorupsi, antikekerasan,
antiterorisme, dan sebagainya.
Sebaliknya wisudawan Ramadan harus memperlihatkan sikap
dan perilaku yang penuh keadaban, perdamaian, persaudaraan, toleransi,
kebersamaan, dan persamaan. Itulah esensi makna kembali ke fitrah sosial
kemanusiaan dan kebangsaan yang pada gilirannya dapat membuahkan kebahagiaan bersama.
Pesan moral dari psikologi Idul Fitri lainnya adalah penyadaran manusia
terhadap pentingnya kembali pada jati diri eksistensialnya yang paling asasi,
yaitu sebagai makhluk sosial religius yang setia memperjuangkan dan membela
nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keadilan (QS Ar-Rum [30]: 30).
Salah satu bentuk komitmen dan aktualisasi nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran adalah mengembangkan hubungan cinta kasih terhadap
sesama, baik melalui “mudik fisik”: pulang kampung untuk bersilaturahmi,
bermaaf-maafan, dan berbagi maupun “mudik mental spiritual”: memulangkan
kesucian hati dan pikiran menuju persaudaraan sejati, kerukunan,
kekeluargaan, kebersamaan dan persatuan kebangsaan.
Meski tidak cukup hanya pada Hari Raya Idul Fitri, merajut
silaturahmi dan saling memaafkan dengan sesama merupakan suasana psikologis
yang tidak hanya mendamaikan hati, tetapi juga sarat dengan aktualisasi nilai
sosial kultural dan nasionalisme sebagai bangsa yang plural dan
multikultural. Idul Fitri di Tanah Air terbukti merupakan budaya bangsa
berbasis agama yang mampu menyatukan dan mempersaudarakan keluarga besar
Indonesia. Mudik nasional juga menjadi faktor psikologis yang mampu
menggerakkan mobilitas sosial ekonomi yang berdampak positif bagi
pembangunan nasional.
Psikologi Kerukunan
Psikologi Idul Fitri menyadarkan pentingnya “mudik sosial
kultural” dengan mengintensifkan komunikasi sosial (silaturahmi) dalam bentuk
saling mengucapkan selamat, saling memohon maaf, saling berbagi, saling
menyayangi, dan saling menghargai. Silaturahmi memang merupakan langkah
strategis dan efektif untuk mewujudkan harmoni sosial dan kerukunan nasional.
Karena silaturahmi itu idealnya harus dimaknai sebagai
transformasi sosial, bukan sekadar bertemu kangen, bersambung rasa, tapi juga
harus membuahkan agenda perubahan dan program-program bersama demi
peningkatan dan perbaikan masa depan sesuai dengan nilai-nilai moral yang
diwariskan oleh pendidikan Ramadan. Dengan demikian, psikologi Idul Fitri
harus dimaknai sebagai kerukunan sosial dan nasional dalam rangka
memerdekakan diri dari segala penyakit hati yang tercela dan korup serta
memerdekakan bangsa ini dari segala bentuk mafia, persekongkolan jahat, dan
intervensi asing yang sarat dengan kepentingan liberalisme dan kapitalisme global.
Psikologi kerukunan esensinya adalah sikap dan komitmen
bersama untuk memerdekakan diri dari segala penyakit hati dan bebas dari
segala bentuk intervensi serta hegemoni asing dengan memperkuat ketahanan
nasional dalam berbagai bidang. Fakta menunjukkan bahwa melalui budaya mudik
dalam rangka Idul Fitri, transformasi dan distribusi sosial ekonomi menjadi
sangat dinamis dan merata ke seluruh wilayah Nusantara.
Karena itu lulusan Ramadan yang telah sukses meraih
kemenangan dalam melawan hawa nafsu dan sifat-sifat buruk sudah semestinya
mampu berperan konstruktif dan beristikamah mempertahankan fitrah
kemanusiaannya yang suci dan luhur, fitrah yang mencintai dan mewujudkan
nilai-nilai kemanusiaan: kejujuran, kebenaran, kedamaian, kebersamaan,
kearifan, toleransi, kerukunan dan keadilan sosial bagi semua dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Ramadan dengan totalitas puasa yang dijalaninya
(puasa perut, puasa pancaindra, puasa anggota badan, puasa hati, dan puasa
pikiran dari hal-hal negatif) harus membuahkan integritas dan mentalitas
manusia bertakwa yang sejati. Psikologi manusia bertakwa sejati adalah
manusia yang selalu mendekatkan diri kepadaNya dan kepada sesamanya, jujur,
setia kawan, berempati, rendah hati, sabar, memaafkan, toleran, selalu
bersyukur, berbahagia, dan hidup penuh kerukunan. Saling memaafkan dan
bersilaturahmi adalah kunci kedamaian hati dan kerukunan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar