Menyucikan
Akal
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya
bermain dengan ikan-ikan air tawar
|
DETIKNEWS, 22 Juni 2017
Ada sebuah kejadian lampau yang berlesatan dalam ingatan
saya ketika memasuki hari-hari menjelang Lebaran. Malam itu, rumah saya
kedatangan tamu. Dia tetangga di belakang rumah kami. Sebut saja namanya Pak
Fuad. Pekerjaannya buruh pabrik plastik, sedangkan istrinya ibu rumah tangga biasa.
Terkadang, istrinya sesekali menjajakan barang-barang kredit kepada para
tetangga. Mereka memiliki dua orang anak yang masih kecil, yang masih perlu
banyak biaya.
Saya melihatnya berada di luar pagar, dan mempersilakannya
masuk. Ia datang dengan wajah agak memelas. Dia juga terlihat membawa sebuah
tas cangklong yang entah isinya apa.
"Bapaknya ada, Mas?"
"Eh, Pak Fuad. Ada, Pak."
Saya pun memanggil Bapak saya yang saat itu sedang asyik
menonton acara sinetron seri Ramadan.
"Pak, ada tamu."
"Siapa?"
"Pak Fuad."
"Oh, pasti mau pinjam uang," kata Bapak saya
menebak begitu saja, tentu dengan nada lirih, karena memang sudah paham
tabiat Pak Fuad. Bapak pun segera menemuinya.
"Ada perlu apa, Pak Fuad?"
"Jadi gini, Pak. Seminggu lagi Lebaran tiba, saya
butuh uang untuk keperluan Lebaran keluarga saya. Saya ingin meminjam uang,
sejuta saja. Dua minggu setelah Lebaran insya Allah akan langsung saya
lunasi."
"Oh, kalau segitu tidak ada, Pak. Mungkin saya cuma
bisa membantu lima ratus ribu saja."
"Satu juta tidak ada, Pak? Tenang, saya bawa
jaminannya kok."
Pak Fuad mengeluarkan sebuah benda dari tas cangklongnya
yang sedari tadi membuat saya penasaran. Saya kaget, benda itu adalah sebuah
keramik berwarna hijau berbentuk papan.
"Ini adalah giok lafal qulhu geni. Bisa dipajang
untuk menangkal arwah jahat dan pendatang rezeki. Ini barang langka dan
mahal, Pak. Sudah ada kolektor yang menawarnya tapi tak saya berikan."
Bapak saya pun sedikit kaget ketika melihat benda itu. Ia
tak menyangka bahwa Pak Fuad ternyata memiliki benda semacam ini. Benda yang
jika dilihat dari fisiknya memang seperti bertuah dan misterius.
Namun, kesepakatan yang akhirnya terjadi, Bapak tetap
meminjamkan uang lima ratus ribu tanpa perlu menerima benda itu sebagai
jaminan. Bapak saya tak sampai hati menahan benda berharga milik Pak Fuad
itu. Meskipun sebenarnya jelas, Bapak saya bukan seorang yang mempercayai
benda bertuah. Begitu pun juga saya.
Saya tentu bisa sangat maklum dengan kondisi Pak Fuad.
Memang, menjelang Lebaran, banyak sekali orang yang membutuhkan uang.
Akhirnya, berutang pun kerap menjadi pilihan. Siapapun bisa terjebak pada
kondisi seperti itu.
Tapi, sayangnya Pak Fuad memakai cara yang menurut saya
ironis. Ia meminjam uang sembari menawarkan batu giok yang menurutnya
bertuah. Padahal, pada saat itu smartphone sudah menjadi benda jamak di
masyarakat. Di zaman yang memungkinkan orang untuk memesan tiket kereta
dengan sentuhan jari, masih saja orang yang setia mengimani logika mistik.
Menurut Mochtar Lubis, dalam bukunya yang berjudul Manusia
Indonesia (1977), percaya pada takhayul adalah ciri khas orang Indonesia.
Menurutnya, mental Indonesia masih sulit untuk bisa lepas dari hal-hal yang
berbau mistik dan ghaib. Inilah yang seringkali membuat orang Indonesia gampang
diperalat dan diadu domba.
Dalam novelnya Harimau! Harimau! (1975) Mocthar Lubis
menggambarkan ciri manusia Indonesia ini dengan nada penuh satir. Novel itu
bercerita tentang petualangan para pencari kayu damar yang dihadang oleh
harimau buas. Melalui teror harimau, para tokohnya melucuti karakter mereka
masing-masing.
Salah satunya tampak dari tokoh antagonis bernama Wak
Katok. Ia menyandang dua ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis:
munafik dan suka takhayul. Wak Katok digambarkan dengan begitu sengit pada
awal-awal cerita. Ia dianggap sebagai seorang dukun sakti dengan kemampuan
luar biasa yang disegani oleh para anak muda. Namun, di akhir cerita,
semuanya terbongkar. Wak Katok tak lebih dari pecundang dan pembual.
Sebenarnya, sampai hari ini kita masih bisa menemukan
orang-orang yang menyukai takhayul dan ilmu ghaib, seperti Pak Fuad dan Wak
Katok. Terbukti dari kasus penggandaan uang yang dilakukan oleh Dimas Kanjeng
Taat Pribadi beberapa waktu lalu. Banyak orang—bahkan seorang intelektual—yang
tertipu dengan kibul Dimas Kanjeng.
Di zaman sekarang, kualitas manusia Indonesia telah
semakin runyam ketika hoax bisa begitu mudah dimamah oleh masyarakat kita.
Mulai dari hoax yang mengatakan bahwa Jokowi adalah PKI sampai hoax terkini
tentang Mahapatih Gajah Mada memiliki nama asli Gaj Ahmada dan seorang
muslim. Barangkali, jika Mochtar Lubis masih hidup, mudah percaya pada hoax
juga bisa dimasukkan ke daftar ciri-ciri manusia Indonesia.
Hoax dan takhayul bisa digolongkan sebagai beberapa jenis
kuman pikiran yang sangat berbahaya bagi akal. Sebab, akal adalah salah satu
instrumen penting yang menjadi penentu segala tindak-tanduk manusia. Maka,
sungguh celaka ketika jika akal dicemari oleh berbagai macam kuman pikiran.
Akal akan jadi barang rombeng yang tak berguna. Alhasil, akal tak bisa lagi
menjaga manusia dari tindakan-tindakan menyimpang—jika tak boleh disebut
tindakan bodoh.
Orang-orang yang pikirannya terpapar kuman-kuman pikiran
niscaya tak akan bisa berpikir dengan alur logika yang lurus. Mereka, hanya
akan berpikir dan bertindak dengan persepsi yang mereka imani. Para pakar,
menyebut itu sebagai post-truth. Dan, tentu saja ini gawat. Bangsa ini akan
selalu terjatuh pada masalah yang diciptakan kebodohan.
Maka, seharusnya Ramadan tidak hanya jadi waktu yang tepat
untuk menyucikan hati, namun juga bisa jadi momen yang tepat pula untuk
menyucikan akal. Menyucikannya dari kuman-kuman pikiran—seperti hoax dan
logika ghaib, misalnya.
Menyucikan hati memang merupakan kewajiban bagi setiap insan
manusia. Tapi, menelantarkan akal di lembah kebodohan adalah haram hukumnya.
Kita tentu ingat bahwa ayat pertama yang diterima Sang Nabi adalah tentang
pentingnya membaca. Itu adalah isyarat bahwa seseorang tak boleh jadi bodoh.
Orang yang hatinya kotor, penyakitnya adalah sifat culas.
Hatinya dipenuhi kedengkian dan niat jahat. Namun, orang yang akalnya kotor
bisa mengidap lebih banyak penyakit. Ia bisa menjadi culas, dungu dan mudah
diadu domba. Barangkali derajatnya tak jauh dengan seekor domba aduan yang
hanya bisa memamah rumput, mengembik dan adu tanduk.
Jika domba itu tak bisa bertarung lagi, maka ia hanya
menunggu untuk disembelih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar