Pendidikan
Ideologi
Ignas Kleden ; Sosiolog
|
KOMPAS, 21 Juni 2017
Pada 19 September 1951, presiden pertama RI, Ir Soekarno,
menerima gelar doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah
Mada, dengan promotor Prof Mr Drs Notonegoro.
Pidato Bung Karno, "Ilmu dan Amal", mencerminkan
pandangannya tentang ilmu pengetahuan, ideologi, politik, dan pemimpin
politik. Bung Karno mungkin sekali adalah kepala negara di dunia yang
menerima gelar Dr HC terbanyak, total 26: 7 dari dalam negeri dan 19 dari
luar negeri, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Soviet, Jerman Barat,
Yugoslavia, Cekoslowakia, Polandia, Romania, Bulgaria, Hongaria, Mesir,
Turki, Kamboja, Korea Utara, Filipina, Brasil, dan Bolivia.
Sekalipun demikian banyak penghormatan dunia akademis
terhadapnya, Bung Karno dalam pidato di depan senat guru besar UGM mengatakan
terus terang, setiap kali menerima gelar kehormatan itu, dirinya selalu
bertanya apakah ada alasan cukup untuk menerima kehormatan seperti itu.
Dirinya pada dasarnya bukanlah seorang ilmuwan karena tak menelurkan teori
ilmu pengetahuan yang diterima dalam komunitas ilmu pengetahuan, tak menulis
karya ilmiah yang diperbincangkan para ilmuwan di dunia, sehingga
sumbangannya secara langsung kepada ilmu pengetahuan, dalam pandangannya
sendiri, hampir tidak ada.
Namun, ini tak mengecilkan hatinya karena, menurut Bung
Karno, dirinya tak merasa diri seorang ilmuwan, dan bahkan tak suka menjadi
ilmuwan. "Pembawaanku tidak puas
dengan ilmu an sich. Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika
ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup manusia, atau praktik
hidupnya bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan."
Karya ilmiah berpuncak pada ditelurkannya suatu teori
ilmiah yang diterima dan didiskusikan para ilmuwan dalam komunitas mereka,
sedangkan Bung Karno merasa dirinya pada tempat pertama adalah seorang
pemimpin politik, tugas utamanya mengaktifkan rakyat dan masyarakatnya kepada
suatu cita-cita yang hendak diperjuangkan melalui praktik hidup. Berulang
kali dia mengutip ucapan dalam bahasa Belanda, "Kennis zonder daad is doelloos. Daad zonder kennis is richtingloos (Pengetahuan tanpa perbuatan adalah tanpa
tujuan. Perbuatan tanpa pengetahuan adalah tanpa arah)".
Kalau praktik hidup dan perbuatan, bagi Bung Karno, hal
terpenting, apakah gunanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan, dan mengapa dia
membaca dan mempelajari demikian banyak buku termasuk buku-buku ilmu
pengetahuan? Jawaban telah diberikannya sendiri: pengetahuan dan ilmu
pengetahuan dibutuhkan supaya memberi arah yang lebih jelas sehingga praktik
hidup mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada titik ini menjadi jelas, bagi dia penting sekali
menyusun suatu teori tentang arah dan tujuan bagi praktik hidup yang
dijalankan rakyat dan masyarakatnya. Teori itu dalam pandangannya tak lain
dari Pancasila, yang menurut keyakinannya dapat dan harus menjadi pedoman
bagi arah dan tujuan praktik hidup yang dijalankan masyarakat Indonesia
sebagai negara merdeka. Pancasila adalah suatu teori tentang praktik negara
dan berfungsi sebagai ideologi, tetapi sekaligus menjadi teori tentang
praktik hidup masyarakat Indonesia, dan menjadi Weltanschauung, suatu visi
tentang dunia yang menentukan orientasi masyarakat Indonesia terhadap dunia.
Was ist Weltanschauung? Apa itu Weltanschauung? Itulah pertanyaan filosof
Karl Jaspers dalam studinya yang luas dan komprehensif, Psychologie der
Weltanschauungen.
Menurut Jaspers, visi tentang dunia atau Weltanschauung
selalu bersifat filosofis karena dia menjadi pengetahuan tentang keseluruhan,
tentang yang universal, yang merupakan watak pengetahuan filosofis. Bedanya
dari sistem filsafat ialah Weltanschauung tidak hanya berupa pengetahuan
tentang keseluruhan, tetapi bahwa pengetahuan itu membawa akibat yang menjadi
kenyataan dalam jiwa, menjadi seelische Wirklichkeit der Wirkung.
Tugas pemimpin politik
Tak begitu jelas apakah Bung Karno membaca karya Jaspers
atau tidak, tetapi nyatanya dia juga menyatakan Pancasila adalah suatu
philosophische grondslag, suatu dasar filsafat dan filsafat dasar bagi
Indonesia, dan bahkan bagi negara lain di dunia yang mau menerapkannya.
Namun, filsafat dasar itu tak akan hidup kecuali kalau dia dijalankan dan
dihayati menjadi praktik hidup. Suatu ideologi negara, menurut Bung Karno,
selalu punya dua fungsi utama: fungsi statis (mempersatukan semua unsur
masyarakat ke dalam satu negara), dan fungsi dinamis (memberi arah ke mana
negara dan masyarakat itu digerakkan). Peran pemimpin politik tak dapat
diabaikan karena dia bertugas mengaktifkan masyarakatnya untuk menjalankan
praktik hidup yang merealisasikan tujuan yang ditetapkan dalam suatu
ideologi. Dalam tugas itu pemimpin politik harus melakukan tiga hal dalam
tiga langkah.
Pertama, pemimpin politik harus sanggup melukiskan
cita-cita negara dan masyarakatnya sebagai tujuan dan impian yang menarik,
atraktif, dan appealing. Apakah ada politisi kita sekarang ini yang sanggup
melukiskan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat sebagai gagasan
atraktif bagi kehidupan bersama dan ide yang memikat bagi kaum muda? Apakah
ada kemampuan politisi berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagai cita-cita dan nilai yang layak dikejar dan diwujudkan dalam praktik
hidup karena cita-cita itu punya daya tarik yang menimbulkan pesona dan
memberi ilham yang menggairahkan? Apakah pembicaraan tentang kebangsaan masih
menggelitik patriotisme, dengan rasa bangga dan rasa syukur, bahwa ada suatu
tempat di alam semesta ini yang menjadi tanah air yang kita miliki, dan
sekaligus memiliki diri kita sebagai rakyatnya-a homeland which belongs to us, and to which we all belong?
Pernahkah kita mendengar politisi kita berbicara
musyawarah dan mufakat sebagai local genius Indonesia dalam memecahkan
masalah dan mencapai konsensus rasional, sambil menimbulkan rasa hormat dan
bermartabat kepada pihak yang beda pandangan? Di atas segalanya, apakah kita
masih menyebut nama Tuhan dengan rasa tremendum et fascinans, dengan gentar
dan terpukau karena kekudusan-Nya, dan apakah ingatan akan nama-Nya sanggup
menahan kita dari nafsu berfoya-foya kekuasaan dan keserakahan?
Kedua, pemimpin politik tak cukup hanya menimbulkan rasa
tertarik atau terpesona, tetapi harus sanggup memberikan sugesti kepada
masyarakatnya sehingga anggota masyarakat itu merasa mampu mewujudkan
cita-cita yang dilukiskan. Rasa mampu itu melahirkan keyakinan tentang tekad
dan kesanggupan mencapai cita-cita, dan menjelmakan cita-cita menjadi
kenyataan dalam jiwa, menjadi seelische Wirklichkeit menurut Jaspers. Sugesti
menjadi kuat kalau apa yang dikatakan sejauh mungkin diilustrasikan juga
dalam perbuatan. Perasaan mampu akan diteguhkan apabila rasa itu mendapat
pengejawantahannya dalam praktik hidup yang dapat dilihat dan dialami.
Di sini budaya politik jadi penting dan memainkan peran instrumental
dalam pendidikan ideologi. Budaya politik dibentuk oleh elite politik. Apa
yang dilakukan elite politik dalam praktik hidup-baik atau buruk-seakan
menjadi fashion show bagi rakyat yang melihat dan cenderung mencontohinya.
Trickle-down effect dalam budaya politik berlangsung jauh lebih cepat
daripada trickle-down effect dalam pemerataan kemakmuran ekonomi.
Perbedaannya, tiadanya tetesan ke bawah dalam pemerataan hasil pertumbuhan
ekonomi tidak dengan sendirinya memperlemah pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya,
tiadanya tetesan ke bawah dalam praktik hidup elite politik hampir pasti
memperlemah ideologi yang dicoba diaktualisasikan dalam masyarakat.
Suatu pendidikan ideologi dengan kurikulum yang tersusun
rapi, dan dengan metodik dan didaktik yang paling modern pun, akan mudah
digagalkan oleh tiadanya dukungan budaya politik dari elite politik melalui
praktik hidup mereka.
Ketiga, pemimpin politik harus dapat memfasilitasi
peralihan dari adanya rasa mampu ke pembentukan kemampuan yang riil. Dia
mendorong peralihan dari kenyataan dalam jiwa menjadi kenyataan dalam praktik
hidup. Ibaratnya, seorang pemimpin politik memikat pendengarnya melalui
presentasi tentang sebuah destinasi wisata lewat panorama yang
diperlihatkannya melalui film dokumenter. Dia sanggup menimbulkan
ketertarikan serta keinginan dan lambat laun muncul rasa mampu dan tekad pada
pendengarnya untuk mengunjungi destinasi dimaksud. Langkah yang menentukan
adalah membuat pendengarnya mulai menghemat pengeluaran, membatasi belanja
harian, mengumpulkan dana, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang
destinasi itu, mempelajari alur perjalanan yang paling murah, mengontak
teman-temannya untuk bepergian bersama, kemudian membeli tiket dan
selanjutnya terbang atau naik kapal laut ke destinasi yang demikian diidamkan
dengan membawa program liburan yang sudah tersusun. Pada saat itu kenyataan
dalam jiwa menjelma jadi kenyataan dalam praktik hidup.
Kesetiaan yang tetap
Inilah tiga langkah bagi seorang pemimpin politik dalam
mengaktifkan masyarakat dan menggerakkan anggota masyarakat itu ke arah
cita-cita yang ada dalam ideologi, sebagaimana diuraikan panjang lebar oleh
Bung Karno dalam kursus yang diberikannya kepada para kader Pancasila di
Istana Negara pada 26 Mei 1958. Tiga langkah itu adalah gerak-maju dari
atraksi ke sugesti dan selanjutnya ke aktualisasi. Kalau ada kesan dewasa ini
bahwa Pancasila sebagai ideologi negara kita kian kurang diperhatikan,
pertanyaannya: pada tahapan mana dan langkah ke berapa ada hambatan
menghidupkan Pancasila sebagai ideologi? Apakah kurang ada usaha sosialisasi
atraktif tentang Pancasila, apakah tak ada kemampuan politisi memberi sugesti
tentang rasa mampu mewujudkan Pancasila sebagai praktik hidup? Ataukah
terputus transisi dari rasa mampu ke pembentukan kemampuan riil untuk
merealisasikan Pancasila sebagai pedoman praktik hidup dalam negara dan
masyarakat Indonesia?
Pancasila digagaskan konseptornya sebagai
Staatsphilosophie (filsafat negara) dan sekaligus Lebensphilosophie (filsafat
hidup masyarakat sebagai warga sebuah negara). Sebagai filsafat negara,
Pancasila akan hidup dalam kebijakan dan ketetapan yang dibuat negara, dan
dalam berbagai tindakan yang dilakukan negara. Apakah tiap kebijakan dan
ketetapan negara mempertimbangkan kelima prinsip dalam Pancasila sebagai
pemberi arah bagi politik yang dijalankan negara? Memang ini tugas yang berat
baik bagi eksekutif, legislatif, maupun badan pengadilan.
Setiap kali mereka harus menimbang apakah keputusan itu
tidak menyalahi asas Ketuhanan Yang Maha Esa, berupa kepercayaan kepada Tuhan
yang satu? Apakah suatu kebijakan masih menghormati atau sudah mengabaikan
asas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang percaya setiap orang pada
dasarnya merindukan dan berhak atas keadilan dan punya bakat untuk peradaban
yang baik, kalau dia dihormati secara layak dan dijunjung martabatnya sebagai
manusia? Pepatah asing, under the skin we are all the same (di bawah kulit
semua kita adalah sama). Apakah dengan merujuk sila kebangsaan, kedaulatan
negara masih dijaga dan dipertahankan, dan rakyat berhak mendapatkan
perlindungan dari negaranya?
Apakah kebijakan ekonomi masih menerapkan keharusan
menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bukannya membiarkan
melebarnya kesenjangan amat mencolok antara kaya dan miskin, yang beruntung
dan kurang beruntung? Apakah demokrasi kita hanya mengutamakan demokrasi
politik dan kebebasan setiap individu, tetapi mengabaikan demokrasi ekonomi,
sambil menutup mata terhadap kenyataan bahwa inequalities (ketidakmerataan)
yang tidak diatasi secara waspada dapat membawa kita kepada injustice
(ketidakadilan)?
Sebagai filsafat hidup, Pancasila menetapkan bahwa sebagai
warga negara Indonesia, semua rakyat adalah sama, dengan satu pegangan, yaitu
before the law we are all the same (di depan hukum negara kita semua adalah
sama). Namun, dalam praktik, ini harus dicoba terus-menerus.
Perbedaan sebagai anggota kelompok agama atau kelompok
budaya dapat diakomodasi karena ada kesamaan dasar sebagai warga negara
Indonesia. Kesulitan yang muncul dari berbagai perbedaan dapat diatasi
apabila asumsi tentang perbedaan itu bisa diubah, yaitu bahwa perbedaan
bukanlah bahaya yang mengancam, tetapi kesempatan untuk menjadi semakin
matang karena adanya proses belajar mengenai apa yang tidak kita kenal dalam
kelompok kita sendiri dan memahami mengapa hal yang aneh dan trivial dalam
perasaan kita, untuk pihak lain menjadi penting dan bahkan amat penting.
Pengertian baru itu tak perlu mengubah pendirian dan keyakinan kita sendiri,
tetapi dapat memperluas wawasan memperkaya pengalaman kita sebagai pribadi
yang kian matang dan warga negara yang
dewasa, terbuka, dan demokratis, dengan rasa kemanusiaan yang semakin
tinggi.
Pancasila dapat menjadi ideologi subur di antara rakyat
Indonesia hanya kalau ada usaha terus-menerus dari negara maupun masyarakat
untuk menerapkannya dalam praktik hidup seperti berulang kali ditegaskan Bung Karno. Pancasila dapat
menjadi pegangan kalau dia menjelma menjadi kenyataan dalam jiwa yang
kemudian diaktualisasikan dalam tindak-perbuatan.
Presiden Jokowi memperkenalkan semboyan menarik untuk
pemerintahannya, "kerja, kerja, kerja". Semboyan itu akan semakin
hebat dan menggairahkan kalau kerja yang dilaksanakan tak menjadi sebarang
praktik yang diharuskan oleh tugas, tetapi sekaligus menjadi praksis yang
menerjemahkan cita-cita Pancasila sebagai praktik hidup dalam negara dan
bangsa. Praksis itu patut dicoba dan dilaksanakan terus-menerus dengan
berhasil atau kurang berhasil, tetapi dengan kesetiaan yang tetap. Pepatah
Bung Karno: hanya dengan terus-menerus mengalir ke laut, sebuah sungai tetap
setia kepada sumber airnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar