Cara
Lain Membangun Daerah
Suyoto ; Bupati Bojonegoro
|
JAWA
POS, 20
Juni 2017
INILAH kali kedua saya berbicara di forum Bank Dunia soal
cara lain untuk membangun daerah. Yang pertama pada Maret 2017 di Konferensi
Asia-Pasifik Doing Development Differently. Yang kedua sore ini dalam
roundtable sambil buka bersama yang diadakan Bank Dunia.
Tidak ada kabupaten, provinsi, dan negeri yang miskin.
Yang ada hanyalah kabupaten, provinsi, dan negeri yang salah urus. Para
pemangku kekuasaan harus haus terhadap semua kemungkinan terbaik dan paling
efektif mengelola pembangunan. Termasuk apa yang dialami Bojonegoro, yang
berangkat dari situasi minus.
Pada 1900, Bojonegoro merupakan daerah yang mengalami
endemi poverty. Pada 2000, Bojonegoro masih tercatat sebagai kabupaten
termiskin di Jawa Timur (Jatim). Pada 2008 menjadi nomor 3 daerah termiskin
di Jatim. Selanjutnya, pada 2017, berhasil keluar dari sebutan 10
kabupaten/kota termiskin di Jatim.
Saya menyebut strategi pembangunan Bojonegoro sebagai
Bojonegoro Way. Berikut poin penting tentang pendekatan baru pembangunan
daerah.
Pertama, pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat harus dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menjadi bagian dari
solusi atas masalah rakyat. Secara umum, masalah rakyat itu dapat
dikategorikan dalam empat hal: bagaimana hidup lebih sehat sehingga harapan
hidup lebih panjang, bagaimana rakyat lebih cerdas sehingga lebih mampu
mengembangkan potensi dan keterampilan hidupnya untuk dapat meraih hidup yang
lebih baik, bagaimana rakyat lebih produktif menciptakan pendapatan dan daya
beli, serta bagaimana rakyat dapat hidup lebih bahagia. Isu pembangunan
infrastruktur, pengelolaan lingkungan hidup, pembuatan regulasi, dan tata
kelola, misalnya, harus ditempatkan dalam kerangka penyelesaian empat masalah
tersebut.
Kedua, dalam hal pengelolaan anggaran, solusi atas problem
secara berkelanjutan harus menjadi orientasi utamanya (problem driven base).
Anggaran digunakan bukan untuk menghidupkan struktur organisasi yang ada,
yang kemudian diukur dengan pendekatan performance base. Penciptaan
keuntungan publik (public benefit) lebih diutamakan daripada keuntungan
pemerintah (government profit). Dalam istilah Presiden Joko Widodo, orientasi
penganggaran seperti itu disebut money follow program. Sementara itu,
Bojonegoro Way menyebut money follow program, program follow problem, money
for solution, dan solution for sustainable development.
Ketiga, pembagian urusan dalam pengelolaan pembangunan
tidak otomatis ditangani satu unit organisasi atau yang disebut organisasi
perangkat daerah. Problem ego sektoral dapat diselesaikan dengan penempatan
isu strategis sebagai isu bersama. Sebagai contoh, isu produksi pangan tidak
hanya menjadi tanggung jawab dinas pertanian. Tapi, justru dinas itulah yang
meminta dinas yang mengurus pembangunan infrastuktur air, jalan, dan
perdagangan untuk memenuhi semua hal yang diperlukan guna menjamin target
produksi pangan.
Keempat, dalam praktiknya, khususnya pembangunan desa dan
kawasan tertentu, semua level pemerintahan mengambil peran sesuai kewenangan
dan bersinergi untuk memecahkan problem warga yang berada dalam kawasan
tertentu. Sebagai contoh, Bojonegoro melaksanakan gerakan desa sehat dan cerdas
(GDSC) yang berisi sasaran pembangunan desa berdasar problem utama yang
dihadapi warga setempat. Maka, program pembangunan desa yang dimotori pemdes
dan seluruh penganggarannya berorientasi penuh pada solusi atas problem yang
dihadapi warga setempat. Pemkab akan memfasilitasi, mendorong, dan memperkuat
solusi tersebut. Jika solusi yang diperlukan butuh program provinsi dan
pusat, misalnya kasus bencana akibat kerusakan hutan dan sungai, dua level
pemerintahan tersebut bersama pemkab mengerahkan segala sumber daya untuk
melahirkan solusi bagi warga di kawasan tersebut. Jadi, pembagian kewenangan
tidak boleh dimaknai sebagai bentuk menjauhkan kekuasaan dengan masalah
warga. Seluruh pembangunan dan kewenangan, sekali lagi, harus berorientasi
pada sinergi dalam rangka solusi masalah warga. Itulah esensi pemerintah yang
hadir melayani rakyatnya.
Kelima, untuk menjamin mekanisme problem driven base dan
ketersambungan antara kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan,
pemerintah harus memberi akses seluas-luasnya kepada rakyat untuk menyalurkan
aspirasi dan keluhan. Pemerintah menjamin bahwa rakyat dapat mengakses semua
proses politik dan teknokratik serta pelaksanaan pembangunan sejak
perencanaan, penganggaran, pengadaan, hingga pelaporan. Untuk menjamin mekanisme
ketersambungan itu, platform LAPOR, open data contract standard, dan data
revolution menjadi sangat penting. Jika performance base bertumpu pada
birokrasi sendiri sehingga lebih peka terhadap isu input, proses, dan output
kelembagaan, problem base lebih peka terhadap income dan outcome- nya bagi
publik.
Keenam, bagaimana mengukur keberhasilan pembangunan sebuah
daerah? Gunakan pendekatan outcome yang biasa disebut IKU (indikator kinerja
utama) dan pilar-pilar keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan atau SDGS. IKU meliputi pertumbuhan ekonomi, indeks rasio
kesenjangan atau keberhasilan menciptakan pemerataan, penurunan kemiskinan,
penciptaan lapangan pekerjaan, dan angka harapan hidup rakyat. Sementara itu,
SDGS mengukur seluruh unsur partisipasi elemen dan aspek yang kelak menjamin
keberlangsungan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar