Puasa
Politik Bersilat Lidah
Asep Salahudin ; Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS, 23 Juni 2017
Tentu saja lidah itu tidak bisa silat dan juga tidak
bertulang. Ungkapan itu lebih merujuk kepada makna seseorang yang pandai
berdusta, terampil memutarbalikkan fakta.
Orang yang memiliki banyak jurus pembicaraan untuk
mengelabui seseorang dan atau banyak orang, tetapi seluruh jurus
itu bermuara pada kebohongan. Sekali berdusta, maka selamanya dia akan
menutupinya dan akhirnya dusta yang dilipatgandakan dengan lihai itu akan
dianggap kebenaran. Dusta hadir sebagai asupan fanatisme sekaligus pencitraan
diri. Setelah menjadi "kebenaran" dan diviralkan, maka kebenaran
otentik pun walaupun ditopang data
kokoh akan mengalami kesulitan meruntuhkan terpaan "kebenaran"
palsu. Apalagi kalau "kebenaran" itu terus- dipromosikan secara
gencar.
Pada gilirannya orang dengan senang hati menerimanya
bahkan balik menganggap kebenaran asli justru sebagai anomali. Yang
benar-benar kiai tidak ditaati, malah yang abal-abal diikuti. Di titik inilah
saya melihat mesin hoaks bekerja. Hoaks bekerja menghindar dari alur
kebenaran (verite), dari "ada", "kejadian", dan hidup baik (vie bonne) (Alain Badiou).
Hoaks sebagai lambang absennya kesanggupan menarasikan dirinya (soi) dan yang
lian (l'autrui) dengan penuh tanggung jawab (Paul Ricoeur).
Gilanya, di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya melek
aksara; soal politik, sosial bahkan agama dijangkarkan di atas landasan
hoaks. Mereka merasa tak perlu
melakukan konfirmasi karena meyakini hoaks sebagai "kebenaran".
Dalam survei Kompas (15/5/2017), justru peringkat pertama berita bohong yang
sering diterima adalah sosial-politik (pilkada dan pemerintah), yakni 91,8
persen, urutan kedua suku, agama, ras, dan antargolongan (88,6 persen),
setelah itu kesehatan (41,2 persen), makanan dan minuman (32,6 persen),
penipuan keuangan (24,5 persen), ilmu pengetahuan dan teknologi (23,7
persen), berita duka (18,8 persen), candaan (17,6 persen), bencana alam (10,3
persen), dan lalu lintas (4,0 persen).
Lebih miris lagi anak-anak yang belum paham apa-apa
dipaksa orangtuanya meneriakkan cara beragama yang membabi buta dan kehilangan akal sehat. Dalam sebuah pawai
obor menyambut bulan suci Ramadhan, bagaimana
cairan radikalisme disuntikkan ke kepala anak-anak dan mereka pun
penuh semangat meneriakkan kata-kata yang mencerminkan kebencian kepada
mereka yang berlainan keyakinan, menyuarakan kekerasan simbolik,
"Bunuh-bunuh...."
Saya tidak bisa membayangkan, kalau sejak dini puritanisme
seperti itu yang menjadi makanannya, kelak saat mereka dewasa keberagamaan
yang menjadi rutenya kemungkinan besar adalah
wajah-wajah beringas yang menampik kehadiran mereka yang berbeda.
Agama tak lebih hanya saluran pemuas nafsu agresivitas metafisisnya yang
sejak awal dibungkus selubung suci
ayat-ayat Tuhan yang ditafsirkan serampangan: jihad fi sabilillah. Tuhan diproyeksikan sebagai sosok penghukum,
balas dendam, dan pembenaran
terorisme.
Puasa kata-kata
Ramadhan sesungguhnya merupakan bulan refleksi atas
segenap tindakan. Dalam kajian tasawuf, puasa tidak berhenti sebatas perut
dan menahan hajat biologis, tetapi juga memuasakan raga, jiwa, dan termasuk
kata-kata. Dalam konteks kebangsaan
hal ini sangat relevan. Sudah
terlampau lama kita dipaksa mengisap
polusi kata-kata, dikepung pengeras
suara yang berisi tak lebih hanya pendakuan kebenaran, pekik khotbah atas
nama membela iman, padahal isinya hanya uraian penebalan rasa permusuhan.
Di media sosial kebencian dirayakan sedemikian rupa,
stigma kafir dan munafik dilemparkan sembarangan kepada yang berbeda pilihan
politik. Puasa sudah saatnya juga kita maknai sebagai jalan terjaga dalam
kata.
Siti Maryam mengajarkan puasa berbicara, dan membiarkan
Nabi Isa berbicara dengan bahasa kelembutannya; Nabi Muhammad hanya
memberikan opsi kepada kita apabila tidak bisa berkata-kata yang baik lebih
bagus diam. Sidharta Gautama tafakur
di bawah pohon bodhi dan berhenti berbicara.
Ketika Konfusius (1551-479 SM), tokoh China terbesar
ditanya apakah yang pertama harus dilakukan elite negara, ia menjawab, "Luruskan
kata-kata!" Orang yang bertanya tadi heran, "Mengapa, tuan guru?"
Konfisius menjawab, "Jika kata-kata tidak lurus, apa yang akan dikatakan
bukanlah apa yang dimaksudkan; jika apa yang dikatakan bukan apa yang
dimaksudkan apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak diperbuat."
Kekerasan simbolik
Sebuah riwayat mencekam patut kita renungkan di tengah
puasa yang sering lupa menanggalkan dusta, seperti dikutip Al-Ghajali. Zaman
Muhammad SAW tersebutlah dua wanita
yang hampir pingsan karena menahan
lapar berpuasa. Diutuslah seseorang kepada Nabi untuk menanyakan apakah mereka boleh membatalkan
puasanya. Sebagai jawabannya beliau mengirimkan sebuah mangkuk dan berkata,
"Muntahkan ke dalam mangkuk ini apa yang telah kamu makan". Semua
yang hadir terkesima melihat dua
wanita itu memuntahkan darah segar dan
daging lunak memenuhi mangkuk itu.
Kata Sang Nabi,
"Dua perempuan itu telah merasakan apa yang Tuhan halalkan bagi mereka dan telah membatalkan puasa
mereka dengan melakukan yang Tuhan haramkan. Mereka telah duduk bersama dan
bergunjing. Darah dan daging segar yang mereka muntahkan adalah darah dan
daging segar orang yang telah mereka gunjingkan".
Minimal dengan kata-kata yang terjaga sebagai pesan
substansial laku puasa, kita telah
menurunkan satu nilai kebaikan universal dari agama. Betul setiap agama itu
baik, tetapi kebaikan tidak ada faedahnya manakala tidak pernah diturunkan
sebagai tindakan oleh para pemeluknya. Agama yang baik adalah agama yang
menginjeksikan para pemeluknya bisa
saling menghormati satu sama lain.
Agama yang benar hakikatnya tidak pernah bertentangan dengan
etika politik dan tujuan bernegara, yakni membangun hidup yang utama secara bersama-sama, mewujudkan
ketertiban, menciptakan birokrasi berkeadilan, dan mengakui pluralisme
sebagai takdir sosial.
Agama yang memperteguh motivasi karena di dalamnya, sebagaimana ditelaah Ricoeur (Haryatmoko,
2010), pertama, agama memberi identitas karena akta pendirian suatu kelompok diaktualisasikan kembali dengan representasi diri; kedua,
agama menumbuhkan keyakinan bahwa orang berada dalam kontak dengan makna terdalam hidupnya; ketiga,
acuan ke tujuan terakhir memberi
pembenaran dan mendasari sikap kritis atas tatanan yang ditolaknya dan bahaya pada semua agama
adalah ketika direduksi hanya menjadi ideologi.
Dengan kata lain, puasa
dan agama merupakan ritus personal
sebagai peneguhan bahwa puasa yang sahih dan sikap keagamaan yang betul tak
pernah menoleransi baik kekerasan
fisik ataupun simbolik. Puasa sebagai medan perayaan kebebasan sekaligus
jendela pembebasan dari perbudakan hawa nafsu, dominasi dan muslihat
kata-kata.
Ketika kita berpuasa, tetapi masih menganggap ada manusia
yang tak pernah salah atau selalu salah, menghindar dari hukum dan tak pernah
bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, tak henti menyebarkan teror
dan hoaks, maka puasa seperti itu tak lebih hanya berbuahkan darah dan daging
segar. Tak lebih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar