Memaknai
Hari Lebaran
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 23 Juni 2017
Kata Idul Fitri mengandung dua makna. Pertama, kembali
pada fitrah kesucian seseorang setelah sebulan berpuasa. Ini sesungguhnya
lebih tepat dipahami sebagai sebuah doa. Semoga dosa-dosa diampuni dan dengan
puasa memperoleh kekuatan serta komitmen baru untuk senantiasa menjaga
kefitrian kita. Kedua, kembali pada kebiasaan sebelumnya, yaitu pagi-pagi
kita makan dan minum. Makanya Idul Fitri merupakan perayaan dan tasyakuran
rohani dan jasmani sekaligus. Pada hari itu Allah melarang seorang mukmin
berpuasa.
Dalam masyarakat Jawa khususnya, Idul Fitri dikenal dengan
sebutan Lebaran. Lebar artinya rampung, usai; yaitu berhasil merampungkan
perintah puasa. Terdapat beberapa kata dan istilah yang serumpun dengan kata
lebar (usai), yang memiliki spirit dan pengayaan arti dari Idul Fitri, yaitu
luber. Maksudnya, perayaan Idul Fitri ditandai dengan jiwa luber, melimpah,
yang diwujudkan dengan pelunasan zakat fitrah dan sedekah untuk
menyempurnakan ibadah Ramadan. Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga,
saudara atau teman, berbagai hidangan sudah tersedia.
Kenangan waktu kecil dulu, ruang tamu seakan disulap jadi
warung, menyediakan berbagai makanan yang tentu saja gratis. Kata lain yang
serumpun adalah lebur. Idul Fitri merupakan momentum seseorang untuk melebur ke
dalam jaringan sosial yang penuh semangat perdamaian dan egaliter. Kita
saling memaafkan dan menghargai sesama manusia yang pada dasarnya adalah
baik. Sikap lebur hanya dimungkinkan jika kita memiliki pandangan positif
serta respek pada yang lain. Untuk ini diperlukan jiwa yang lebar atau luas.
Ini terlihat dan terasakan, ketika Idul Fitri tiba, jiwa kita menjadi lebar,
lapang, karena sekat-sekat yang membatasi persaudaraan telah kita robohkan.
Kita saling memaafkan dan mendoakan. Dalam bahasa Sunda juga
dikenal kata lubar, yang artinya lapang. Kalau semua itu kita wujudkan dengan
sungguh-sungguh maka muncul istilah labur. Dalam masyarakat Jawa, labur
berarti membuat pagar dan tembok menjadi putih kembali. Begitulah semangat
Idul Fitri, semoga kita berhasil membuat hati, pikiran dan perilaku menjadi
putih kembali. Uraian singkat di atas sedikitnya menjelaskan sebuah realitas
sosial keagamaan, bahwa Islam di Nusantara ini telah berbaur dengan tradisi
lokal, keduanya saling mengisi dan memperkaya.
Tentu saja sumber agama datang dari wahyu ilahi, sedangkan
budaya adalah kreasi manusia. Tetapi hubungan agama dan budaya, bagaikan
hubungan ruh dan tubuh. Tanpa budaya maka pesan wahyu sulit dipahami dan
diterapkan dalam sebuah masyarakat, atau ibarat pesawat tidak punya landasan
untuk mendarat. Bahkan, halalbihalal dan mudik Lebaran yang sedemikian
kolosal saat ini menjadi acara khas Indonesia. Sebuah inovasi dan kreasi
budaya keagamaan yang sangat jenius dan berhasil, bahkan telah menjadi bagian
dari agenda negara. Lebaran sepenuhnya agenda masyarakat tanpa minta APBN.
Namun, pemerintah membantu memfasilitasi terhadap warga
negaranya. Adapun ritual salat Id dan khotbahnya seragam di seluruh dunia.
Namun, ekspresi kulturalnya berbeda-beda. Ini sebuah bidah budaya (cultural
innovation) yang mesti kita apresiasi dan lestarikan. Makanya kalau ada
kelompok ekstremis yang menempatkan negara RI sebagai musuh agama, pemikiran
itu jelas salah. Ajaran agama apa yang dilarang di Indonesia? Agenda yang
mendesak itu bagaimana memberantas korupsi, meningkatkan kualitas pendidikan,
menciptakan lapangan kerja, dan bersama-sama menjaga kedamaian.
Bukan gerakan merobohkan Indonesia, lalu diganti dengan
ideologi lain yang tak punya akar historis- politis di Indonesia. Itu hanya
akan menciptakan segregasi dan perseteruan sosial yang sia-sia, bahkan
menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebaikan apa yang mau
ditiru dan diimpor dari krisis Suriah yang dimotori oleh ISIS? Yang ada
hanyalah sebuah kehancuran dan kesengsaraan rakyat dan tercorengnya martabat
Islam.
Sebagai pesan penutup, dengan datangnya Idul Fitri, yang
berakhir itu puasa makan dan minum di siang hari. Adapun pesan puasa hati,
pikiran, dan tindakan justru akan diuji setelah Idul Fitri, apakah kita
berhasil menjalani training Ramadan ataukah gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar