Ulang
Tahun Jakarta dan Revolusi Kota
Noprizal Erhan ; Direktur Institut Paradigma Indonesia
|
DETIKNEWS, 22 Juni 2017
Bulan ini Jakarta berulang tahun ke-490, tepatnya lahir
pada 22 Juni 1527. Sudah banyak peristiwa bersejarah tertorehkan pada kota
yang sudah beberapa kali berganti nama itu, dari Sunda Kelapa, Jayakarta,
hingga Jakarta. Sudah banyak revolusi sosial terjadi di ibukota NKRI ini.
Lalu bagaimana dengan "revolusi" kotanya sendiri?
Terminologi "urban revolution" diperkenalkan
pada 1936 oleh V Gordon Childe, seorang arkeolog Australia dalam bukunya Man
Makes Himself, dan kemudian di artikelnya pada 1950 dalam jurnal Town Planning Review yang membawa
konsep tersebut ke khalayak yang jauh lebih luas.
Childe mengungkapkan, revolusi urban adalah proses
tumbuhnya suatu kawasan dimulai dari pemukiman kecil berbasis kerabat, dari
desa kecil pertanian yang diubah menjadi kawasan besar, secara sosial
bersifat kompleks (rumit) hingga menjadi masyarakat perkotaan.
Pada implementasinya revolusi sebuah kota bisa berjalan
terencana dan terawasi. Namun, dalam banyak kasus revolusi sebuah kota
menjurus pada ketidakteraturan dan kesemrawutan. Hal itu disebabkan dua
faktor utama potensi pencipta gangguan membangun kota idaman (lively city),
yakni pengatur dan warganya.
Ciri pengatur kota idaman ditandai taatnya mereka pada
regulasi baku (hasil rekomendasi ahli tata kota), para legislatornya
mendukung regulasi baku itu dengan mensahkan UU tata ruang yang mumpuni, dan
regulasi itu bisa diimplementasikan dengan baik di tataran publik. Bukan
sebaliknya, regulasi dilanggar; para politisi korup dan tak berintegritas
melanggar regulasi baku itu.
Jika yang terakhir itu yang terjadi, aparat di bawahnya
akan ikut-ikutan berlaku sewenang-wenang karena tak ada ketegasan dan
keberpihakan kepada perencanaan kota yang baik, yakni menuju eco city (kota berlingkungan baik), lively city (kota yang hidup), dan human city (kota yang manusiawi).
Kenakalan dan kesewenangan aparat tercerminkan pada
tindakan-tindakan indisipliner seperti izin IMB "yang bisa dinego"
menurut selera pengembang/warga kota, kongkalikong dengan para preman dalam
pungutan liar taman kota, dan bermain mata dengan mafia anggaran pemerintah.
Sedangkan, ketidakteraturan yang disebabkan oleh warga
kota misalnya menyerobot tanah negara, pedagang liar yang menyerobot trotoar
jalan, pungutan liar oleh preman pasar, dan ketidaksiplinan masyarakat dalam
membuang sampah, pabrik mencemari sungai dan udara.
Berbagai upaya pemerintah ibukota mengatasi kesemrawutan
itu telah dilakukan. Seperti, membangun hunian murah, rusun, kampung deret
bahkan rencana hunian dengan down payment (DP) nol, membangun infrastruktur
yang membelah berbagai wilayah kota, menembusi perut bumi dengan tunelling
untuk MRT, meredam gejolak kesesakan lalu lintas dengan program 3 in 1, dan
mendamaikan hati penduduk dengan program KJP, KJS.
Pertanyaannya, apakah itu semua bisa menyelesaikan
substansi dari masalah kota?
Masalah Mendasar
Pada kenyataannya, masalah mendasar sebuah kota tidak
pernah usai dari masa ke masa. Kota semodern Tokyo pun tetap kelimpungan
menghadapi persoalan yang ada; tetap macet dan padat. Kini jumlah penduduk
Tokyo dan kota-kota satelitnya mencapai total 38 juta orang. Disusul
Jabodetabek 31 juta orang. Di bawahnya New Delhi dan Manila masing-masing 26
juta dan 24 juta orang (Demographia World Urban Areas, 2017).
Mencermati data itu, Jabodetabek tercatat sebagai ranking
2 dunia, terlihat betapa mencemaskan kondisi Jakarta dan kota satelitnya
(Bodetabek) dengan kesesakan penduduk saat ini. Itu akan mencemaskan lagi
statusnya jika ditambah kota Cikarang dan Karawang yang sebetulnya sudah
menempel dengan Jabodetabek hingga bisa disebut sebagai kawasan megalopolis
baru yakni Jabodetabekarci.
Terminologi "megalopolis" mengacu pada kumpulan
kota dengan jumlah penduduk melebihi 20 juta jiwa (Ray Hutchison, Encyclopedia of Urban Studies, 2010). Di Tokyo
kini seakan satir dan trending, penginapan pun mesti memangkas kelapangan
ruang tidur yakni hanya seukuran 2x1x1 m3 yang mereka sebut capsule hotel.
Dan, hotel jenis ini pun sudah ditiru di beberapa kota di Indonesia.
Pesona ekonomi di kota yang menggelembung dan glamor
menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk nonkota (penduduk luar kota).
Alasan mereka berurbanisasi yakni ingin mencari penghidupan yang layak,
menghindarkan kemiskinan, terkesan kota sudah membius warga desa dan
mengiming-imingi mereka dengan janji kemakmuran.
Tapi, realitanya tak sedikit yang "hancur"
setelah masuk kota, menjadi gelandangan di kolong jembatan dan pemukiman
liar, atau menjadi koruptor tertangkap KPK. Seakan memastikan pemeo: ibukota
memang lebih kejam daripada ibu tiri.
Urbanisasi penuh ilusi dan tak terkendali itu menyebabkan
sebuah kota meluncur menuju kepadatan maksimum (sesak sempurna). Terjadi
ketidakseimbangan antara beban (kepadatan penduduk dan kendaraan) dengan si
pemikul (kota). Beban kota ditumpuk saban waktu, tapi si pemikul telah
mencapai titik stagnan, zero power, zero lahan hunian, zero lahan untuk
infrastruktur. Maka, bukan hal mengejutkan jika penduduk tercecer di
pemukiman liar, kolong jembatan dan tak terurus oleh otoritas kota.
Apakah program hunian DP nol, MRT/LRT, kendaraan
membanjiri jalanan kota dengan mobil-mobil murah akan mampu meringankan daya
pikul kota? Tampak itu hanya akan menjadi utopia. Tapi, untuk long term
policies, hal itu mesti dikaji lagi.
Dengan tidak bermaksud mengecilkan arti keberadaan MRT,
LRT, keberadaan hunian baru, tetap ada pertanyaan, "Apakah di
tahun-tahun mendatang kita akan selalu membangun MRT, LRT, rumah DP nol,
membangun rute-rute baru untuk busway, membanjiri jalanan dengan unit-unit
mobil murah, sementara daya pikul kota dan strateginya tidak pernah
disiapkan?
Sebuah kota akan mengalami "titik jenuh". Yakni
jenuh penduduk, jenuh kendaraan, jenuh hunian, jenuh mal, jenuh kebanjiran,
jenuh polusi, jenuh konflik, jenuh tawuran, dan jenuh-jenuh lainnya.
Oleh karena itu sebuah kota butuh evaluasi secara
komprehensif (menyeluruh) dan bukan "tambal sulam". Kita butuh
revolusi pemikiran tentang keberlangsungan sebuah kota (sustainable city).
Kita butuh yang namanya "keseimbangan yang manusiawi" di kota.
Keseimbangan yang dimaksud bertumpu pada kemampuan
pemangku kota menjaga "angka kesesakan kota" (AKK), yakni tidak
menuju angka 1 (jenuh sempurna) yang ditandai macet parah speedometer
kilometer nol, apartemen dan rusun begitu rapat dan padat, sehingga kehidupan
di kota terasa tidak nyaman lagi. Jika AKK = nol, berarti kota itu sangat
sunyi, atau kotanya belum jadi dibikin. Hal ini pun bukan yang dikehendaki
oleh kita.
Kita membutuhkan sebuah kota idaman seperti yang
didambakan Joel Kotkin (2005) yakni mengandung tiga prasyarat: sacred
(bersih/indah), safe (aman dan nyaman), dan busy (dinamis).
Mengerem Urbanisasi
Penyebab kesesakan kota salah satunya adalah meningkatnya
angka urbanisasi. Bagaimana mengerem laju urbanisasi ini?
Pelaku urbanisasi biasanya berasal dari daerah-daerah
minus; minus lapangan kerja, minus kawasan industri, dan minus-minus lainnya.
Maka dari itu, pemkot yang didatangi pelaku urban ini saban tahun sebaiknya
melakukan komunikasi dengan pemda asal pelaku urbanisasi.
Pemda asal pelaku urbanisasi seyogyanya berkolaborasi
dengan pihak swasta dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru, industri baru
dan semacamnya. Sehingga laju urbanisasi yang selalu meningkat tiap tahun
dapat direm dan direduksi. Trennya harus dibalik, menjadi
"de-urbanisasi"; bahwa sesungguhnya di daerah tak kalah punya banyak
peluang lapangan kerja.
Pemerintah pusat bisa menggerakkan universitas untuk
membuat program pemberdayaan masyarakat desa. Mahasiswa dipersiapkan menjadi
business leader untuk perubahan masyarakat desa dalam menggerakkan sentra
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertukangan, industri mebel,
industri kerajinan, dan sebagainya.
Penulis sangat terkesan dengan pemuda mandiri alumnus UGM,
Nur Agis Aulia, yang pernah diliput media nasional; ia mau kembali ke desa,
mengggerakkan masyarakat desanya di Banten dalam pemberdayaan pertanian,
peternakan, dan perkebunan hingga sukses secara mandiri menciptakan
kelompok-kelompok usaha bisnis baik dari sisi produksi maupun pemasaran.
Perguruan tinggi di Indonesia seharusnya memperbanyak
melahirkan orang-orang semacam itu. Bukan menginspirasi dan membesarkan
daftar panjang antrian CPNS pasca kelulusan mereka dari perguruan tinggi.
Dengan program-program seperti itu, kota Jakarta mampu berevolusi secara
damai, menjadi human city (kota yang manusiawi), ecocity (hijau berhawa
sejuk), dan tentunya lively city (hidup dan nyaman ditinggali). Semoga!
Dirgahayu, Jakarta! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar