Jakarta
untuk Semua
Agus Harimurti Yudhoyono ; Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute
|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2017
MENJELANG ulang tahun Jakarta ke-490, saya membuka-buka
kembali catatan lama saat mengikuti Pilkada DKI Jakarta. Saya ingat ada
banyak masukan dan permintaan dari masyarakat.
Salah satunya dari Ibu Gri yang menyelipkan secarik kertas
lusuh ke tangan saya. Ia menulis: "Saya seorang ibu, Pak, punya dua
anak. Suami saya tidak mempunyai pekerjaan tetap, kadang kerja, kadang tidak.
Bantu kami dan anak-anak kami, Pak. Beri kami pekerjaan, Pak. Tuhan akan
mengangkat derajat Bapak."
Saya tercenung membaca kembali surat ini. Di balik
gedung-gedung tinggi, gegap gempita, dan gemerlap Ibu Kota, Jakarta menyimpan
wajah-wajah kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Sebenarnya tidak
sulit bagi kita untuk dapat memotret langsung kehidupan warga yang tidak
selalu muncul di televisi, surat kabar maupun media sosial.
Yang saya maksud adalah kehidupan warga yang lemah, tetapi
tak pernah lelah untuk terus bertahan di kota ini, apa pun risikonya.
Permasalahannya, jumlah mereka tidak sedikit dan terus bertambah setiap harinya.
Ada sekitar 2,7 juta warga yang masih berpenghasilan di
bawah upah minimum Provinsi DKI. Sementara itu sekitar 384.000 warga hidup di
bawah garis kemiskinan dan mereka harus bertahan hidup dengan sekitar 510.000
rupiah per bulan. Mereka sering kelaparan dan kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dasar sehari-hari lainnya.
Ketimpangan ekonomi juga menjadi masalah yang pelik di
Jakarta. Jurang antara golongan kaya dan miskin cukup dalam. Dengan rasio
gini 0.41, tingkat ketimpangan di Jakarta termasuk yang buruk bila
dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Selain itu di sana-sini warga Jakarta merasa belum
memperoleh keadilan sebagaimana mestinya. Para pedagang kecil misalnya
mengalami kesulitan mengembangkan usahanya karena tidak memiliki akses
terhadap modal dan tempat usaha. Di bidang hukum cukup banyak warga yang
sulit mendapatkan bantuan hukum, termasuk dalam berbagai kasus penggusuran.
Seperti yang dialami kota metropolitan lainnya di dunia,
di Jakarta terjadi mismatch antara
besarnya jumlah penduduk dengan kemampuan kota mendukung seluruh warga untuk
hidup layak. Jakarta dari awal tidak didesain untuk mengakomodasi 10 juta
orang. Area lahan hunian yang semakin sempit serta sumber daya alam yang
semakin tipis menjadikan kompetisi hidup di Jakarta semakin sengit. Terlebih
dalam rimba globalisasi, biasanya yang kuat akan menang, sedangkan yang
modalnya pas-pasan akan kalah dan sering kali kalah telak.
Menariknya, realitas di atas ditambah dengan persoalan
lingkungan dan sosial, seperti hunian kumuh, banjir, sampah, polusi,
kemacetan lalu lintas, dan kriminalitas, tidak kemudian membendung laju
pertumbuhan penduduk dan urbanisasi.
Hari ini di Jakarta terdapat kekurangan hunian atau
backlog sejumlah 300.000 unit. Kemacetan lalu lintas juga semakin
menjadi-jadi. Kecepatan tempuh rata-rata kendaraan dari satu titik ke titik
lain sekitar 20 km per jam. Angka di atas akan semakin buruk apabila tidak
segera diatasi.
Sulit untuk menyalahkan urbanisasi, apalagi
menghentikannya. Urbanisasi adalah sebuah proses alamiah yang juga terjadi di
seluruh belahan dunia. Ini diyakini karena Ibu Kota menjadi pusat dari segala
aktivitas ekonomi yang menawarkan berbagai peluang. Hampir 70% perputaran
uang di Indonesia terjadi di Jakarta. Di samping itu Jakarta juga kerap
menampilkan potret kekuasaan, kemewahan, dan prestise yang menggoda siapa
pun. Itu semua alasan mengapa Jakarta terus menjadi magnet kuat di negeri
ini.
Urbanisasi dari seluruh penjuru Nusantara meniscayakan
terbentuknya masyarakat Jakarta yang sangat heterogen, baik agama, etnis,
asal daerah maupun status ekonomi. Kita pahami bahwa kemajemukan menghadirkan
kekuatan sekaligus kerawanan tersendiri.
Kemajemukan, jika dikelola dengan baik, akan melahirkan
energi dan ide-ide besar untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya
kemajemukan bisa menjadi sumber malapetaka ketika perbedaan dijadikan sebagai
tembok pemisah antarkelompok.
Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang mengayomi
semua, yang mampu merajut segala keberagaman, serta mampu mempersatukan
rakyat tanpa menjadikannya homogen.
Persatuan dan kerukunan antarwarga di Jakarta merupakan
hal fundamental bagi terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial, dan
keamanan. Itu semua menjadi barometer bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia.
"Panas" di Jakarta hampir pasti "panas" juga di daerah
lain.
Semua warga Jakarta memiliki hak yang sama, termasuk hak
untuk punya mimpi besar, hidup layak, serta kesempatan bekerja guna
meningkatkan derajat hidup. Selain itu kita semua punya hak untuk
mengekspresikan kebebasan serta hak untuk diperlakukan secara adil dan
manusiawi.
Tapi tentu setiap hak selalu diikuti dengan kewajiban.
Pertama, menaati segala hukum yang berlaku. Di negeri ini, di kota ini,
panglimanya adalah hukum; hukum yang ditegakkan secara konsisten dan tidak
tebang pilih. Dalam hal ini setiap pengemban amanat rakyat sepatutnya menjadi
yang terdepan dan mampu menjadi contoh yang baik.
Kedua, di alam demokrasi yang serba digital dewasa ini,
sering kita melihat ekspresi kebebasan individu di luar batas kepatutan. Ini
menimbulkan polemik dan konflik di ruang-ruang publik. Tidak ada larangan
untuk mengungkapkan perbedaan pendapat, termasuk dalam sikap dan pilihan
politik. Namun kita harus mampu menahan diri dari praktik-praktik menebar
amarah, kebencian, dan permusuhan yang hanya akan memecah belah sesama anak
bangsa.
Ketiga, kalau ingin hidup lebih baik di Jakarta, tanamkan
disiplin dan tanggung jawab sejak dini. Awali dari yang paling sederhana
seperti disiplin membuang sampah dan tertib berlalu lintas. Selanjutnya mari
kita terus berkontribusi secara positif untuk kemajuan Jakarta melalui
pemikiran dan aksi nyata. Jadilah bagian dari solusi, bukan masalah. Apa yang
kita lakukan dan tidak kita lakukan hari ini akan menentukan nasib Jakarta
dan anak cucu kita di masa depan.
Memang tidak mudah memimpin dan mengelola Jakarta yang
begitu kompleks. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada semua pemimpin
yang telah bekerja keras membangun Jakarta selama ini. Diiringi doa, saya
juga ucapkan selamat kepada pemimpin baru Jakarta. Kutitipkan cita-cita
besarku untuk Jakarta yang sama-sama kita cintai.
Selamat ulang tahun Jakarta. Semoga menjadi rumah yang
semakin maju, aman, adil, bermartabat, dan sejahtera untuk kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar