Takbir,
"Tekbir", dan Takabur
Hamidulloh Ibda ; Pengajar di STAINU Temanggung;
Alumnus Ponpes Mambaul
Huda Pati
|
DETIKNEWS, 24 Juni 2017
Entah paham atau tidak, banyak sekali umat Islam menulis
kata "takbir" ketika update status di Facebook, atau mengomentari
status temannya. Dengan enteng mereka menulis dan juga secara verbal
meneriakkan "takbir" dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, secara
verbal tidak diucapkan "takbir" melainkan "tekbir".
Takbir merupakan salah satu kalimat tayibah "allahu
akbar" yang berarti pengakuan, diucapkan ketika melihat, merasa dan
mendengar kebesaran Allah. Namun, belakangan takbir tidak lagi diucapkan
dalam ruang religius, melainkan masuk dalam wilayah budaya, bahkan aksi
politik. Kita tentu masih ingat demo besar-besaran yang identik dengan
teriakan takbir.
Setiap kata dalam Islam diucapkan sesuai sebab dan ada
nuansanya. Takbir, secara illat atau sebab, dikatakan ketika melihat sesuatu
yang besar dan mengakui kebesaran Tuhan. Ingat, hanya Tuhan yang
"boleh" dan punya hak "takabur" atau yang paling besar
serta Maha Besar. Tidak ada yang besar di dunia ini kecuali Tuhan.
Belakangan, kata takbir justru digunakan untuk
"membunuh orang" dengan dalih jihad, menyerang, demo dan juga untuk
kepentingan golongan tertentu. Apakah ini wujud "kejumudan" manusia
atau sekadar "topeng" agama yang "seolah-olah" religius?
Dalam Islam, takbir diucapkan dalam ibadah mahzah seperti
salat, haji, juga ritual "takbiran" menjelang dan saat Hari Raya
Idul Fitri maupun Idul Adha. Begitu juga dengan kalimat tayibah lain, seperti
tahmid ("alhamdulillah") diucapkan ketika mendapat rezeki. Tahlil ("la ilaha illallah"), tasyahud ("asyahadu
alla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah")
diucapkan untuk mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah dan lainnya.
Politisasi Takbir
Indonesia memang menarik dengan berbagai budaya dan
keanekaragaman faham yang berkembang. Adanya ormas radikal belakangan ini
mengusik perdamaian dan kerukunan umat beragama, bahkan menodai ajaran Islam
sendiri. Dengan sombong, mereka lantang meneriakkan takbir di berbagai ruang
tanpa mengetahui dan menerapkan prinsip rendah hati.
Takbir menjadi dalih untuk menyerang, menyalahkan bahkan
menjadi "legitimasi" perbuatan sekelompok orang untuk melabeli
perbuatan itu agar dicap religius, benar dan jihad. Padahal, tiap kalimat
tayibah, semua baik, namun akan tidak baik jika penempatannya salah.
Ketika umat Islam terkena musibah, tidak mungkin bahkan
"haram" mengucapkan alhamdulillah. Begitu juga dengan peristiwa
lain, di mana umat Islam harus mengucapkan kalimat tayibah sesuai konteks,
bahkan inter-teks.
Klaim benar sendiri dan yang lain salah juga memicu
intoleransi dan penyempitan ajaran Islam. Banyak penganut faham radikal
dengan dalih "jihad", melakukan kekerasan dengan menyuarakan
kalimat takbir. Hal itu seolah-olah "didorong" Tuhan, padahal dalam
Islam, Tuhan selalu menyeru persaudaraan dan perdamaian. Baik itu ukhuwah
islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan
kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).
Politisasi takbir untuk kepentingan golongan tertentu ini
menjadikan wajah Islam semakin belang bonteng alias rusak. Islam yang menjadi
agama rahmat bagi semua makhluk, harus dipahami di berbagai wilayah. Artinya,
orang Islam harus bisa menjadi agen perdamaian; di mana ada dia, maka amanlah
nyawa, martabat dan harta orang di sekitarnya.
Jika ada orang Islam, atau organisasi Islam, namun tidak
bisa menciptakan kegembiraan orang di sekitarnya, maka mereka hakikatnya
"pura-pura" Islam. Lebih tepatnya, mereka belum mencapai derajat
khalifah di bumi. Sebab, tugas manusia tidak hanya menjadi
"abdullah" atau hamba Allah, namun ia harus menjadi khalifah yang
membawa misi kasih sayang, perdamaian dan rahmat bagi semua makhluk.
Hakikat Takbir
Takbir hakikatnya pengakuan manusia kepada Tuhan bahwa
manusia adalah kecil dan hina. Maka, Tuhan melalui perintah puasa,
mengajarkan umat Islam untuk menjadi manusia yang lemah selama sebulan penuh.
Ketika berpuncak pada malam menjelang Hari Raya Idul Fitri, maka
diperintahkan untuk "merayakan takbir" semalam suntuk.
Pesan itu menjadikan kita tahu, bahwa takbir bukan sekadar
ucapan verbal, melainkan ada aspek teologis, sosiologis, dan juga aspek
humanis. Namun, mengapa banyak umat Islam salah memahami takbir dan
menggunakannya untuk kepentingan kelompok?
Dalam usul fikih, ada kaidah alhukmu yazurru ma'a
illatihi, wujudan au adaman (hukum beredar sesuai illat-nya, baik yang tampak
maupun yang tidak). Artinya, hukum mengucapkan takbir adalah ketika kita
melihat kebesaran Tuhan yang membuat manusia itu kecil dan tidak berdaya.
Bukan mengucapkan takbir untuk "menjadi takabur" dan seolah-olah
menjadi Tuhan.
Pengkuan itu menjadi representasi bahwa manusia adalah
makhluk lemah, tempatnya salah dan lupa. Maka dalam Islam, setelah Hari Raya
Idul Fitri, setelah semalam suntuk menggemakan takbir, kita disuruh meminta
maaf kepada Tuhan, orangtua, saudara dan semua makhluk. Di sinilah salah satu
hakikat takbir yang menyeru umat Islam untuk "bisa merasa", bukan
"merasa bisa".
Maka, falsafah orang Jawa berbunyi bisa rumangsa (bisa
merasa) bukan rumangsa bisa (merasa bisa) harus menjadi jalan untuk mengakui
kebesaran dan kebenaran Tuhan. Sebab, yang pantas dan punya hak atas baju
kebesaran adalah Tuhan, bukan nabi, malaikat apalagi manusia biasa.
Ketika kita meneriakkan takbir, justru hal itu menjadi
pengakuan lisan bahwa hanya Tuhan yang Maha Besar. Namun, hakikat takbir
tidak sekadar diucapkan, melainkan mendarahdaging dan berangkat dari hati
manusia. Sebab, setiap kata yang keluar dari mulut kita ada nuansanya, rasa,
dan juga sesuai mitra tutur.
Dalam sosiolinguistik, tingkatan bahasa juga variatif dan
memakai kode. Mulai dari kode bahasa, kode sastra dan kode budaya. Jika
mengucapkan takbir untuk melegitimasi kebenaran dan menyerang orang, hal itu
belum termasuk kode bahasa, apalagi masuk ke kode sastra dan budaya. Sebab,
kode bahasa menganjurkan orang berbahasa harus sesuai konteks, mitra tutur
dan menggembirakan lawan bicara.
Dengan perangkat bahasa yang menjadi kelebihan manusia
dibandingkan hewan, sudah seharusnya manusia berbahasa santun, sesuai
konteks, menyenangkan dan membangkitkan kemesraan. Kalimat takbir harus
mendekatkan kita dengan Tuhan, bukan sebaliknya; masih banyak orang
mengucapkan kalimat takbir untuk "menyombongkan" diri, takabur
berlebihan, dan melegitimasi perbuatan dengan label jihad. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar