Upaya
Preventif Melawan Terorisme
Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi
Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KOMPAS, 24 Juni 2017
Aksi terorisme sudah menjadi ancaman global bagi umat
manusia. Belum lama kita dikejutkan oleh bom bunuh diri di Halte Transjakarta
Kampung Melayu, Jakarta, yang menewaskan beberapa orang dan melukai puluhan
lainnya.
Dalam waktu berdekatan aksi serupa dilakukan di Inggris,
Pakistan, dan Mesir. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengklaim
bertanggung jawab atas berbagai aksi terorisme itu.
Dalam waktu yang hampir sama, Pemerintah Filipina
mengumumkan ada empat teroris asal Indonesia yang terlibat dalam pertempuran
di kota Marawi yang diduduki para teroris kelompok Maute. Sementara Polri
merilis informasi bahwa tujuh warga Indonesia (WNI) terlibat aksi terorisme
di Marawi, Filipina selatan.
Peristiwa di Inggris, Filipina, dan Indonesia terkait satu
sama lain sebagai aksi global terorisme yang dikoordinasikan oleh NIIS.
Karena itu, diperlukan perencanaan strategis dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan aksi terorisme. Perencanaan ini memerlukan dukungan kebijakan
yang kuat, baik dari sisi penegakan hukum maupun dari sisi preventif melawan
terorisme.
Revisi UU No 15/2003
Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sedang dibahas di DPR perlu
dibahas secara komprehensif, baik dari pendekatan pemberantasan (hard approach) maupun pencegahan (soft approach). Pemberantasan memiliki
pengertian dilakukan setelah peristiwa terjadi. Sementara pencegahan memiliki
arti agar tindakan terorisme tidak terjadi.
Tulisan ini menekankan upaya memperkuat langkah preventif
sebagai strategi pencegahan agar terorisme tidak berkembang. Langkah ini
perlu melibatkan masyarakat sipil sebagai pembawa pesan melawan narasi dan
pengaruh kelompok pendukung terorisme.
Dalam rangka tindakan preventif melawan terorisme dan
membangun kontra narasi, maka berbagai kelompok sosial dapat menjadi pembawa
pesan strategis dalam upaya pencegahan. Kelompok strategis yang dapat
dilibatkan untuk melakukan kontra narasi ini meliputi; tokoh masyarakat dan
pemimpin agama, para mantan teroris, keluarga, korban dan orang-orang yang selamat,
dan pemerintah.
Dalam konteks ini, penguatan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) menjadi strategis. Badan ini dibentuk untuk mengembangkan
kebijakan, strategi, dan program serta mengoordinasikan berbagai lembaga
negara yang terkait dalam implementasi kebijakan melawan terorisme (counter-terrorism).
Kontranarasi radikalisme
Salah satu langkah strategis sebagai upaya preventif
menghadang pengaruh paham ekstrem dan terorisme adalah dengan melakukan
gerakan melawan narasi terorisme dengan sasaran masyarakat umum, pemberi
pengaruh utama, simpatisan gagasan ekstrem, dan pelaku terorisme itu sendiri.
Sara Zeiger (2016) dalam "Melemahkan Narasi Ekstremis
Brutal di Asia Tenggara", menyatakan untuk membuat kontra narasi dari
kelompok radikal dan terorisme perlu dilakukan analisis faktor-faktor
pendorong dan penarik yang menjadi penggerak radikalisme dan rekrutmen.
Faktor pendorong merujuk pada keluhan sosial-ekonomi yang
berkaitan dengan kekuatan dan tekanan eksternal pada seseorang, misalnya
ketegangan etnis, kurangnya peluang ekonomi, pengangguran, pendidikan rendah,
tindakan pemerintah atau militer. Faktor penarik merujuk pada berbagai faktor
psikososial yang menarik seseorang ke arah ekstremisme brutal, misalnya
ideologi, keinginan menjadi pahlawan, dan insentif ekonomi.
Selama ini ada empat narasi utama yang digunakan dalam
melakukan rekrutmen yang dilakukan oleh kelompok teroris, yaitu narasi
religius atau ideologis, narasi politik, narasi sosial, dan narasi ekonomi.
Dengan memahami narasi dominan tersebut maka dapat dipahami bahwa tindakan
militer dan penghukuman tidak cukup untuk memberi dampak mencegah pengaruh
paham terorisme. Langkah tersebut harus komplementer dengan kontra narasi
yang dilakukan di luar operasi represif, melalui penyadaran kognitif.
Upaya pencegahan atas bahaya terorisme juga dapat
dilakukan dengan tiga pendekatan. Pertama, melakukan kontra radikalisme
kepada berbagai kelompok yang belum terinfeksi dengan ideologi ekstrem.
Kelompok korban dan mantan teroris yang sudah sadar dapat terlibat dengan
melakukan kampanye di sekolah-sekolah tentang bahaya terorisme.
Kedua, melakukan disengagement
kepada anggota kelompok radikal dan mantan teroris untuk memutus penggunaan
kekerasan. Ketiga, upaya program deradikalisasi kepada mantan anggota
jaringan terorisme untuk menanggalkan ideologinya yang ekstrem dan
berkampanye menentang terorisme.
Selain itu, pendekatan untuk mencegah publik mendukung
radikalisme dan terorisme adalah dengan cara melibatkan para korban terorisme
itu sendiri yang kebanyakan adalah orang biasa, dan banyak yang satu agama
dengan pelaku. Para korban dan keluarganya akan lebih menyentuh hati dan
perasaan publik, bahwa korban utama dari terorisme adalah kemanusiaan. Karena
itu, terorisme harus dihentikan.
Korban dan orang-orang yang selamat dari terorisme adalah
pembawa pesan utama yang kredibel, karena mereka mengungkapkan dampak yang
nyata dari kekerasan dan kisah mereka dapat mematahkan legitimasi terorisme
dan menunjukkan wajah manusiawi dari konsekuensi aksi terorisme.
Pada akhirnya, terorisme adalah musuh kemanusiaan dan
musuh semua agama. Karena itu, upaya preventif bukan saja menjadi urusan
pemerintah, tetapi juga urusan semua orang yang ingin melindungi kemanusiaan.
Upaya preventif haruslah merupakan sinergi antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan cara itu ruang gerak terorisme tidak memiliki masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar