Prahara
Timur Tengah (1)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI)
|
REPUBLIKA, 15 Juni 2017
Prahara. Agaknya kosakata ini tidak berlebihan dilekatkan
pada keadaan yang terjadi di Timur Tengah sejak awal Ramadhan 1438/2017.
Sangat memprihatinkan. Ramadhan yang dimaksudkan untuk pengendalian hawa
nafsu angkara murka pada satu pihak dan penguatan solidaritas sesama Muslim
(ukhuwah Islamiyah) pada pihak lain, justru ditandai prahara.
Lihatlah, sejak awal Ramadhan (26/5/17) pemboman bunuh
diri atas nama Islam terjadi di berbagai negara, khususnya di negara Muslim
di Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika. The Daily Wire akhir pekan lalu
(9/6/17) menurunkan tajuk berita: “Muslims Go on Killing Spree during
Ramadan—950 Dead So Far, More than 1.000 Injured” (Orang-orang Islam Terus
Melakukan Pembunuhan selama Ramadhan—950 Tewas Sejauh Ini, Lebih 1.000
Cidera).
Target serangan tidak hanya manusia hidup. Muslimin yang
sudah jadi mayat pun tak luput dari aksi teror seperti terjadi di waktu
pemakaman putra Wakil Ketua Parlemen Afghanistan (2/6/17). Bahkan almarhum
Ayatullah Ruhullah Khomeini tidak dibiarkan ‘beristirahat’ tenang; makamnya
juga menjadi sasaran aksi teror (7/6/17).
Menurut catatan The Daily Wire dalam waktu 30 hari
terakhir, secara keseluruhan di berbagai penjuru dunia—termasuk di Asia dan
Eropa, terjadi 193 serangan di 30 negara atas nama Islam. Dalam semua aksi
teror itu, 1.786 orang tewas dan 1.828 cidera.
The Daily Wire juga menurunkan daftar kekerasan dan
terorisme—yang terlalu panjang untuk dimuat di Resonansi ini. Daftar aksi
kekerasan dan terorisme nampak bakal terus bertambah karena ketika The Daily
Wire menurunkan daftar panjang itu (9/6/17), Ramadhan baru melewati
setengahnya.
Sebagian besar aksi teror itu dilakukan atas nama ISIS.
Entah benar entah tidak, pelaku aksi teror menyatakan tindakannya dilakukan
atas perintah ISIS. Atau diklaim langsung oleh ISIS sebagai aksi yang
diperintahkannya. Sebagian aksi kekerasan dilakukan orang atau kelompok yang
kelihatan terlepas dari ISIS, tetapi terkait dengan al-Qaeda atau kelompok
teroristik trans-nasional lain.
Aksi teror ini sering diklaim para pelakunya sebagai
mengikuti jejak ‘Perang Badr’ yang pernah dilakukan Rasulullah (13 Maret
624M/17 Ramadhan 2H). Rasulullah menang dalam perang ini meski jumlah pejuang
Muslim hanya 313 orang melawan 1.000 orang barisan kafir Quraysh.
Tetapi para pelaku aksi teror tidak mau tahu bahwa Perang
Badr dilakukan Rasulullah untuk menghadapi kaum kafir Quraysh yang ingin
menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Sementara ‘Perang Badr’ yang dilakukan
orang atau kelompok teroristik terutama terhadap kaum Muslimin lain. Secara
sporadis juga mereka lakukan di Eropa.
Di tengah kecamuk ‘killing spree’, prahara bertambah
dengan munculnya ‘krisis Qatar’. Krisis bermula ketika Arab Saudi beserta
sekutunya (Uni Arab Emirat, Bahrain, Mesir, Libya, Somalia, Yaman,
Mauritania, Maladewa dan Komoro) memutus hubungan diplomatik dengan Qatar
(5/6/2017). Pemutusan hubungan diplomatik ini disertai penghentian hubungan
dagang dan perjalanan.
Seperti lazimnya, konflik di antara Saudi dan sekutunya
dengan Qatar segera mengundang campur tangan pihak asing. Presiden AS, Donald
Trump bukan berusaha meredakan krisis, sebaliknya dia menyatakan dukungan
pada aksi Saudi dan kawan-kawannya. Padahal, Qatar memfasilitasi AS dengan
pangkalan militernya di al-Udeid, terbesar di Timur Tengah.
Dalam pada itu, Qatar juga menemukan sekutu dan
pelindungnya. Pertama adalah Turki. Parlemen Turki segera menyetujui
pengiriman pasukan ke Qatar. Presiden Erdogan meski mengimbau agar krisis
Qatar diselesaikan secara damai, dia segera mengirim pasukan sekitar 3.000
orang ke Qatar.
Sekutu dan pelindung Qatar lain adalah Iran, juga salah
satu negara besar Timur Tengah yang sekaligus musuh bebuyutan Arab Saudi.
Meski belum mengirim pasukannya, tetapi Iran telah melakukan operasi udara
untuk pengiriman bahan makanan ke Qatar.
Jadi, jika penyelesaian krisis Qatar secara damai tidak
tercapai, sementara ekskalasi konflik terus meningkat, bukan tidak mungkin
terjadi perang dalam skala besar (full scale war) di Timur Tengah. Seandainya
perang terjadi (na’udzu billah min dzalik), prahara kian berlipat ganda di
kawasan Timur Tengah.
Oleh karena itu, pada tempatnya kita menghimbau para
pemimpin negara-negara ini kembali kepada akal sehat dan nuraninya. Konflik
dan krisis yang tidak terselesaikan damai hanya menambah kenestapaan dan
penderitaan anak manusia.
Pada saat yang sama kita perlu mengapresiasi usaha
Presiden Jokowi dengan berbicara langsung melalui telepon dengan Presiden
Erdogan dan juga Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad al-Tsani (10/6/17). Sebelumnya
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengundang Dubes Arab Saudi dan Dubes Qatar
di Jakarta.
Dengan inisiatif itu, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf
Kalla ingin mengetahui krisis Qatar lebih mendalam. Meski Presiden Jokowi
menyatakan belum bisa menyimpulkan masalah apa persisnya, sepatutnya
Indonesia lebih meningkatkan peran mediasinya untuk mencegah terjerumusnya
Timur Tengah ke dalam keadaan lebih buruk.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar