Internet
dan Globalisasi Universal
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS, 22 Juni 2017
Google akhirnya bersedia membayar pajak!" Sebuah
kabar gembira pada Juni 2017. Keberhasilan memaksa Google membayar pajak
layak diapresiasi sebagai langkah penting mendudukkan kedaulatan fiskal
sekaligus kedaulatan digital Indonesia pada porsinya. Perkara kedaulatan ini
penting dibicarakan karena, seperti kata Milton Mueller (2013), dunia sedang
menghadapi "globalisme unilateral" dalam tata kelola internet
global. Internet telah menjadi realitas global. Separuh penghuni Bumi telah
terjangkau internet. Internet membawa perubahan pada seluruh bidang hidup.
Persoalannya, globalisasi internet secara unilateral hanya
dikontrol satu negara: Amerika Serikat. Kekuatan yang secara oligopolistis
menguasai komputerisasi dan digitalisasi global adalah perusahaan AS: Apple,
Google, Microsoft, Amazon, dan Facebook. Lanskap informasi global seperti
tecermin dalam ketentuan, perjanjian, protokol, dan skema dalam tata kelola
internet sedemikian rupa menggambarkan keinginan, ambisi, rencana dan
kepentingan AS.
Di satu sisi, kenyataan ini dapat dipahami karena AS yang
menemukan internet dan berupaya paling keras mengembangkannya. Sejak 1960-an
pemerintah, militer, dan pebisnis AS terus mengembangkan teknologi
komputerisasi dengan investasi besar.
Di sisi lain, digitalisasi ternyata berdampak eksesif
terhadap daya hidup berbagai negara. Digitalisasi melahirkan ketimpangan.
Kekuatan ekonomi AS mengambil surplus ekonomi begitu besar dan bikin efek
"kanibalistis-parasitis" terhadap ekonomi lokal (Vincent Mosco
2016).
Yang terjadi bukan hanya meredupnya bisnis media
konvensional akibat munculnya media baru berbasis teknologi digital.
Digitalisasi telah menjangkau semua bidang dan melahirkan perubahan
revolusioner dalam mode organisasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan
komunikasi.
Sebagai gambaran, ketika kecerdasan buatan telah meluas
diterapkan, berbagai jenis pekerjaan diserahkan kepada mesin, robot, atau
komputer sehingga melahirkan gelombang pengangguran baru. Petugas kebersihan,
teknisi percetakan, loper koran, wartawan, pegawai bank akan hilang pekerjaan
dan negara harus mencari solusi segera. Surplus ekonomi yang dihasilkan dari
proses digitalisasi pada aras itu sebagian besar diambil produsen teknologi
digital yang mengontrol digitalisasi dari negara lain.
Seperti diteliti Robert W McChesney, karena tata kelola
internet yang demikian ini, surplus ekonomi digital belum banyak
berkontribusi terhadap pengembangan perekonomian lokal.
Pajak dan keamanan data
Persoalan berikutnya: pajak. Pendapatan terbesar Google
dan Facebook berasal dari iklan digital. Di manakah pajak atas iklan itu
harus dibayarkan, di negara asal pengiklan atau di negara tempat aplikasi
didaftarkan? Muncul ketakpastian dan ketakadilan di sini. Kompas.com,
Detik.com, Bukalapak, Tokopedia, dan semua media daring di Indonesia harus
bayar pajak untuk penghasilan iklannya, sementara Google, Facebook, Yahoo,
dan Twitter, dengan pendapatan iklan jauh lebih besar bebas dari kewajiban
bayar pajak. Tahun 2016 perusahaan raksasa digital itu meraih 70 persen dari
total belanja iklan digital Indonesia.
Soal lain: keamanan data personal. Perusahaan seperti
Google, Facebook, dan Yahoo merekam data pribadi setiap pengguna dan
memanfaatkannya sebagai basis periklanan digital. Kita tak tahu persis untuk
keperluan apa lagi data itu dimanfaatkan. Di sini kita berbicara privasi
pengguna internet yang tiba-tiba saja surel pribadi, akun media sosial, atau
aplikasi Whatsapp- nya dimasuki iklan digital tanpa izin. Kita juga berbicara
keamanan data yang dikelola perusahaan layanan mesin pencari atau media
sosial dari kemungkinan diretas atau dimanfaatkan pihak yang bermaksud jahat.
Dalam konteks ini muncul inisiatif mengoreksi dominasi AS
dalam tata kelola internet global. Sebagaimana dicatat Dan Schiller (2014),
Pemerintah Kenya, India, Mesir, Meksiko, dan Tiongkok sejak 2011 mengajukan
tuntutan tentang transisi pengelolaan internet global dari Pemerintah AS ke
sebuah lembaga multilateral. Dalam pertemuan Meja Bundar Internet pada
September 2012 di Tiongkok, hal yang sama ditegaskan Rusia, Brasil, dan
Afrika Selatan. Mayoritas negara yang hadir sepakat mengatasi globalisme
unilateral internet oleh AS dengan memberi wewenang The International
Telecommunication Union (ITU) mengatur tata kelola internet global. ITU
adalah organisasi PBB yang beranggotakan 192 negara dan bereputasi dalam tata
kelola telekomunikasi internasional.
AS tegas menentang gagasan itu. Pemerintah dan pelaku
bisnis AS secara lantang menyatakan adanya "ancaman PBB terhadap
kebebasan berinternet". Penolakan juga dilakukan AS ketika mayoritas
negara peserta Konferensi Dunia tentang Telekomunikasi Internasional 2012 di
Dubai menyuarakan tuntutan serupa. Menempatkan ITU sebagai otoritas baru
internet global, menurut AS, dapat mengganggu iklim kebebasan berinternet dan
kebebasan informasi. Menariknya, tak lama kemudian AS justru mencederai
kebebasan berinternet dengan mencekal wikileaks yang membocorkan berbagai
"ketakpatutan" dalam kebijakan luar negeri AS.
Apa yang dapat disimpulkan di sini? Ekspansi Google,
Microsoft, Apple, dan Facebook ke seluruh dunia merupakan cerminan kebijakan
ekonomi dan strategi geopolitik negeri "Abang Sam". Ekspansionisme
AS itu dihadapi dengan sikap proteksionis berbagai negara. Mereka menyadari
penetrasi teknologi digital menimbulkan banyak persoalan baru pada aras
kedaulatan informasi, kedaulatan ekonomi, dan kedaulatan politik. Mereka tak
mau hanya jadi sasaran dari ekspansionisme digital AS. Langkah
"proteksi" pun dilakukan unilateral maupun multilateral.
Bagaimana posisi Indonesia? Sejauh mana pemerintah telah
melindungi kepentingan media nasional (konvensional maupun digital) dalam
lanskap global yang berkecamuk itu? Apa saja langkah pemerintah dalam menjaga
kedaulatan digital nasional? Berorientasi nasional bukan berarti menutup
diri. Terintegrasi dalam lanskap digital global adalah keniscayaan. Keberadaan
Google, Apple, Microsoft, dan Facebook sulit ditolak. Yang perlu dilakukan
adalah bagaimana memanfaatkan integrasi tanpa terus menjadi obyek
eksploitasi.
Kita tidak menolak keberadaan kekuatan asing, tetapi mesti
mengetahui betul kemungkinan eksploitasi dan manipulasi yang mereka lakukan
dan mampu mengantisipasinya dengan penguasaan masalah yang menyeluruh,
strategi jelas, dan kemampuan bersikap tegas. Sleeping with the enemy.
Demikian kira-kira rumusannya.
Keberhasilan memaksa Google membayar pajak adalah langkah
penting. Namun, revolusi digital tak hanya melahirkan masalah pajak, tetapi
juga kesenjangan ekonomi, iklim berusaha yang timpang, surveillance
capitalism, dan keamanan. Kompleksitas masalah yang tak mungkin dihadapi
sendiri. Karena itu, Indonesia harus lebih determinatif dalam forum
internasional yang berusaha mengoreksi globalisme unilateral seperti dibahas
di atas. Indonesia adalah negara besar dalam hal jumlah pengguna internet dan
potensi ekonomi digital, tetapi dengan peran yang terkesan pinggiran di
panggung tata kelola internet global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar