Mudik
sebagai Perjalanan Suci
Iqbal Aji Daryono ; Tinggal sementara di Perth, Australia; Kadang-kadang
mudik ke Bantul, Yogyakarta; Sehari-hari bekerja sebagai sopir merangkap
kurir
di sebuah perusahaan
jasa pengiriman
|
DETIKNEWS, 20 Juni 2017
Tiap kali mendekati pekan mudik nasional, istri saya
selalu bercerita tentang sahabatnya. Si sahabat asli Jogja, punya suami orang
Lombok. Pasangan tersebut sama-sama kerja di Jogja, dan tiap Lebaran harus
mudik ke Lombok. Nah, buat mudik sejauh itu bersama dua anak mereka, ongkos
minimal 15 jutaan harus selalu mereka alokasikan. Untuk empat biji tiket
pesawat PP, oleh-oleh, juga angpao Lebaran buat para keponakan.
Cerita semacam itu tentu lazim belaka. Namun ia selalu
muncul sebagai dalil, sebelum kami memungkasi obrolan dengan mengucap syukur
sembari meletakkan keluarga kami sendiri sebagai prototipe keluarga paling
beruntung di muka bumi. "Alhamdulillah, kita nggak pernah perlu keluar duit
sebanyak itu tiap Lebaran...."
Kami memang nggak pernah mudik. Buat apa mudik? Lha wong
dari kecil sampai beranak satu kami tinggal di udik terus, kok. Rumah kami di
Bantul. Kalau mau ke rumah orangtua cukup naik motor 10 menit, mau ke rumah
mertua cukup 25 menit. Peknggo saja, kalau istilah Jawa-nya. Ngepek tonggo,
alias menikahi anak tetangga. (Tentu saja bukan tetangga beneran. Toh kami
dulu kenal di kampus, bukan di pekarangan rumah waktu dia sedang menjemuri
sarung bapaknya.)
Dengan situasi geografis seperti itu, momen Lebaran selalu
sangat simpel buat kami sekeluarga. Ringkas, dan yang paling penting di atas
segalanya: ekonomis.
Namun setelah saya pikir-pikir sambil nyeruput kopi
selepas buka puasa, saya jadi malu sendiri. Betapa materialistisnya cara kami
memandang sebuah prosesi akbar bernama pulang kampung. Suatu kemudahan hidup
kami anggap sebagai berkah semata-mata karena kami merasa lebih irit
dibanding orang-orang lain.
Padahal, hanya karena kami tak pernah repot mudik, apa
lantas artinya tabungan kami tiba-tiba jadi menggelembung bertambah 15 juta?
Duh, ternyata enggak hahaha.
Saya jadi ingat peristiwa dua tahun silam, ketika seorang
so-called intelektual melontarkan pandangan yang luar biasa cerdas tentang
ibadah haji dan umroh. Dia mengatakan, "Biaya haji dan umroh yang 30
triliun per tahun itu bisa dipakai bikin 600 ribu rumah untuk orang miskin.
Makanya mending nggak usah ke Mekah, tapi buat sosial saja."
Gagasan itu jelas mulia, karena muatannya adalah keinginan
untuk menolong fakir miskin. Di titik itu saya sendiri mendukungnya.
Sayangnya, ada konstruksi logika yang terlalu matematis di situ. Akibatnya,
sang intelektual malah jadi lupa bahwa yang sedang ia bicarakan bukan semata
uang, melainkan juga manusia-manusia yang menggerakkan uang.
Begini maksud saya. Pernyataan tersebut mengandaikan bahwa
di setiap dompet calon jamaah haji sudah teronggok duit, katakanlah
masing-masing 40 juta rupiah. Maka, biar lebih bermanfaat, ibadah haji
dihapus saja, sehingga untuk seterusnya setiap onggokan duit 40 juta per
orang itu bisa disumbangkan untuk aksi sosial. Begitu, bukan?
Pertanyaan saya, memangnya dari mana datangnya duit 40
juta itu? Apakah waktu bangun tidur tahu-tahu mereka nemu buntelan di bawah
bantal, yang isinya duit semua? Atau karena sejenis mukjizat tertentu,
168.000 orang (sesuai kuota tahun 2015) itu mendadak mendapati rekening
mereka masing-masing menggembung dengan tambahan 40 juta entah dari mana?
Nah, sisi itu yang dilupakan oleh penggagas ide. Ia lupa
bahwa ritual, dalam keyakinan apa pun, bukan sekadar tindakan fisik, namun
juga aktivitas batin. Ritual bukan cuma memeras tenaga dan menyerap anggaran,
namun juga menyalakan motivasi. Ritual bukan hanya melibatkan nota-nota
pembayaran dan barang-barang belanjaan, melainkan juga spirit dan emosi.
Maka tak perlu heran ketika mendapati banyak orang
menjadikan haji sebagai cita-cita ultimate mereka dalam hidup. Baju boleh
kumal, rumah boleh reyot, tapi kepuasan hidup mereka diraih saat berhasil
sowan ke Tanah Suci.
Naif? Irasional? Dari kacamata sekolahan mungkin iya. Tapi
andai orang-orang itu tidak punya orientasi hidup untuk berhaji, apa lantas
duit 40 juta bisa mereka dapatkan dari hasil kerja? Wo ya belum tentu. Sebab
sangat mungkin pembakar semangat mereka untuk bekerja keras ya impian haji
itu.
Pendek kata, logika penghapusan ibadah haji seperti
tergambar di atas adalah logika orang yang kepalanya hanya berisi kalkulator.
Si so-called intelektual menafikan bahwa dalam hidup yang penuh misteri ini
ada banyak sisi di luar kalkulasi rasional-mentahan yang mampu menggerakkan
etos manusia.
Malang sekali, ternyata saya sendiri pun tak beda. Otak
saya hanya berisi untaian biji-biji sempoa saat memahami ribuan orang yang
berbondong pulang ke kampung halaman mereka. Padahal, mudik tak bedanya
dengan haji.
Tunggu, tunggu. Jangan marah dulu dengan kalimat saya
barusan. Tentu saya nyeletuk "mudik tak bedanya dengan haji" bukan
dalam kerangka menyetarakan keduanya pada dimensi ibadah. Ini semata karena
melihat kesamaan karakter pada dua ritual tersebut.
Dalam mudik, citra yang kasat mata adalah orang-orang
pulang ke kampung, bertemu ayah-bunda dan sanak saudara. Namun di balik
tampilan visual, yang bergerak adalah gairah untuk kembali ke akar,
kerinduan, air mata, dan cinta.
Dalam mudik, tersedia momentum. Kita semestinya ingat
Tuhan setiap saat, tapi agama menyediakan momentum sembahyang pada
waktu-waktu khusus. Kita seharusnya senantiasa mengontrol naluri hewani kita
agar menegaskan diri sebagai manusia, tapi agama menyediakan momentum bulan
puasa. Begitu pula, kita sepantasnya tak henti mengasihi keluarga dan
orang-orang tercinta, tapi ritual mudik menyediakan momentum agung untuk
merayakan kerinduan kita.
Dalam mudik, biaya dihamburkan. Namun, tidak sempatkah
terpikir bahwa sangat mungkin etos para lebah pekerja di kota-kota besar itu
meluap-luap memang karena orientasi mudik? Mereka ingin pulang kampung
setahun sekali sambil membawa kelimpahan kejayaan, membuat bangga orangtua
mereka, membuat berdecak kagum kawan-kawan masa kecil mereka.
"Itu riya! Tradisi show off berpadu dengan
konsumtivisme!"
Hoahmm, saya tidak sedang ingin pusing dengan hal-hal
begituan. Memangnya kritik atas itu ngaruh seberapa jauh sih selama ini?
Biarlah soal-soal demikian diurus para ustaz dan pengamat
sosial saja. Saya sendiri lebih suka melihat bahwa dalam pemborosan akibat
mudik ada berkah bagi banyak orang. Ada anak-anak yang bahagia mendapat uang
saku lebih, ada ibu-ibu yang dagangan kue nastar dan kastangelnya laris
manis, ada sista-sista olshoper yang stok baju muslimnya ludes, dan entah ada
berapa ribu orang lagi yang bahagia dengan perayaan pulang kampung nasional
ini.
Akhir kata, selamat siap-siap mudik bagi yang merayakan.
Sadari bahwa prosesi mudik Anda adalah rangkaian perjalanan suci. Maka,
karena mudik ini sakral adanya, ada satu pesan penting dari saya: waktu
syawalan di kampung, jangan merusak suasana dengan mengungkit keributan lama
terkait perdebatan politik di grup-grup Whatsapp Anda. Itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar