Mewaspadai
Ketimpangan
Muhammad Husein Heikal ; Kolumnis; Sedang menyelesaikan studi di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara;
Saat ini menjadi salah
seorang analis di Economic Action (EconAct) Indonesia
|
DETIKNEWS, 19 Juni 2017
Ketamakan melahirkan ketimpangan. Ketamakan membuat
orang-orang berlomba menumpuk pundi-pundi kekayaannya hingga menduduki posisi
miliuner. Sementara di sisi lain masih banyak orang miskin, menganggur dan
pada akhirnya tersingkir. Inilah ketimpangan!
Satu hal yang tidak disadari –atau pura-pura tidak kita
sadari– ketimpangan menciptakan kecemburuan sosial yang terpendam di kalangan
orang miskin.
Persoalan ketimpangan tidak hanya menyangkut masalah
pendapatan dan kekayaan. Ketimpangan pada strukturnya adalah mengenai
kekuasaan. Joseph Stiglitz menyimpulkan dalam The Great Devide (2015),
sesungguhnya ketimpangan adalah gejala sadar yang sengaja diciptakan oleh
kaum elit, yang menerima manfaat paling besar dari tatanan itu.
Secara struktural proses tersebut terjadi, sehingga sulit
untuk dihilangkan. Karena itu, ketimpangan ekonomi menyebabkan ketimpangan
kekuasaan dalam hal siapa yang membuat aturan, siapa yang menguasai modal dan
sumberdaya, dan siapa yang dapat menantang status quo.
Ketidakseimbangan kekuasaan yang berakibat pada
ketimpangan yang lebar antara kelompok kaya dan kelompok lain semakin
melanggengkan ketimpangan. Mereka yang berada di atas memiliki akses
istimewa, dan pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang dimanfaatkan
agar perekonomian dan berbagai kebijakan dapat melayani kepentingan mereka.
Adapun kepentingan orang-orang yang berada di bawah
cenderung tidak dihiraukan. Hal ini pada gilirannya berakibat pada
ketidakstabilan sosial. Pasalnya, ruang politik dan ekonomi digunakan untuk
memenuhi kepentingan segelintir orang daripada kepentingan banyak orang.
Indonesia adalah bangsa yang tengah digerogoti sumber
alamnya dan dihisap kekayaannya untuk ditimbun orang-orang serakah. Padahal,
semestinya seluruh potensi dan hasil kekayaan alam menjadi sumber pendapatan
utama negara yang ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukannya kepentingan
pemilik modal belaka.
Jumlah miliuner meningkat dari 1 pada 2002 menjadi 20 pada
2016. Kelompok ini meraup dua pertiga hasil kekayaannya dari praktik bisnis
kronisme, yang dimungkinkan karena kedekatan dengan penguasa. Tak heran,
Crony Capitalism Index Indonesia bertengger di peringkat ketujuh dunia.
Dengan praktik seperti itulah rakyat miskin hidup, dan
menonton sinetron kehidupan kaum elit. Meningkatnya jumlah miliuner sangat
kontras dengan kemiskinan yang tak kunjung terselesaikan. Tetaplah sejati,
akar masalah ketimpangan ialah kemiskinan.
Data BPS (September 2016) menunjukkan jumlah masyarakat
miskin Indonesia 10,7% atau 27,76 juta jiwa dengan mayoritas masyarakat
pedesaan. Namun, jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas
kemiskinan, yaitu US$ 2 atau Rp 26.600 pendapatan/hari/orang, maka penduduk
miskin Indonesia masih sangat tinggi, 47% atau 120 juta jiwa dari total
populasi.
Betapa berbahaya ketimpangan. Apalagi lembaga berkaliber
Credit Suisse, Oxfam, INDIF, Bank Dunia telah mengumumkan ketimpangan
Indonesia sangat darurat. Segelintir orang menguasai hampir separuh aset
nasional. Sungguh mengangga ketimpangan itu; kekayaan 4 orang terkaya di
Indonesia setara dengan 100 juta penduduk termiskin.
Sebagian besar masyarakat yang menjadi responden Bank
Dunia juga menilai distribusi pendapatan "sangat tidak setara", dan
mendesak pemerintah agar segera mengatasi ketimpangan. Telah banyak
kekhawatiran timbul di masyarakat. Sebab, dapat kita katakan, para penganggur
sangat mudah dipengaruhi, disebabkan tidak adanya kepastian finansial.
Ketimpangan menjadi bom waktu yang sangat membahayakan,
dan bisa meledak kapan saja. Bila tidak segera diatasi, ketimpangan yang
telah memasuki tahap darurat ini bakal mengancam stabilitas, dan sangat
berpotensi reaktif menjadi gejolak sosial di masyarakat.
Fakta saat ini Indonesia merupakan negara terburuk keempat
dalam hal ketimpangan, setelah Rusia, India dan Thailand. Membaca data BPS,
gini index Indonesia per September 2016 berada di posisi 0,394. Menurun
dibanding setahun sebelumnya, yang masih di posisi 0,402.
Rasio gini 0,4 sampai 0,5 termasuk dalam ketimpangan
kategori sedang, dan pemerintah telah mengklaim hal ini sebagai keberhasilan
menurunkan ketimpangan di masyarakat. Meski demikian, menurut ekonom Faisal
Basri kecenderungan ketimpangan jangka panjang masih menunjukkan pemburukan
dengan rasio gini yang terus naik di atas 0,4.
Perlu diingat rasio gini yang dihitung BPS tersebut tidak
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan (income inequality) maupun
ketimpangan kekayaan (wealth inequality). BPS menghitung rasio gini hanya
berdasarkan data pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas). Tentunya, ketimpangan pengeluaran lebih rendah dari
tingkat ketimpangan pendapatan dan kekayaan.
Telah diingatkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1406) bahwa
pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan. Sedangkan keadilan
merupakan standar penilaian keberhasilan penguasa, dan penguasa dibebankan
tanggung jawab untuk mewujudkannya.
Bila ingin menerapkan skema keadilan, maka pertumbuhan
ekonomi tidak bisa dijadikan tujuan. Pembangunan ekonomi harus lebih
memerhatikan upaya peningkatan kesejahteraan secara merata, sebab pertumbuhan
ekonomi tidak mencerminkan kondisi riil, dan hanya tersaji dalam data belaka.
Bila pertumbuhan ekonomi naik, belum tentu angka kemiskinan akan berkurang.
Indonesia dalam kurun 15 tahun terakhir mengalami
pertumbuhan ekonomi yang kuat. Akan tetapi, manfaat dari pertumbuhan ini
hanya dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya atau golongan elit saja. Ini bermakna
bahwa pertumbuhan tidak inklusif, dengan artian pembangunan masih menyisihkan
masyarakat miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar