Pelajaran
dari Marawi
Suhardi Alius ; Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
|
KOMPAS, 24 Juni 2017
Bulan Ramadan yang penuh berkah, kini menjadi genangan air
mata dan darah di Marawi, Mindanao, Filipina. Orang-orang tergeletak tak
bernyawa di sepanjang jalan, di antara reruntuhan bangunan, atau di tengah
hutan. Mereka yang hidup pun penuh ketakutan, kelaparan, sebagian disandera
atau terancam dibombardir.
Otoritas Filipina menyebut sedikitnya 1.000 warga masih
terjebak di sebagian wilayah kota Marawi. Mereka yang nekat menerobos batas
kota diterjang peluru, hanya sedikit warga yang berhasil keluar hidup-hidup.
Pertempuran di Marawi memasuki minggu keempat sejak diberlakukannya
darurat militer di Mindanao oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Meskipun
tentara Filipina berhasil menewaskan 200-an militan pro Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS), dari polisi atau tentara Filipina juga berjatuhan korban.
Sedikitnya 26 warga sipil dan 58 polisi atau tentara Filipina tewas selama
pertempuran di Marawi.
Berlarutnya tentara Filipina dalam menguasai daerah itu
karena pertempuran terjadi di kawasan perkotaan, lansekap gunung, dan hutan
di tengah kepulauan mempersulit tentara Filipina. Bahkan para militan ada
yang bersembunyi di tengah permukiman. Mereka menjadikan warga sipil sebagai
"tameng manusia" saat menghadapi serangan tentara Filipina.
Sudah lama tercium militan terkait NIIS bercokol di
Filipina selatan itu sehingga membuat waspada negara-negara Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Ada empat kelompok militan, Ansarul Khilafah Philippines
(AKP), Klan Maute, dan Fron Pembebasan Islam Bangsamoro (BIFF), dan kelompok
Abu Sayyaf. Keempat organisasi militan itu berbaiat kepada NIIS dua tahun
lalu. Kelompok tersebut menyatakan pemimpin Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon,
sebagai pemimpin NIIS Asia Tenggara.
Polri, BIN, TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) telah meningkatkan kewaspadaan di pulau-pulau terluar wilayah Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan
Kalimantan Utara yang dapat menjadi jalur pelarian teroris dari Marawi. Kita
tak ingin terorisme mendapatkan ruang dan tempat di Indonesia.
Merusak harmoni
Aksi terorisme kerap memakai jargon keagamaan, jihad, dan
pengutipan kitab suci (seperti NIIS, Al Qaeda, Al-Nusra, Taliban, dan Boko
Haram). Hal itu memberikan kesan bahwa terorisme diajarkan oleh agama. Para
pemimpin dunia maupun tokoh agama telah menyuarakan terorisme itu tak punya
agama, tak memandang suku atau wilayah.
Sebagai negara majemuk dengan penduduk mayoritas Muslim,
selama ini kita hidup harmonis dengan
semua suku, agama, ras, dan keragaman lain.
Terorisme tidaklah menggambarkan masyarakat kita. Tapi aksi teror
membuka kita bahwa bahwa ada saja warga yang terjaring terorisme dengan
beragam motif seperti perjuangan politik, solidaritas terhadap konflik di
Timur Tengah, iming-iming kesejahteraan, atau masalah individu yang gagap
menjalani hidup di tengah era globalisasi, era digital, era media sosial saat
ini.
Beberapa aksi intoleransi, antiminoritas, radikal, teror
tampak memenuhi halaman depan media massa maupun media digital. Diamnya
silent majority (mayoritas yang diam) - atau kalau pun ada - tenggelam dan
tak bergaung, sehingga yang tampak kemudian bukan lah wajah Indonesia yang
ramah, santun, toleran, suka menolong.
Sebenarnya kelompok ini secara persentase sangat kecil,
tetapi terkesan dominan karena didiamkan dan dibiarkan dengan berbagai
argumentasi, termasuk keterbatasan regulasi. Karena itu silent mayority perlu
bersuara dan bergerak mendukung pemerintah menjadi garda terdepan dalam
merepresentasikan wajah Indonesia yang ramah, rukun, dan bebas dari
radikalisme.
Fokus pencegahan
Propaganda yang dilancarkan kelompok radikal sangat masif
terjadi di berbagai aspek. Konten radikal di dunia maya terlihat sangat
bebas. Masyarakat yang hidup diwarnai ketimpangan sosial, pengangguran,
rendahnya kemampuan literasi, menjadikan rentan terjerat ke dalam radikalisme
dan terorisme.
Karena itu, salah satu dari multistrategi BNPT adalah
menggalang elemen masyarakat membentuk forum koordinasi pencegahan terorisme
(FKPT) di berbagai wilayah di Indonesia. Forum ini menjalankan tugas atau
program pencegahan radikalisme dan terorisme.
Para pengurus FKPT terdiri dari para tokoh masyarakat,
akademisi, tokoh adat, tokoh ormas, tokoh media, tokoh pemuda, tokoh
perempuan, dan unsur pemerintah daerah. FKPT dituntut berperan aktif untuk
menggandeng masyarakat berpartisipasi penuh mencegah aksi terorisme.
Hingga saat ini FKPT sudah tersebar di 32 provinsi. Dengan
kehadiran FKPT di daerah diharapkan mampu mengantisipasi berbagai hal negatif
terkait ideologi, radikalisme, dan terorisme di masyarakat. Salah satu upaya
mencegah adalah dengan menggelar berbagai macam kegiatan untuk melahirkan
ketahanan masyarakat dalam menghadapi dinamika perkembangan dunia khususnya
radikalisme.
Secara konkret, FKPT berkunjung ke sekolah, perguruan
tinggi, tempat ibadah, organisasi berbasis agama, pesantren, kelompok muda,
untuk memberikan pemahaman dan melatih berbagai elemen masyarakat tentang
bahaya terorisme, strategi, dan teknik menangkalnya. Ini penting karena
masyarakatlah yang memiliki peran strategis memutus mata rantai berkembangnya
paham radikal terorisme.
Era digital telah menghadirkan berbagai informasi ke
seluruh belahan dunia, dapat diakses oleh siapa saja, di mana pun, dan kapan
pun. meskipun pada satu informasi itu seragam, tetapi pada tingkat individu
dapat diterima dengan berbeda, karena hal ini ditentukan oleh cara berpikir,
sifat emosional serta tingkat spiritual individu yang menerima.
Kemahiran teroris memanfaatkan internet dan media sosial
menjadikan masyarakat pengguna rentan. Berbagai propaganda dan doktrin mereka
tersebar di dunia maya, mencari simpatisan, pendukung, dan rekrutmen baru.
Tidak sedikit dari yang sekadar simpati, pendukung pasif berubah menjadi
pendukung aktif.
Mewaspadai dan mengantisipasi pola tersebut, BNPT terus
menggalakkan kontra-radikalisasi melalui kontra-narasi, kontra-propaganda,
dan kontra-ideologi untuk meningkatkan imunitas dan daya tangkal masyarakat.
BNPT menggelar berbagai kegiatan yang menggalang para generasi muda untuk
menjadi duta damai dunia maya dengan konten damai dan positif.
Generasi muda adalah pengguna internet terbanyak. Sekitar
56,7 persen pengguna internet berusia 17-34 tahun (Data APJII, 2017). Tapi
lemahnya literasi di kalangan anak muda menyebabkan mereka mudah terjaring
dan terprovokasi konten yang mereka akses. Padahal mereka diharapkan mampu
menjadi duta damai yang aktif melakukan literasi media, literasi digital,
juga dapat mengajak lingkungan agar tak terjerumus dalam radikalisme.
Bencana kemanusiaan selalu menyertai di mana pun terorisme
berada. Karena itu, negara bersama seluruh rakyat harus terus melakukan upaya
menangkal dan mencegah terorisme.
Mari belajar dari Marawi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar