Perpecahan
Demi Monumen Sang Ayah
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 22
Juni 2017
MENGAPA perpecahan keluarga Lee Kuan Yew terjadi sekarang?
Bukan tahun lalu? Bukan tahun depan?
Saya tahu: karena sekarang ini sudah mendekati tanggal 3
Juli 2017.
Akan ada apa tanggal 3 Juli depan?
Rupanya, menurut rencana, akan ada keputusan komite
kabinet perdana menteri Lee Hsien Loong menyangkut rumah di Jalan Oxley No
38. Itulah rumah yang jadi sumber perpecahan. Rumah itu ditempati Bapak
Pendiri dan Bapak Pembangunan Singapura Lee Kuan Yew. Selama 70 tahun. Di
rumah itu Lee Kuan Yew muda (umur 22 tahun) memulai hidup. Di rumah itu
mendirikan partai PAP. Yang menang Pemilu terus menerus. Sejak zaman
kemerdekaan sampai sekarang. Di rumah itu Lee Kuan Yew tinggal selama jadi
perdana menteri. Selama jadi Menteri Senior. Selama jadi Menteri Mentor.
Selama di pusat kekuasaan. Selama 50 tahun.
Di rumah itu Lee Kuan Yew menjadi bapak untuk tiga
anaknya: Lee Hsien Loong, Lee Wei Ling dan Lee Hsien Yang.
Di rumah itu pula mayat Lee Kuan Yew diupacarakan untuk
diberangkatkan. Bukan ke makam tapi ke krematorium. Yang abunya ditabur ke
laut.
Apakah rancangan keputusan komite kabinet yang akan
diambil tanggal 3 Juli depan?
Entahlah. Saya tidak tahu.
Tapi dua adik PM Lee Hsien Loong rupanya sudah dapat
bocoran. Atau dugaan. Komite kabinet akan memutuskan untuk menolak rencana
pembongkaran rumah di Jalan Oxley 38 itu. Komite akan memutuskan untuk
menjadikannya rumah sejarah.
Saya tidak tahu apakah bocoran atau dugaan dua adik Lee
Hsien Loong itu benar. Rakyat Singapura juga tidak tahu. Bahkan rakyat
Singapura awalnya tidak tahu kalau ada komite seperti itu. Ini memang komite
rahasia, tuduh sang dua adik.
Rakyat Singapura baru tahu adanya komite itu setelah
perpecahan ini menjadi konsumsi publik. Padahal komite itu ternyata sudah
resmi dibentuk Pemerintah bulan Juli tahun lalu. Mereka terlambat tahu.
Itulah rupanya yang membuat dua adik Lee Hsien Loong
menilai kakak sulungnya mempunyai rencana rahasia. Mempunyai maksud tertentu.
Dan itu, tuduh mereka, berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
Mengapa dua adik Lee Hsien Loong keberatan dengan rencana
keputusan komite untuk menjadikan rumah bersejarah itu sebagai monumen
sejarah?
Mengapa keduanya begitu marahnya sampai membuka soal
perpecahan keluarga terhormat ini ke ranah publik? Mengapa begitu marahnya
sampai memutuskan untuk meninggalkan Singapura dan memilih akan hidup di
negara lain?
Sebenarnya kedua adik Lee Hsien Loong itu keberatan kalau
disebut sebagai pihak pertama yang melempar perpecahan keluarga ini ke
publik. Memang keduanyalah yang lebih dulu memposting di Facebook mereka: mau
hengkang dari negeri sendiri. Postingan yang membuat publik gegap gempita.
Tapi yang sebenarnya lebih dulu membawa persoalan ini ke publik adalah
Pemerintah. Yakni dengan dibentuknya komite kabinet Juli tahun lalu. Ini
kalau ranah Pemerintah adalah ranah publik.
Kedua adik Lee Hsien Loong menduga komite ini akan
memutuskan: rumah No 38 itu jangan dibongkar. Harus untuk monumen sejarah
Singapura.
Padahal sesuai dengan wasiat mendiang bapak mereka rumah
itu harus dibongkar. Wasiat yang ditulis tahun 2011 itu memang berubah tujuh
kali. Di wasiat pertama tegas disebutkan rumah itu harus dibongkar. Tapi di
perubahan berikutnya pasal itu dicabut. Sedang di perubahan ketujuh, atau
disebut sebagai wasiat terakhir, tahun 2013, keharusan pembongkaran itu
dimasukkan lagi.
Komite kabinet mencurigai adik ipar Lee Hsien Loong.
Dialah yang mendalangi masuknya kembali pasal pembongkaran itu. Dialah yang
mempengaruhi bapak mereka. Yang saat itu sudah berumur 89 tahun.
Lepas siapa yang benar, pada dasarnya mendiang Lee Kuan
Yew tidak hanya bicara soal pembongkaran itu di surat wasiatnya. Semasa
jayanya, beberapa kali Lee Kuan Yew memberikan wawancara terbuka. Disiarkan
secara luas. Terekam abadi. Tegas sekali. Rumah itu harus dibongkar. Lengkap
dengan alasannya. Khas Lee Kuan Yew: rasional dan pragmatis.
Rumah itu sudah tua. Dibangun di akhir tahun 1890-an.
Tanpa pondasi. Untuk merenovasinya mahal sekali. Menganggu tetangga yang mau
maju. Misal: tetangga yang mau membangun gedung bertingkat menjadi sulit.
Tiang pancangnya bisa membuat rumah No 38 roboh. Akhirnya nilai properti tetangga-tetangganya
tidak bisa meningkat. Yang seperti itu merugikan orang lain.
Begitulah sikap pragmatis Lee Kuan Yew. Begitu pula soal
mayatnya. Dia tidak mau diabadikan seperti Mao Zedong. Bahkan tidak mau ada
kuburan. Dia minta dikremasi. Abunya dibuang ke laut. Beres. Seperti tokoh pembangunan Tiongkok
Deng Xiaoping.
Di samping alasan praktis-pragmatis
Ternyata ada juga alasan filosofinya. Ini saya ketahui
dari pidato pelepasan jenasah Lee Kuan
Yew tahun 2015 lalu. Yang berpidato adalah Lee Shangwu, 29 tahun saat itu.
Anak sulung Lee Hsien Yang. Cucu Lee Kuan Yew. Ponakan Lee Hsien Loong,
perdana menteri Singapura saat ini. Sepupu Lee Hongyi bin Lee Hsien Loong (27
tahun saat itu).
Dalam pidatonya itulah Lee Shangwu menceritakan salah satu
pengalamannya. Saat ikut makan siang bersama kakeknya. Lee Kuan Yew memang
selalu mengajak semua anak, menantu dan cucu makan siang bersama. Seminggu
sekali. Di hari Minggu. Di rumahnya di jalan Oxley No 38 itu.
Di salah satu makan siang itulah Lee Kuan Yew, menurut Lee
Shangwu, bercerita. Tentang tragisnya akhir kejayaan Mesir kuno. Kejayaan itu
hanya terlihat dalam bentuk peninggalan monumen. Mesirnya sendiri runtuh.
Sampai sekarang. Mesir tetap menjadi negara miskin.
Kakeknya, menurut Lee Shangwu, tidak menghendaki monumen
seperti itu. Monumen terbaik, katanya mengutip kakeknya, adalah monumen
hidup: kenyataan hidup yang makmur yang dirasakan rakyat dan negara. Monumen
berupa Singapura yang maju, modern, berorientasi ke depan, selalu mengejar
zaman. Itulah monumen yang sebenarnya. Tidak ada gunanya, katanya, berdiri
monumen megah tapi negaranya miskin.
Lee Kuan Yew konsisten dengan itu. Singapur maju, modern,
makmur dan terus berubah mengikuti zaman. Sedang rumah No 38 tetap seperti
itu. Tidak pernah berubah. Sangat jelek. Dibanding tetangga-tetangganya.
Apalagi dibanding pusat kotanya. Perabotnya pun masih meja kursi yang sama.
Dan ... kata Lee Shangwu, setiap Minggu makan siang adalah makanan yang juga
masih sama.
Para pengkritik Lee Kuan Yew, para pembela demokrasi,
punya alasan tambahan. Tentu subyektif. Setengah humor. Mungkin Lee Kuan Yew
tidak mau, di masa depan, monumennya bernasib seperti monumen diktator
lainnya: Stalin atau Sadam Husein atau ....
Kesimpulannya: Lee Hsien Loong benar kalau dia menginginkan
ada monumen yang begitu bersejarah. Dua adiknya juga benar kalau ingin
memenuhi keinginan ayahnya agar tidak perlu ada monumen seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar