Jangan
Menjadi Marawi
Oman Fathurahman ; Guru Besar Filologi FAH;
Peneliti Senior PPIM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS, 21 Juni 2017
Saya tak pernah membayangkan kota Marawi di Mindanao,
Filipina selatan, akan mengalami tragedi terburuknya saat ini.
Saat melakukan riset atas manuskrip-manuskrip kuno di
Marawi bersama Profesor Kawashima Midori dari Sophia University, Tokyo,
Februari 2012, situasi keamanan masih cukup terkendali. Obrolan dengan tokoh
agama dan masyarakat setempat saat itu pun nyaris tidak pernah menyinggung
adanya kemungkinan kota ini diakuisisi oleh kelompok radikal yang
mengatasnamakan Islam.
Sebagian besar tokoh Islam yang kami temui di Marawi
berpaham Islam moderat, alumni Al Azhar, Kairo, dan sangat menghormati Muslim
Indonesia. Kami sangat leluasa menjalankan misi penyelamatan manuskrip kuno
sebagai benda bersejarah (cultural heritage) di Marawi, melalui digitalisasi
dan kajian. Semua berubah ketika kelompok militan Maute muncul ke permukaan!
Pemusnahan situs
Konflik bersenjata di Marawi hingga kini belum berangsur
pulih bahkan lebih buruk sejak kelompok militan Maute yang berafiliasi ke
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), mulai menyerang dan mengambil alih
kota Marawi pada 23 Mei lalu. Ini menambah deretan konflik bersenjata yang
berkepanjangan terjadi di Timur Tengah.
Konflik bersenjata tidak hanya selalu meninggalkan tragedi
kemanusiaan, melainkan juga penghancuran artefak-artefak kebudayaan. Militan
radikal di wilayah konflik tak segan menyasar perusakan rumah ibadah, lembaga
pendidikan, situs arkeologis, museum, perpustakaan, monumen serta pembakaran
manuskrip-manuskrip bersejarah. Ini juga mulai terjadi di kota Marawi.
Bagi kelompok militan ekstremis, pemusnahan situs
bersejarah (cultural cleansing) adalah bagian dari taktik perang mereka untuk
menggoreskan "luka jangka panjang" dalam sejarah dan peradaban umat
manusia.
Memperhatikan pola dan taktik kaum ekstremis terkait
penghancuran situs bersejarah yang semakin nyata tersebut, pada 24 Maret
lalu, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat menyepakati "Resolusi 2347
(2017)" tentang protection of the heritage di daerah konflik. Resolusi
ini menganggap cultural cleansing sebagai kejahatan perang (war crime) yang
harus dicegah oleh semua pihak. "Weapons are not enough to defeat
violent extremism. Building peace requires culture also; it requires
education, prevention, and the transmission of heritage", demikian
penegasan Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova.
Kini, Marawi menjadi kepanjangan misi kelompok radikal
NIIS di wilayah Asia Tenggara. Laporan Komite Palang Merah Internasional
(ICRC) di Manila mengonfirmasi telah terjadinya perusakan rumah ibadah dan
fasilitas pendidikan Mindanao State University (MSU). Bukan tak mungkin,
mereka juga akan menghancurkan manuskrip-manuskrip bersejarah di Marawi yang
sangat tak ternilai karena keunikannya, dan karena tak diketahui adanya
salinan manuskrip-manuskrip itu di perpustakaan manapun di dunia.
Dua koleksi
Adalah Aleem Usman, tokoh agama di Marawi yang menjadi
kunci "penemuan" dua koleksi manuskrip kuno di kota Marawi, dan
memandu kami melewati tempat pemeriksaan (checkpoint) keamanan lima tahun
lalu. Dua koleksi tersebut adalah Al-Imam As-Sadiq (AS) Library, Husayniyyah
Karbala, serta Shiek Ahmad Basher Memorial Research Library. Sayang, Aleem
Usman wafat pada 2014 lalu.
Koleksi pertama warisan Haji Muhammad Said, atau Sayyidna,
seorang ulama pengembara abad ke-19 asal Magonaya, Mindanao, yang pernah
singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang, sebelum tujuh tahun belajar
di Haramayn. Sedangkan koleksi kedua milik perpustakaan Jamiatu Muslim
Mindanao, sekolah Arab tertua di Filipina selatan. Dari dua koleksi ini, ada
sekirtar 100 manuskrip yang mayoritas berbahasa Melayu selain Arab dan
Maranao.
Manuskrip-manuskrip di Marawi adalah bukti tertulis
sejarah pertemuan dan dialog agama Islam abad ke-18 dan 19 dengan keragaman
budaya lokal setempat. Tidak beda dengan di Indonesia, manuskrip-manuskrip
semacam itu sangat penting dalam konteks memahami watak Islam Nusantara yang
mampu berdialog dengan keragaman, beradaptasi dengan tradisi lama, bukan
sebaliknya, Islam yang hanya berkiblat pada satu tafsir kebenaran tunggal.
Sejumlah teks juga mengonfirmasi kuatnya jaringan keilmuan
sarjana Muslim di Filipina selatan ini dengan saudara Melayu-nya di Aceh,
Palembang, Pattani, Banjarmasin, bahkan Banten dan Cirebon. Pengetahuan ini
bahkan belum disebut sejarawan terkemuka Azyumardi Azra ketika menulis magnum
opus-nya tentang "Jaringan Ulama Nusantara" (1994).
Kini, saya benar-benar tidak tahu, bagaimana nasib
keberadaan manuskrip-manuskrip di dua koleksi di Marawi ini. Padahal, menurut
rencana misi penyelamatan dan kajian akan dikembangkan ke wilayah-wilayah
potensial lainnya dalam koleksi-koleksi lain yang mulai terkuak, seperti
Koleksi Guro sa Masiu, Ismael Yahya, Nuska Alim, Abdulmajeed Ansano, Guro
Alim Saromantang, dan Sheikh Abdul Ghani.
Bagi saya, manuskrip-manuskrip tersebut adalah saksi bisu
akar identitas "asli" masyarakat Muslim Melayu Mindanao yang sebelumnya
moderat dengan tarekat dan neo-sufisnya, dan kini bergeser menjadi militan
radikal. Pemerintah Filipina dan lembaga-lembaga semisal ICRC memiliki
kewajiban moral atas nama peradaban umat manusia, untuk menjalankan misi
protection of heritage, di samping protection of civilians yang telah sangat
baik dilaksanakan.
Kita berharap Indonesia tidak menjadi Marawi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar