Menakar
Kesalehan Sosial Kita
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU)
|
KOMPAS, 24 Juni 2017
Gemuruh takbir bergema menyambut datangnya Idul Fitri,
sekaligus mengakhiri kekhusyukan umat Islam beribadah selama bulan suci
Ramadhan. Gema takbir menjadi penanda kemenangan telah tiba.
Jika kita renungkan secara mendalam, gema takbir
sesungguhnya merupakan ikrar dan pernyataan kita selaku hamba-hamba yang daif
di hadapan Sang Khalik Yang Maha Agung.
Makna takbir, dalam hemat saya, sesungguhnya adalah
keadaan menisbikan diri karena tak ada yang lebih besar dibandingkan dengan
Allah SWT. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang penuh keterbatasan,
kekurangan, dan kedaifan.
Menilik makna takbir secara ontologis yang demikian mulia,
maka ketika mengucapkannya tidak boleh dibarengi dengan kesombongan dan
keangkuhan diri. Sebab hal itu sejatinya bertentangan dengan hakikat takbir
itu sendiri.
Menurut pakar bahasa Arab, Tamam Hassan (1988), makna
takbir sejatinya adalah penisbatan sesuatu kepada yang lebih besar. Artinya
jika kita bertemu benda, fenomena, atau hal-hal yang kita anggap besar, Allah
SWT sesungguhnya jauh lebih besar dari semua itu.
Sejatinya Allah itu Maha Lebih Besar dari yang kita
perkirakan. Kebesaran Allah jauh melampaui apa yang kita asumsikan. Sebab,
asumsi dan perkiraan kita sebagai makhluk sangatlah terbatas.
Dalam bahasa budayawan Emha Ainun Nadjib (2016), memaknai
kebesaran Allah harus bersifat dinamik, tidak statis. Seorang hamba yang
benar-benar menemukan kebesaran Allah, akan senantiasa merendahkan diri di
hadapan Allah.
Akurasi dalam memaknai takbir ini dalam pandangan saya
akan sangat berpengaruh pada pola penghayatan keberagamaan kita. Semakin
dangkal kita memahami arti takbir, semakin dangkal pula gerakan dan tindakan
beragama kita.
Bahkan belakangan fenomena takbir banyak digunakan untuk
sesuatu yang tidak tepat. Inilah letak pentingnya presisi dan akurasi pemaknaan
yang berujung pada pemahaman yang baik.
Dalam pada itu, gema takbir yang menandai datangnya Idul
Fitri membawa kita pada dua makna, yakni kemenangan dan kembali pada
kesucian. Kemenangan yang dimaksud meminjam Al-Jurjani (2008) adalah
kemenangan yang diraih seorang hamba karena berhasil berperang menaklukkan
hawa nafsu selama sebulan penuh. Maka hal yang dianjurkan adalah fitr atau
iftar yang artinya berbuka.
Ada sebagian yang memaknai Idul Fitri sebagai momentum
kembali kepada kesucian diri. Makna ini sejalan dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan Ibnu Khuzaimah "Inilah bulan yang permulaannya (10 hari
pertama) penuh dengan rahmat, yang pertengahannya (10 hari pertengahan) penuh
dengan ampunan, dan yang terakhirnya (10 hari terakhir) Allah membebaskan
hamba-Nya dari api neraka."
Berangkat dari hadis inilah-yang membagi Ramadhan jadi
tiga fase yakni rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka-seorang hamba
yang berhasil menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan berarti telah suci
dari segenap dosa yang pernah ia perbuat. Itulah makna kembali ke fitrah atau
kembali ke kesucian diri.
Kesalehan sosial
Dalam konteks Ramadhan, ibadah puasa sesungguhnya
merupakan ibadah yang melatih kita berbela rasa terhadap sesama. Kita
diwajibkan mengosongkan perut sampai berbuka puasa, itu artinya kita diajak
untuk memahami suasana batin masyarakat miskin dan lemah. Masyarakat yang
bukan saat bulan puasa saja menahan lapar, tetapi bahkan sepanjang tahun.
Selama Ramadhan kita diajarkan untuk berzakat, infak, dan sedekah
untuk berbagi dengan sesama. Ajaran berderma terhadap mereka yang papa dan
lemah, menjadi bukti bahwa agama amat menjunjung tinggi solidaritas
kemanusiaan. Agama hadir dan berperan melindungi yang lemah.
Islam menjunjung tinggi kemanusiaan, membangun solidaritas
sosial, terutama mengajak membantu kaum yang lemah. Dalam Al Quran Surat Al
Maun, umat Islam diingatkan tentang makna penting membangun kesalehan sosial.
Tak tanggung-tanggung, Allah SWT mengecam manusia yang
hanya mementingkan ibadah mahdlah, tetapi meninggalkan kesalehan sosial.
"Fawailul lil mushollin. Alladzinahum an shalatihim sahun walladzinahum
yurauna wayamnaunal maun".
Celakalah orang-orang yang lalai terhadap shalatnya.
Yakni, orang-orang yang selalu berbuat dengan pamrih sehingga menghalangi
diri dan orang lain untuk menolong siapa pun yang membutuhkan. Inilah bukti
bahwa kesalehan yang berdimensi sosial menempati posisi yang sangat penting
dalam agama Islam.
Dalam pada itu, pada konteks Idul Fitri dan kesalehan
sosial ini, tradisi khas masyarakat Nusantara yang tidak ditemukan di belahan
Bumi mana pun adalah tradisi halalbihalal. Tradisi ini lazimnya diisinya
dengan kunjung-mengunjungi sanak-saudara, handai tolan, teman-sekerabat untuk
saling meminta dan memberi maaf.
Halalbihalal tersebut merupakan salah satu ibadah
berdimensi sosial. Ia memiliki ekses dan dampak langsung yang bisa dirasakan
secara sosiologis. Sebagai bagian dari upaya menjaga harmoni, tradisi
memaafkan yang tecermin dalam halalbihalal merupakan tradisi yang tidak bisa
tidak, ia harus dilestarikan, dipertahankan, dan bahkan dikembangkan.
Salah satu bukti pentingnya dimensi sosial dalam ibadah
tecermin dalam salah satu kaidah fikih al-muta'adi
afdhalu minal qÃsir yang artinya ibadah-ibadah yang muta'adi (memiliki ekses sosial) lebih utama dibandingkan dengan
ibadah yang sifatnya qasir
(individual) semata.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "KhairunnÃs anfauhum linnÃsi”. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang
lainnya.
Sama persis dengan hal itu, maaf-memaafkan adalah ibadah
yang memiliki ekses sosial yang sangat tinggi. Memberi maaf, meminjam istilah
Mahatma Gandhi, adalah pekerjaan orang kuat. Orang-orang yang bermental lemah
dan berpikiran cupet tidak akan pernah bisa memaafkan.
Pada titik ini saya ingin mengutip sejarawan besar Edward
Gibbon (1999) dalam bukunya The History
of The Decline and Fall of The Roman Empire, yang mengatakan bahwa a great civilization never goes down
unless it destroy itself from within. Sebuah peradaban besar tidak bisa
runtuh dan tenggelam, kecuali jika peradaban itu merusak diri dari dalam.
Kondisi ini sangat mungkin terjadi jika kita berkukuh
dengan ego dan ngotot dengan kebenaran masing-masing. Merasa paling benar.
Merasa yang lain di luar dirinya salah. Angkuh dan cenderung tidak bisa
memaafkan pihak lain. Jika dibiarkan, sangat mungkin sindroma self destruction (merusak diri
sendiri) yang pernah diungkapkan Presiden Soekarno, menjadi kenyataan. Kita
pun tidak menginginkan.
Idul Fitri adalah momentum yang tepat untuk menyambut
datangnya kemenangan. Kemenangan bagi mereka yang tak sekadar menjalankan
ibadah mahdlah saja (hablum minallah),
akan tetapi juga berlaku baik kepada sesama manusia (hablum minannas) dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, kita pun diajarkan untuk menjaga alam dan
lingkungan (hablum minal alam).
Semoga kita selalu diberi anugerah kesejukan dan keberkahan dalam kehidupan
beragama, berbangsa, dan bernegara. Wallahu
a'lam bis showab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar