Pendidikan
Kita untuk Apa?
Joni Hermana ; Rektor ITS
|
REPUBLIKA, 22 Juni 2017
Wacana pelajaran agama di sekolah menjadi topik hangat
akhir-akhir ini. Entah digeser semesternya atau bahkan dihilangkan dari
kurikulum sekaligus. Pelajaran agama dianggap tidak terlalu penting untuk
dijadikan mata pelajaran di sekolah dasar menengah, bahkan dianggap sebagai
media untuk mempengaruhi mahasiswa menjadi radikal di perguruan tinggi. Lengkaplah
sudah kemasygulan yang pernah menyeruak sebelumnya, akibat adanya rencana
kebijakan para petinggi kita untuk menghapuskan kolom agama dalam KTP dan
bahkan memisahkan agama dari kehidupan politik.
Plato pernah suatu kali berujar bahwa pendidikan adalah
untuk membuat orang lebih baik. Sewajarnyalah kalau kita berharap bahwa
ketika kita menyekolahkan anak-anak kita, mereka kelak akan menjadi orang
baik. Baik dalam arti kata seutuhnya, baik otaknya dan baik juga batinnya
serta tentu baik perilakunya.
Pendidikan sejatinya tidak sekedar mengasah otak anak-anak
kita menjadi cerdas belaka, tetapi juga mampu mengasah jiwa atau ruhnya
menjadi lebih berakhlak. Alangkah eloknya kalau kita melihat anak kita ketika
mereka lulus sekolah, mereka cerdas dan juga berakhlak mulia. Santun dalam
bersikap maupun bertutur kata walaupun tetap dengan pemikirannya yang kritis
dan sangat sigap dalam menyikapi suatu persoalan, baik persoalan yang
berkaitan dengan bidang keilmuan atau ipteknya, maupun yang berkaitan dengan
masalah-masalah kehidupan di sekitarnya.
Rasul pernah mengatakan, bahwa orang yang pintar adalah
mereka yang berdimensi akhirat. Artinya, orang yang selalu berperilaku dengan
mempertimbangkan konsekuensi pada dirinya bagi kehidupan akhiratnya kelak.
Dia percaya bahwa ketidakjujuran atau ketidakadilan akan dimintai
pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Setiap langkahnya akan selalu
dilakukan dengan mempertimbangkan masa depannya dikeabadian, sehingga dia
akan selalu berusaha menghindar untuk melakukan hal-hal yang tercela, tidak
adil, menyakiti orang lain, mencederai, korupsi atau sebut apa saja perilaku
yang tidak pas dari sudut pandang akhlak.
Lalu apa yang mampu mengasah dan mendidik akhlak anak-anak
didik kita kalau setiap hari mereka hanya dijejali oleh angka dan rumus serta
logika-logika duniawi yang sebenarnya sangat relatif sifatnya, karena akan
sangat berbeda bagi setiap orang tergantung dari latar belakang, budaya dan
interesnya. Penyikapan terhadap suatu peristiwa akan selalu menjadi
perdebatan panjang karena setiap orang akan berupaya melakukan pembenaran
terhadap kebenaran yang mereka yakini.
Dampaknya bisa diduga, yang kuat yang akan menjadi
'kebenaran' itu sendiri, sementara yang lemah akan menjadi bagian dari mereka
yang terdzalimi. Ini karena, semua nilai kebenaran diciptakan oleh manusia
sendiri yang sebetulnya sangat lemah.
Masih di bulan Juni ini, ketika bangsa kita dengan lantang
menyerukan "saya Pancasila dan saya Indonesia", kira-kira sadarkah
kita dengan ucapan itu ya? Jika kita berkata bahwa Pancasila itu adalah
ideologi bangsa kita, dan salah satu sila pertamanya adalah Ketuhanan yang
Maha Esa, maka mengapa kemudian kita berkata bahwa agama harus dikeluarkan
dari kurikulum sekolah atau agama harus dipisahkan dari politik?
Masih ingatkah kita ketika negara Indonesia ini didirikan,
para bapak pendahulu kita dengan tawadlu menuliskan kalimat "Atas berkat
rakhmat Allah Yang Maha Kuasa...dan seterusnya" dalam Pembukaan UUD
1945? Bahkan, salah seorang sejawat saya dengan gusar mengatakan pada saya
"Bukankah ketika dirimu dilantik jadi Rektor, kamu mengatakan Demi Allah
saya bersumpah...?"
Ini semua, tidak bisa disanggah, berdimensi ketuhanan atau
berorientasi keakhiratan sebagai bentuk konsekuensi sila pertama dalam
ideologi Pancasila negara kita. Karena itu, sebaliknya jika kita
mengingkarinya, berarti secara tidak sadar kita telah mengkhianati Pancasila
itu sendiri.
Makna lebih jauhnya adalah berarti semua sendi kehidupan
di negara kita tidak boleh lepas dari aspek ketuhanan, dan pendidikan
ketuhanan adalah melalui agama. Agama, wajib menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses pendidikan kita, sebab disitulah ruh atau jiwa
anak-anak didik kita diasah agar mereka menjadi insan yang berakhlak. Jadi
tidak sekedar cerdas tapi juga pintar. Pendidikan agama adalah kuncinya,
sebab dimensi ketuhanan adalah aspek ruhiyah yang hanya dapat dibenarkan jika
disampaikan berdasarkan pada masing-masing ajaran agama yang dianutnya.
Kalaupun sekarang banyak kekurangan dalam pelajaran agama,
ini bukan berarti pelajarannya yang harus dihilangkan. Tetapi metoda
penyampaiannyalah yang harus diubah agar lebih mengena. Memang jika diamati
pelajaran agama sekarang lebih mengarah pada mengajari anak tentang
pengetahuan agama, dan ini artinya sekedar menghapal ajaran agama, bukan pada
bagaimana mendidik akhlak anak-anak agar sesuai dengan ajaran agamanya.
Tapi perlu diingat, transformasi mengubah perilaku memang
butuh waktu lama. Saya ingat di Australia guru-guru di sana lebih khawatir
anak-anak mereka tidak bisa menerapkan sopan-santun daripada tidak bisa
berhitung dalam matematika. Karena memperbaiki anak salah berhitung hanya
memerlukan beberapa jam atau hari saja, sedangkan memperbaiki ahlak seseorang
diperlukan waktu tahunan untuk mengubahnya!
Para pendidik kita perlu duduk bersama untuk membuat
proses pendidikan agama di sekolah benar-benar mampu mengasah ahklak anak
didik kita agar mereka menjadi insan yang pintar, yaitu tidak sekedar cerdas
tapi juga berakhlak mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar