Arus
Mudik Dana Remitansi
Mukhaer Pakkanna ; Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta;
Peneliti Center for
Information and Development Studies (Cides)
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2017
SETIAP menjelang Idul Fitri, dana remitansi yang masuk ke
wilayah perdesaan asal TKI migran mengalir cukup deras. Remitansi yang masuk
ke Provinsi NTB, misalnya, sebagai salah satu lumbung terbesar asal TKI,
tercatat Januari 2017 saja telah berada di kisaran Rp111,9 miliar. Pada 2016,
tercatat total remitansi yang arus mudik ke NTB sebesar Rp1,78 triliun
(Bisnis, 2/3). Secara nasional, data BI, total remitansi TKI pada 2015
mencapai Rp119 triliun. Besaran dana itu ternyata mampu melampaui target
capaian program monumental pemerintah, yakni amnesti pajak per 25 Januari
2017 yang hanya Rp110 triliun dan berselisih sempit dana repatriasi yang
dijanjimaniskan para konglomerat yang mencapai Rp140 triliun (Hindharno,
2017).
Mengalir derasnya arus remitansi itu tidak boleh dianggap
sepele karena setidaknya berdampak, pertama, terjadi penguatan ekonomi
keluarga TKI. Kukuhnya ekonomi keluarga menjadi basis pengurangan tingkat
kemiskinan nasional. Kedua, mampu menggerakkan ekonomi desa. Masuknya dana
remitansi memberi multiplier effect terhadap penguatan jaring pengaman
sosial, yang tentunya melindungi masyarakat miskin dari pelbagai turbulensi
ekonomi yang bisa memicu mereka kembali terjerembap jerat kemiskinan. Jaring
pengaman sosial ini penting dalam membangun interaksi program asuransi
sosial, kesehatan, pendidikan, jasa keuangan, penyediaan utilitas dan program
dana desa yang digelontorkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang anggarannya dalam APBN 2017 sebesar Rp60
triliun.
Penguatan ekonomi
Besaran dana remitansi itu sejatinya mampu memompa ekonomi
perdesaan tempat TKI berasal. Studi Bank Dunia (2010) di beberapa negara
berkembang mengonfirmasikan arus remitansi mampu menekan angka kemiskinan.
Dalam 200-2007 misalnya, remitansi mengurangi angka kemiskinan 26,7%, menekan
ketimpangan 55,3%, dan meningkatkan pengeluaran marjinal konsumsi makanan
8,5%. Untuk konteks remitansi TKI, komposisi kontribusi TKI perempuan
ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan TKI pria dalam meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Besarnya kontribusi itu, menurut data BNP2TKI (2015),
disebabkan jumlah TKI migran lebih banyak perempuan daripada pria. Data
tercatat, pada 2015, jumlah TKI migran sebesar 429.872 dengan persentase
perempuan 57% dan pria 43%.
Sementara itu, merujuk survei Asia Research Institute
(ARI), para TKI perempuan dominan bekerja di sektor domestik cenderung
mengirimkan remitansinya lebih besar jika dibandingkan dengan tiga jenis
pekerjaan lainnya yang didominasi pria, misalnya sektor pertanian,
konstruksi, dan produksi. Dominan dana remitansi dimanfaatkan untuk mencukupi
keperluan sehari-hari (35%), selain biaya pendidikan dan keperluan anak-anak
(26%) (Mila Arlini, 2013).
Hasil survei itu menegaskan arus remitansi TKI perempuan
ternyata menyasar pada aspek penguatan ekonomi keluarga inti, yakni ekonomi
entitas rumah tangga dalam rangka memenuhi kebutuhan anggota keluarganya
(Page & Thomas, 2007). Riset BNP2TKI menyebutkan keberadaan satu orang
TKI setidaknya dapat menghidupi tiga sampai empat anggota keluarganya. Jumlah
TKI migran 4 juta orang yang tersebar lebih dari 100 negara setidaknya mampu
menyelamatkan 20 juta orang di dalam negeri sehingga tidak jatuh miskin.
Karena itu, dalam menggerakkan ekonomi perdesaan, alokasi dana remitansi
seyogianya diarahkan pada peningkatan pendidikan, kesehatan, dan usaha-usaha
produktif keluarga. Bagaimanapun, TKI perempuan tidak ada yang mau menjadi
TKI migran dalam rentang yang lama. Karena itu, pengelolaan dana hasil
remitansi itu tidak semata untuk kegiatan konsumtif dan fisik, tapi harus
diatur dalam manajemen lembaga keuangan yang kredibel.
Koperasi perempuan
Dalam pengelolaan dana remitansi di perdesaan, peran
lembaga keuangan mikro (LKM) terutama koperasi setidaknya harus hadir menyapa
keluarga TKI yang ditinggalkan. Model KSU Bina Sejahtera di Desa Sumberboto,
Wonotirto Blitar, misalnya, yang anggotanya dominan perempuan, secara
signifikan mampu memanfaatkan hasil remitansi itu. Dengan dipelopori Ibu
Tukirah, KSU itu membentuk Arisan Hari Raya dan menggerakkan kegiatan
produktif, misalnya, mendirikan toko, membeli sawah, hewan ternak, mesin
produksi, dan lainnya, serta pinjaman modal kepada anggota. KSU yang dikelola
ibu-ibu ini menggerakkan ekonomi desa, meningkatkan kesejahteraan anggota,
dan mengubah pola pikir masyarakat (Srirahayu, 2013).
Model KSU Bina Sejahtera itu cukup sukses karena mampu
memanfaatkan kearifan lokal, seperti memanfaatkan tradisi hari raya, tradisi
keagamaan, keguyuban masyarakat, dan ketekunan kaum perempuan dalam mengelola
usaha. Tentu tidak lupa pula, KSU itu menggunakan manajemen kelembagaan usaha
dan keuangan akuntabel serta memiliki tata kelola yang baik, prosedur
rekrutmen, mekanisme simpan pinjam, dan sistem remunerasi sehingga
optimalisasi dana remitansi menjadi lebih diproduktifkan. Konsep yang
ditawarkan Kementerian Tenaga Kerja RI dengan model desmigratif atau desa
migran produktif pada awal 2017, misalnya, sejatinya sudah mewakili.
Desmigratif dikelola dengan sistem terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Namun, jangan sampai dana remitansi dalam model
desmigratif itu digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana (sapras) desa,
seperti listrik, jembatan, jalan desa, sekolah, dan lainnya. Pengadaan sapras
sejatinya sudah teralokasi dari dana APBN melalui dana desa. Dana remitansi
yang dikelola LKM harus difokuskan penguatan ekonomi keluarga (pendidikan,
kesehatan, kegiatan produktif, dan lainnya).
Pengelolaan dana remitansi oleh LKM yang dikelola kaum
perempuan bisa mempercepat penekanan angka kemiskinan. Studi Mayoux (2009),
yang mengelaborasi peranan LKM dan penguatan perempuan di beberapa wilayah
Afrika (Kamerun, Zimbabwe, Afsel, Kenya, dan Uganda). Mayoux mengemukakan
perempuan merupakan inti keluarga. Penurunan jumlah kemiskinan perempuan
secara otomatis menurunkan jumlah kemiskinan. Dengan demikian, perlunya
kesadaran bahwa menggerakkan ekonomi desa, partisipasi kaum perempuan menjadi
prioritas. Karena itu, dibutuhkan dukungan aparat desa dan tokoh-tokoh
karismatik untuk menjadi pelopor mengoordinasikan pemanfaatan maksimal dana
arus mudik remitansi dengan aransemen kelembagaan ekonomi desa yang
produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar