Bahari
yang Fitri
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2017
DALAM sebuah tanya jawab, Ayah Mursyid, juru bicara
masyarakat Badui Dalam yang tutur katanya halus, santun, dan sangat modern,
bicara dalam beberapa bahasa asing, disodori pertanyaan, “Apa sebenarnya ilmu
orang Badui dalam mempertahankan diri dari serangan, semacam bela diri. Yang
menurut banyak orang kebal dibacok, tahan api, dan sebagainya?”
Jubir yang sangat sederhana, bukan hanya dalam busana,
melainkan juga sikap hingga gerak tubuh hingga tatapan matanya itu menjawab
dengan halus, “Ilmu seperti itu sebenarnya dimiliki orang Banten, bukan
Badui.” “Lalu bagaimana dengan ilmu orang Badui sendiri dalam menghadapi
tantangan atau serangan?” tanya lagi penanya muda yang penasaran itu. “Para
pu’un (tetua adat tertinggi Badui-pen) hanya mengajarkan satu ilmu saja,”
jawab Mursyid, masih dengan kehalusan suara dan bahasa. “Ilmu apa itu?”
sergah sang anak muda tak sabar. Ayah Mursyid sejenak diam, menjawab dengan
lirih tetapi lugas, “Ilmu itu bernama, kejujuran.”
Saya yang kebetulan duduk di sisi sang Mursyid, terhenyak,
terdiam lama, dan merasakan palu godam menghantam semua level kesadaran saya,
mulai sosial, kultural, spiritual, hingga 'ideologis'. Hanya dengan satu ilmu
itu, orang Badui menghadapi dunia yang sekian lama mengaharu biru dirinya,
menciptakan masyarakat yang wajahnya seperti tak pernah dihinggapi
kepeningan, gembira, dan mempertahankan istiadat juga budaya yang ribuan
tahun lamanya.
Dan kenyataan 'luar biasa' itu ada di Indonesia, menjadi
bagian dari negeri dan bangsa ini, menjadi bagian yang sering kita nafikan,
bahkan kita rendahkan, kita bikin eksotik seolah pajangan etalase dalam nafsu
kepariwisataan kita, misalnya. Padahal, ya Allah, begitu banyak pelajaran
dari kesederhanaan, 'keprimitifan' kata sebagian, kita dapatkan juga kita
gunakan sebagai panduan atau cara hidup kita di tengan dunia yang kian tak
terpahami ini.
Namun telanjur sudah, kita yang mengenal pendidikan (ala
Kontinental) dari jenjang PAUD hingga S-S-dan-S itu, kita yang modern,
positivistik, materialistik, dan rasionalistik itu, kita yang menguasai
–tepatnya, mengangkangi--negeri dan bangsa ini (seolah kita yang membuat dan
memilikinya)--secara tidak adil bahkan pandir menganggap semua pelajaran itu
murahan, lampau/kuno, beku, dan tak berguna. Dunia Badui yang diberi roh oleh
adab bahari itu, yang tidak kenal listrik apalagi bangku sekolahan, kita beri
stigma sebagai kumpulan manusia dengan adat, ilmu/kearifan rendah, underdeveloped.
Padahal, siapa bisa merenungkan betapa esensial dan
fundamentalnya nilai yang dijadikan ilmu Badui itu, 'kejujuran'. Bagaimana
dengan nilai itu saja, sebuah kebudayaan bahkan sebuah peradaban yang mampu
memuliakan manusia, juga lingkungan serta alam sekitarnya. Dalam arti
memuliakan semua makhluk-Nya, semua yang ilahiah, dapat dibangun dan
ditegakkan. Namun, ternyata, justru di satu nilai yang menjadi watak purba
bangsa Indonesia itu, kita lack,
lemah, dan incapable.
Pohon spiritual
Hampir semua peristiwa juga fenomena yang terjadi dalam
sekujur nasib bangsa ini dapat ditelusuri sebab muasalnya, dari absennya satu
nilai utama di atas. Mulai pelanggaran kecil dalam cara kita berlalu lintas
di jalan, kekerasan dalam kriminalitas hingga konflik horisontal, manipulasi
jabatan hingga korupsi triliunan. Pohon-pohon kekar dari kejahilan adab masa
kini kita terjadi karena tercerabutnya kita dari nilai/akar kebudayaan kita,
kejujuran.
Tidakkah begitu juga cara kita beragama, beribadah,
meyakini banyak hal yang mistik secara spiritual, hingga puasa dan harapan
akan berkah-berkahnya yang ada selama masa Ramadan ini? Adakah kejujuran itu
menjadi lantai di hati kita untuk bersujud, memasrahkan hidup atau nasib kita
pada-Nya? Atau justru pamrih, dengan sedikit ancaman, yang jadi landasan atau
motif bersujud itu?
Benarkah lapar dan haus menjadi ibadah Ramadan kita bukan
hanya sebagai pelaksanaan perintah-Nya melainkan juga exercise hidup cukup
bahkan kurang sebagai lawan dari gaya hidup kita yang eksesif (berlebih).
Atau semua itu ternyata semata gaya atau lagak keimanan kita?Kejujuran, satu
hal yang kita dapat hikmati dari masyarakat Badui, sesungguhnya hanya satu
dari puluhan nilai dasar (purba) adab dan budaya bahari negeri ini. Nilai
(-nilai) yang daya kerjanya mampu bukan saja menumbuhkan daya hidup atau daya
tahan bangsa ini, melainkan juga memuliakan makhluk-makhluk ilahiah yang
menjadi elemen pembentuknya. Katakanlah nilai-nilai itu (sebagian) antara lain
kebersamaan, keterbukaan, keseteraan, akseptan, dan kesantunan.
Nilai-nilai yang bukan hanya klaim atau keyakinan kosong
sebagaimana ada pada kita saat ini, melainkan juga dapat dijelaskan kenyataan
dan keberadaannya baik secara historis, arkeologis, maupun filosofis. Semua
nilai itu juga yang menjadi akar penunjang pohon spiritual kita, dengan
cabang dan daun keberagamaan kita. Kebenaran supranatural (ilahiah) adalah
kebenaran yang mengisi atau menjadi roh dari tiap jejak, langkah atau cara
kita menjalani hidup ini. Kenyataan purba yang kini langka bahkan hampir
punah dalam kenyataan kontemporer kita. Zaman di saat semua hal yang 'supra'
dan mistis itu sudah kita materialisasi, menjadi ukuran-ukuran palsu atau
artifisial sebagai parameter bagi derajat kemanusiaan kita dalam piramida
sosial (politik, akademik, dst) yang ada saat ini.
Tidak mengejutkan bila kemudian kesalehan kita dalam
ibadah tidak lagi diukur dalam perilaku, sikap, atau produk kreatif yang
menciptakan maslahat bagi orang lain (khalayak), tapi terjebak dalam
simbolisasi busana, gaya hidup, tanda di kening, kedermawan padat pretensi,
hingga ritus-ritus modern yang berharga mahal. Maka, betapa meruginya kita
ketika kita dijambangi tamu terhormat yang bernama Ramadan, kita sambut dan
sikapi dengan artifisialisasi atau kepalsuan semacam itu. Harusnya kita malu,
pada diri sendiri, sebelum kepada Yang Khalik sebagai pengirim duta suci
bernama Ramadan itu.
Ibadah rendah hati
Mungkin ada baiknya, kesalehan kita yang sosial saja diisi
oleh sebesar-besarnya kerendahan hati, sebagai produk utama kejujuran, dalam
hal pengakuan akan tingkat keimanan kita, misalnya, saat berhadapan dengan
orang lain. Kita selalu menganggap masih begitu rendahnya iman dan kesolehan
itu, sehingga kita kecut, takut, dan khawatir bila kita menonjolkan sedikit
saja simbol kesalehan itu pada lain orang. Kita malu bahkan takut
sesungguhnya akan dusta kita, pada diri sendiri, pada Dia Yang Maha Melihat.
Maka, sehebat apa pun kita merasa telah menjalani ibadah
vertikal atau spiritual kita selama Ramadan, melengkapi semua rukun hingga
sunah-sunahnya, kita akan selalu merasa menjadi 'yang lemah' dan 'yang
kurang' di hadapan-Nya, di hadapan semua makhluk-Nya. Semangat atau etos
'yang lebih' apalagi berlebih sebagaimana tradisi dan budaya Kontinental yang
mengglobal itu, menjadi haram bahkan kutukan bila terselip dalam cara kita
berpikir, bersikap, dan berperilaku.
Bisa kita meyakini bersama, dengan modal nilai sederhana
dari kekayaan nilai adab bahari yang kita miliki itu, sebuah perbaikan
semacam reparasi mental dan batin akan dapatkan bagi keseluruhan dimensi diri
kita. Sebuah perbaikan yang dalam ruang lebih lapang menjadi semacam gerakan
atau perubahan, untuk akhirnya menjadi jawaban bagi tantangan dan kesulitan
hidup yang kita alami selama ini, sebagai pribadi maupun sebagai sebuah
negeri.
Di penutup Ramadan, saat fajar Syawal menyingsing, kita
tidak perlu berharap bahwa kefitrian itu akan menjadi rizki hidup kita. Rizki
itu adalah makhluk yang terus mencari: siapa dan apa saja yang pantas ia
datangi. Dengan hidup dalam adab murni kita bahari di atas, setidaknya kita
cukup tenang karena tahu kita telah meretas siratul mustaqim yang akan
melurus saf dari baris-baris nasib kita di masa depan. Kita pun tak perlu
tahu apakah rizki kefitrian (sudah) datang atau belum. Karena ketika ia pun
datang, kita tidak akan pernah mengklaim, tidak akan pernah apalagi
mempertunjukkannya karena satu nilai itu saja: rendah hati, anak dari
kejujuran hati kita. Selamat berbahari,
semoga kita Idul Fitri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar