Jumat, 07 Juli 2017

Demokrasi Warga

Demokrasi Warga
W Wempy Hadir  ;   Peneliti Indopolling Network;
Direktur Nation and Character Building Institute
                                               MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2017



                                                           
BEBERAPA politikus mengartikan demokrasi secara praktis. Misalnya, Presiden Pertama AS, Abraham Lincoln, menegaskan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rak-yat. Namun, secara etimologis, kata demokrasi terdiri dua suku kata, yaitu demos dan cracy. Demos adalah warga atau warganegara, dan cracy (dari kata Latin, kratos) adalah kekuasaan/kedaulatan untuk mengatur atau untuk memberlakukan (aturan-aturan).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat untuk membangun masa depan mereka sendiri. Lalu, pertanyaannya adalah masa depan seperti apa yang hendak dibangun? Dan, bagaiamana seharusnya peran warga dalam demokrasi?

Partisipasi aktif

Jika kita sepakat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dapat dipastikan bahwa rakyat ialah subjek dari demokrasi. Kalau rakyat sebagai subjek dari demokrasi, dia harus/mempunyai peran yang dominan sehingga demokrasi bisa terwujud. Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukan David Mathews (seorang historian dari Alabama AS) mengatakan seharusnya demkorasi berbasiskan pada warga. Dengan demikian cita-cita demokrasi yang ideal atau setidaknya mendekati yang ideal bisa tercapai. Kalau demokrasi berpusat pada warga, perlu ada kesadaran masyarakat dalam memahami peran warga dalam demokrasi.

Demokrasi harus hidup dan tumbuh dalam komunitas yang paling kecil, misalnya mulai dari dalam keluarga. Keluarga harus menjadi rumah pertama demokrasi diba-ngun. Bagaimana kita membahas demokrasi yang lebih luas kalau dalam rumah sebagai komunitas yang kecil saja kita tidak menumbuhkan demokrasi. Setelah demokrasi tumbuh di setiap keluarga, dia bisa menyebar dalam komunitas kecil dan selanjutnya merambah kepada komunitas yang lebih besar. Ini merupakan ekologi demokrasi (mengutip perkataan Mathews, dalam buku Ecology of Democracy, 2014). Artinya, setiap sendi-sendi kehidupan memiliki ketergantungan satu sama lain.

Jika satunya sakit/rusak bisa berpengaruh terhadap yang lain. Jika warga tidak berpartisipasi aktif dalam demokrasi, dipastikan mereka akan menjadi objek dari demokrasi dan dieksploitasi kelompok kepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan demokrasi. Selain itu, partisipasi warga dalam demokrasi akan tumbuh dengan baik manakala ditopang berbagai faktor. Salah satu faktor yang berpengaruh ialah pendidikan. Dalam demokrasi sangat mutlak dibutuhkan masyarakat komunikatif. Dalam masyarakat komunikatif sangat dimungkinkan terjadi dialog antarwarga untuk membicarakan kepentingan umum demi terwujudnya kesejahteraan bersama.

Dengan demikian, semua warga terlibat aktif untuk membahas bagaimana sebaiknya kehidupan bersama dikelola untuk kebaikan bersama. Dampak dari masyarakat komunikatif ialah terwujudnya demokrasi yang partisipatif. Demokrasi tidak lagi menjadi hegemoni sekelompok orang. Karena itu, jika masyarakat tidak aktif dalam membicarakan urusan publik, dapat dipastikan bahwa kelompok tertentu yang cenderung mementingkan kelompok atau golongannya memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadi ter-utama bagi mereka pemburu rente kekuasaan. Lalu, apakah itu terjadi? Jawabannya bisa ya dan tidak.

Dalam konteks Indonesia, bisa saja kita menjawab ya, jika melihat realitas demokrasi kita yang hanya melibatkan warga dalam kontestasi semata. Setelah kontestasi, masyaralat tidak dilibatkan dalam membahas program-program yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pembahasan program kesannya dilakukan di ruangan yang steril dan gelap sehingga susah dipantau publik.

Maka, jangan heran begitu banyak program yang tidak menjawab kebutuhan publik. Impilkasinya ialah banyak yang tejebak dalam kasus korupsi. Misalnya, belakangan kita sering mendengar operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Selain itu, rendahnya partisipasi dan pemahaman publik akan pentingnya peran aktif masyarakat dalam demokrasi menjadi pekerjaan rumah yang panjang bagi demokrasi kita di Indonesia.
Mestinya masyarakat harus kritis terhadap berbagai kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan tidak hanya terlibat pada saat kontestasi pemilu/pilkada semata, tetapi mengawal hingga pelaksanaan kekuasaan dan kebijakan. Itulah esensi yang sesungguhnya dari demokrasi. Selanjutnya, masyarakat juga mesti memberikan perhatian terhadap berbagai aturan yang sedang dibahas legislatif. Misalnya, saat ini kita ketahui bahwa DPR sedang membahas RUU pemilu. Pembahasan RUU Pemilu itu molor dari perkiraan awal. Hal ini tidak terlepas dari tarik ulurnya kepentingan tiap-tiap partai yang ada di Senayan.

Dampaknya ialah mepetnya waktu bagi penyelenggara untuk mempersiapkan pemilu serta melakukan verifikasi parpol. Jauh yang lebih penting dari itu juga ialah soal sistem pemilu. Pada Pemilu 2009 menggunakan sistem terbuka, artinya bahwa siapa yang memperoleh suara terbanyak, dia bisa menduduki kursi DPR. Namun, ada opsi lain yang dimunculkan dalam pembahasan RUU pemilu, yakni sistem terbuka terbatas. Artinya penentuan kursi menjadi otoritas Dewan Pengurus Pusat Partai dan nomor urut. Jika ini yang terjadi tentu merugikan masyarakat yang telah memilih seseorang yang mereka percayai untuk mewakili mereka di gedung Senayan. Jika yang terjadi ialah sistem terbuka terbatas, peluang terjadi patron klien relationship dalam menyelenggarakan kekuasaan tidak bisa dielakkan. Tentu ini tidak sehat dalam membangun demokrasi yang baik bagi RI. Mestinya tetap menggunakan sistem yang terbuka dengan catatan partai melakukan fungsinya secara baik, misalnya fungsi pendidikan bagi kader yang hendak terjun dalam kontestasi sehingga kader yang diusung layak untuk dipilih untuk masyarakat.

Peran warga

Dalam demokrasi elektoral seperti saat ini peran warga sangat sentral. Dalam demokrasi, warga yang diam akan dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai kayu bakar politik semata. Oleh karena itu, jika warga atau rakyat tidak ingin menjadi korban dari demokrasi, perlu kesadaran publik. Kesadaran publik akan men-dorong partisipasi dalam membangun demokrasi yang berbasiskan pada warga, bukan berbasis elite. Demokrasi warga menjadi sebuah kebutuhan dalam membangun demokrasi yang bisa membawa dampak kebaikan publik.

Kebaikan publik akan terjadi jika masyarakat sadar dan mau terlibat membicarkan nasibnya sendiri. Masyarakat tidak bisa lagi menyerahkan nasibnya kepada orang yang tidak mementingan kepentingan publik. Dalam demokrasi warga, masyarakat seharusnya secara sadar dan mengerti bahwa ketika memilih seseorang untuk menduduki jabatan publik, pastikan yang bersangkutan mempunyai kapasitas dan bisa dipercaya untuk menyelenggarakan kekuasaan demi kepentingan warga. Hanya dengan cara demikian demokrasi bisa memberikan manfaat daripada mudaratnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar