Mudik
dan Romantisme Desa
Riza Multazam Luthfy ; Peneliti Desa; Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum UII Yogyakarta; Bukunya yang telah terbit berjudul Potret Legislatif
Desa Pasca Reformasi (2014)
|
DETIKNEWS, 24 Juni 2017
Hari-hari ini, terutama di kota-kota besar, para perantau
disibukkan dengan persiapan mudik alias pulang kampung. Mereka meninggalkan
hiruk-pikuk kota dengan segala kesibukannya. Bagi mereka, alangkah celakanya
jika Hari Raya dihabiskan dengan polusi udara, kemacetan, dan kebisingan.
Jika hal itu terjadi, betapa nasib telah mengempaskan
mereka pada pusat kriminalitas dan tindak kekerasan. Berita tentang
pencurian, perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan
"nutrisi" sehari-hari. Padahal, hari kemenangan seyogyanya dilalui
penuh khidmat tanpa gangguan yang berarti.
Untuk sementara mereka ingin melupakan ritus kehidupan
yang serba praktis. Atmosfer urban genap menjadikan mereka lebih kaku,
mekanis, dan kurang peka terhadap lingkungan. Intimitas manusia seringkali
menjadi tumbal perangkat-perangkat urban.
Modernitas sebagai capaian utama kota-kota besar memberi
jalan untuk mengesampingkan perasaan. Mereka adalah robot-robot hidup yang
selalu mengutamakan pertimbangan logis. Imbasnya, alasan rasional kerap
mendasari ucapan dan perbuatan.
Sikap serba terburu-buru menjadi pedoman hidup mengalahkan
kehati-hatian dan kewaspadaan. Sisi-sisi humanis kian luntur oleh menjamurnya
nilai-nilai pragmatis. Bagaimanapun, kota merefleksikan pengaruh hedonisme
dan materialisme. Di dalamnya terdapat rivalitas para pemodal dan kapitalis
yang sibuk berebut keuntungan.
Kota mewujudkan mimpi-mimpi semu dan artifisial
orang-orang yang bernafsu menggapai kesuksesan. Dengan berkunjung ke desa,
mereka berusaha meruntuhkan gejolak egoisme dalam diri. Hasrat
individualistis yang mulai tumbuh berusaha dipangkas sedemikian rupa.
Hubungan manusia yang syarat kepentingan dibelokkan
menjadi interaksi berbasis kekeluargaan. Kerja sama tercipta tidak sekadar
memenuhi persyaratan dunia kerja yang penuh formalitas dan basa-basi, namun
juga membangun harmonisasi kehidupan sehari-hari. Kerukunan yang terjalin
lebih didasarkan pada nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan gotong-royong.
Desa merajut kembali ikatan pertemanan dan kekerabatan
yang mulai pudar. Kolektivisme orang desa mampu menundukkan kesombongan,
kewibawaan, dan kehormatan. Gairah berdesa menjadi pemantik seseorang
melepaskan jabatan, identitas formal, dan status sosial. Hanya di desa,
pepatah "duduk sama rata, berdiri sama tinggi" mampu terealisasi.
Jadilah manusia makhluk tanpa kasta.
Prinsip-prinsip demokrasi dijunjung tinggi dengan
menghargai segala bentuk perbedaan. Identitas agama, budaya, dan suku bangsa
melebur, menihilkan beragam perselisihan dan permusuhan.
Mereka menganggap desa sebagai sarana peredam segala
kerinduan. Meski sudah bertahun-tahun berada di tanah rantau, mereka terikat
dengan iklim perdesaan yang guyub, damai, dan tenang. Desa menjadi tempat
istirahat paling nyaman dan mengesankan. Desa menampung romantisme masa kecil
yang penuh kenangan. Di sana terbentang ribuan kenangan yang menautkan masa
kini dengan masa silam.
Semangat hidup kaum urban boleh jadi dipupuk sejak kecil
ketika masih menghirup udara perdesaan. Kebijakan dan motivasi hidup bisa
dengan mudah dipetik dari moda kehidupan sederhana, namun menjanjikan
kebahagiaan.
Masa depan gemilang tidak terlepas dari "sejarah
hidup" yang penuh proses. Jajanan perdesaan paling tidak mampu
menyelamatkan tubuh dari imbas junk food. Makanan instan yang kian menjamur
berusaha diimbangi dengan hidangan tradisional.
Pasang Surut Otonomi
Tradisi mudik menggambarkan kerinduan para perantau
tentang romantisme desa yang otonom. Sejak masa kerajaan, desa memiliki
otonomi yang begitu besar. Sayangnya, telaah sejarah dan produk legal
menunjukkan bahwa bobot otonomi desa mengalami kemerosotan drastis.
Pelemahan terhadap otonomi desa terutama dilakukan oleh
pemerintah dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Undang-undang ini menghendaki adanya penyeragaman bentuk
pada pemerintahan desa. Tujuannya untuk memperkuat desa supaya mampu
menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menyelenggarakan
administrasi desa yang lebih efektif dan efisien serta memberikan dorongan
perkembangan dan pembangunan masyarakat desa.
Selain itu, penyeragaman tersebut bertujuan agar
"Demokrasi Pancasila" bisa terwujud secara nyata. Akan tetapi,
realitas berbicara lain. Dengan adanya undang-undang tersebut, masyarakat
desa bukan diberdayakan, melainkan lebih dibudidayakan/diperlemah, karena
sumber penghasilannya dikeruk, hak ulayat mereka selaku masyarakat
tradisional diambil.
Masyarakat desa juga masih asing dengan Demokrasi
Pancasila. Yang perlu disesalkan yaitu politik penyeragaman pemerintahan desa
dilakukan tanpa mengindahkan keberagaman kultur masyarakat adat dan bentuk
pemerintahan asli lokal (Solekhan, 2012: 49).
Runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 menjadi momen penting
diadakannya perubahan besar-besaran terhadap pemerintahan lokal. Pada era
Reformasi ini, desentralisasi dan demokratisasi diangkat menjadi isu utama
perubahan politik negara. Euforia pembebasan yang bergaung rupanya ikut
menjangkiti desa.
Desakan masyarakat desa agar diadakan perombakan
besar-besaran terhadap pemerintahan desa dijawab pemerintah pusat dengan
berulang kali menerbitkan undang-undang tentang desa. Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa adalah peraturan perundang-undangan terbaru yang
diharapkan mampu mewujudkan demokrasi perdesaan.
Urgensi Partisipasi
Realitas tercerabutnya otoritas asli, keswadayaan, dan
kemandirian desa mengharuskan adanya penguatan otonomi desa yang merupakan
upaya sistematik dalam rangka mengubah wajah desa ke arah terwujudnya tatanan
masyarakat baru dengan berpijak pada prakarsa rakyat. Hal paling mendasar
yang perlu diperhatikan yaitu tingkat partisipasi aktif masyarakat desa dalam
menentukan arah dan bentuk tatanan yang berlaku di daerah setempat.
Partisipasi masyarakat desa turut menentukan masa depan
desa. Perkembangan desa akan menunjukkan grafik yang signifikan apabila
masyarakat desa terlibat dalam keputusan-keputusan penting mengenai desa.
Mengingat, masyarakat desa merupakan pihak yang paling mengerti tentang
kebutuhan desa. Lebih dari itu, mereka juga berhak dalam proses serta hasil
dari penataan kehidupan mereka sendiri.
Terlebih lagi, setiap kebijakan publik, termasuk di
tingkat lokal, haruslah mencerminkan sinergi antara tiga poros kekuatan dalam
proses pengambilan keputusan. Ketiga kekuatan yang dimaksud yaitu pemerintah
desa, lembaga legislatif desa, serta masyarakat desa; masing-masing pihak
diberi kedudukan yang sama dalam mencetuskan kebijakan publik.
Dalam kerangka teoritisnya, upaya membangkitkan
partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan menetapkan saluran atau akses
bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Bagaimanapun,
pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, bukan
pejabat pemerintah. Oleh dasar itulah, masyarakat harus dilibatkan dalam
proyek pembangunan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar