Menggeser
dari 5 Hari Sekolah
Menuju
Pendidikan Karakter
Suwendi ; Doktor Pendidikan Islam UIN Jakarta
|
REPUBLIKA, 23 Juni 2017
Belakangan, muncul pernyataan dari istana negara Republik
Indonesia yang disampaikan oleh Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin, yang
didampingi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, atas
penangguhan Permendikbud 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pasalnya,
Permendikbud 23/2017 ini mengundang polemik dan kegaduhan yang sangat masif.
Penyelenggaraan kebijakan 5HS (lima hari sekolah) itu memiliki potensi dampak
yang amat luas, sehingga masyarakat memprotesnya.
Lebih lanjut, Ketua Umum MUI dalam pernyataan di istana
itu menegaskan bahwa ikhtiar kelahiran Permendikbud ini didasarkan atas
kepentingan penguatan pendidikan karakter pada siswa sekolah. Pendidikan
karakter sebagai bagian dari program Nawacita ditujukan untuk membentuk
masyarakat Indonesia yang berkarakter dan berkepribadian paripurna sehingga
perlu didukung oleh banyak pihak, termasuk melibatkan sejumlah
Kementerian/Lembaga dan unsur masyarakat. Atas dasar itu, untuk memperkuat
pendidikan karakter diperlukan Peraturan Presiden.
Jika mencermati gejolak penolakan dan apa yang disampaikan
oleh KH Ma’ruf Amin itu, maka agaknya berbeda dengan apa yang ditekankan oleh
Permendikbud 23/2017 itu. Masyarakat itu menolak atas kebijakan 5HS (5 hari
sekolah) karena mengganggu penyelenggaraan pendidikan keagamaan, seperti MDT
(Madrasah Diniyah Takmiliyah), Pendidikan Alquran, dan Pondok Pesantren;
sementara untuk kebijakan pendidikan karakter itu sendiri justru diterimanya,
karena memang sangat dibutuhkan.
Di sinilah, sesungguhnya yang perlu diklarifikasi. Antara
kebijakan 5HS dengan pendidikan karakter, itu dua hal yang berbeda. Kebijakan
5HS bukan berarti pendidikan karakter, dan pendidikan karakter tidak mesti
diimplementasikan dengan kebijakan 5HS.
Bagi Kemendikbud, Permendikbud 23/2017 yang diteken per 12
Juni 2017 itu tampaknya dipandang sebagai langkah konkret dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter, sebagaimana bisa kita baca dari
konsideran pertimbangan peraturan tersebut. Padahal, jika kita cermati pasal
demi pasal, menurut hemat penulis, permendikbud tersebut sangat simplikatif dan
tidak mencerminkan kesesuaian secara signifikan antara pendidikan karakter
dengan Hari Sekolah. Permendikbud sama sekali tidak menjelaskan apa itu
pendidikan karakter, karakteristik dan metodologi dari pendidikan karakter
serta hal-hal substantif lainnya dari pendidikan karakter, yang kemudian
kesimpulannya adalah 5HS dalam satu minggu.
Permendibud hanya menjelaskan tentang Hari Sekolah yang
dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam
selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu; penggunaan hari sekolah untuk
melaksanakan beban kerja guru; hari sekolah dilaksanakan dengan kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler serta hal-hal teknis
lainnya. Sekali lagi, sama sekali tidak menjelaskan keterkaitan antara pendidikan
karakter dengan kebijakan 5HS.
Tentu saja, kesimpulan 5HS sebagai implementasi kebijakan
karakter ini malah justru kontraproduktif dengan pendidikan karakter itu
sendiri. Pasalnya, kebijakan 5HS itu sangat potensial menghilangkan ruang
gerak atas operasionalisasi layanan pendidikan keagamaan yang sesungguhnya
menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter. Merujuk data EMIS
Kementerian Agama RI tahun 2016, kebijakan 5HS ini akan berdampak terhadap
pada pendidikan keagamaan Islam dan Pendidikan Umum Berciri Khas Islam
(MI/MTs/MA).
Dampak LHS
Dampak terhadap pendidikan keagamaan Islam meliputi
sebagai berikut. Pertama, setidaknya ada 17.006.288 santri pada pendidikan
keagamaan Islam yang akan terganggu dengan kebijakan ini. Mereka terdiri dari
3.649.396 santri pondok pesantren yang mengaji kitab kuning merangkap sebagai
siswa pada sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA); 6.000.062
santri pada Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya;
dan 7.356.830 santri pada pendidikan Al Quran (TKA, TPA, dan TQA).
Kedua, setidaknya ada 225.719 lembaga pendidikan keagamaan
Islam yang terkena imbas, yang terdiri atas 14.293 pondok pesantren yang
menyelenggarakan kajian kitab kuning sekaligus melakukan layanan pendidikan
sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA); 76.566 Madrasah Diniyah
Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 134.860 pendidikan Al
Quran yang terdiri atas TKA (Taman Kanak-kanak Al Quran), TPA (Taman
Pendidikan Al Quran), dan TQA (Ta’limul Quran lil Awlad).
Ketiga, 1.386.426 pendidik di lembaga pendidikan keagamaan
Islam, yang terdiri atas 322.328 pendidik pada pondok pesantren, 443.842
pendidik pada Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun
ulya; dan 620.256 pendidik pada pendidikan Al Quran yang terdiri atas TKA,
TPA, dan TQA (Ta’limul Quran lil Awlad).
Di samping itu, penyelenggaraan pendidikan umum berciri
khas Islam, yakni Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dipastikan akan kena dampak secara
langsung atas kebijakan 5HS. Setidaknya, terdapat 77.336 lembaga madrasah
(RA: 27.999, MI: 24.560, MTs: 16.934 dan MA: 7.843), 820.839 guru madrasah
(RA: 48.596, MI: 269.460, MTs: 265.784, MA: 236.999), dan 9.252.437 siswa
madrasah (RA: 1.231.101, MI: 3.565.875, MTs: 3.160.685, dan MA: 1.294.776).
Kini dalam durasi 6 (enam) hari belajar dalam satu minggu,
dengan menggunakan kurikulum 2013 siswa MI kelas 5-6 belajarnya hingga pukul
13.00; siswa MTs belajar hingga pukul 14.30; dan siswa MA belajar hingga
pukul 17.00. Bahkan, siswa MA dengan peminatan keagamaan berada di madrasah
hingga pukul 18.00-19.00. Pendidikan umum berciri khas Islam (RA, MI, MTs,
MA) ini di samping menyelesaikan beban kurikulum mata-mata pelajaran
pendidikan umum sebagaimana sekolah, juga mengajarkan 5 (lima) mata pelajaran
agama sebagai pengembangan ciri khas agama Islam, yakni Alquran-Hadits,
Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
Jika layanan pendidikan madrasah ini diwajibkan dengan
mengikuti kebijakan 5HS, maka siswa yang mengikuti pendidikan madrasah ini
akan semakin larut dan sama sekali tidak akan efektif. Tentu ini menambah
beban resistensi tersendiri. Dalam hal ini, penulis mengapresiasi sikap
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, yang
memposisikan kebijakan 5HS itu hanyalah sebagai pilihan, untuk tidak
mengatakan menolak secara tegas atas kebijakan 5HS. Sebab, kebijakan 5HS
sangat tidak produktif bagi layanan pendidikan di lingkungan Kementerian
Agama. (Kompas, 22/06/2017).
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan model pendidikan ideal yang
diharapkan dapat menumbuhkembangkan kepribadian yang mumpuni. Pendidikan
karakter mempersyaratkan adanya seperangkat nilai yang dijunjung tinggi dalam
lingkungan pendidikan, bahkan pada tingkat tertentu adanya figur ideal di
lingkungan pendidikan. Pendidikan karakter itu sangat holistik, dibutuhkan
berbagai pendekatan dan strategi yang amat beragama, sehingga untuk
mewujudkan pendidikan karakter diselenggarakan tanpa batas, tidak mengenal
waktu dan tempat tertentu.
Pendidikan karakter diharapkan dapat mendorong
terbentuknya masyarakat Indonesia yang memiliki karakter dan kepribadian yang
paripurna, sehingga perlu mendapatkan dukungan dan pelibatan seluruh elemen
masyarakat dan pemerintah. Sebab, pada hakikatnya pendidikan karakter menjadi
hajat dan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia dan pemerintah Republik
Indonesia, dalam hal ini bukan hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
semata, tetapi juga Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian/Lembaga lain yang utamanya menjalankan fungsi pendidikan. Untuk
itu, kebijakan pendidikan karakter perlu dikomunikasi dan didialogkan dengan
seluruh elemen masyarakat dan pemerintah.
Implementasi pendidikan karakter sesuai dengan program
Nawacita sebaiknya diselenggarakan dengan memperkuat pendidikan dan
pendekatan religiusitas. Sebab, pendidikan keagamaan sangat efektif dalam
menanamkan dan menumbuhsuburkan karakter yang dibangun dalam memperkuat
nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Untuk itu, lembaga pendidikan keagamaan
Islam, seperti pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan pendidikan
Alquran sebagai model lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat yang telah
eksis sebelum Indonesia ini merdeka telah nyata-nyata berkontribusi besar
dalam memperkuat karakteristik keislaman dan keindonesiaan bagi warga negera
Indonesia perlu mendapatkan pengakuan, penguatan, dan pemberdayaan serta
afirmasi sebagaimana mestinya.
Pendidikan keagamaan Islam lahir dari masyarakat dan
diselenggarakan oleh masyarakat sehingga segala keputusan yang terkait dengan
kepentingan lembaga pendidikan keagamaan Islam itu harus mendengar dan
mencermati aspirasi dari masyarakat, dengan menggunakan pendekatan buttom-up.
Dalam banyak pengalaman, keputusan yang terkait atau berdampak terhadap
pendidikan keagamaan Islam ini tidak serta merta menyikapi dan membuat
keputusannya secara sepihak, tanpa mendengar dan memahami terlebih dahulu
aspirasi masyarakat, utamanya para penyelenggara pendidikan keagamaan Islam
secara komprehensif. Oleh karena, mendialogkan dan mengkomunikasikan antara
rencana kebijakan dengan masyarakat dan komunitas pendidikan keagamaan Islam
ini mutlak dilakukan.
Jika kita mampu menggeser perhatian bahwa kini bukan
saatnya lagi berkutat pada isu kebijakan dan penerapan 5HS, tetapi kita perlu
untuk merevitalisasi pendidikan karakter sebagai kebutuhan kita bersama maka
insya Allah tidak akan ada lagi pro-kontra di tengah-tengah masyarakat.
Kebijakan 5HS sama sekali tidak identik dengan pendidikan karakter, dan
pendidikan karakter tidak harus diimplementasikan dalam 5HS. Sisi penting
inilah yang setidaknya harus difahami ketika merancang Keputusan Presiden
yang memperkuat pendidikan karakter itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar